Transformasi digital telah mengubah wajah ekonomi global, menciptakan peluang besar sekaligus tantangan baru. Indonesia, dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan tingkat penetrasi internet yang terus meningkat, memiliki modal besar untuk memanfaatkan era digital ini. Namun, potensi besar ini diiringi tantangan seperti ketimpangan akses teknologi, ancaman monopoli digital, dan perlunya literasi digital yang mendalam. Artikel ini akan membahas peluang besar dari transformasi ekonomi digital, ancaman ketimpangan, dan strategi inklusif untuk membangun masa depan ekonomi Indonesia yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Potensi Ekonomi Digital Indonesia
Indonesia adalah salah satu pasar digital terbesar di Asia Tenggara, dengan nilai ekonomi digital yang diproyeksikan mencapai USD 146 miliar pada tahun 2025 (Google, Temasek, Bain & Company, 2022). E-commerce, fintech, dan layanan logistik digital telah menjadi pilar utama pertumbuhan ini. Platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Gojek telah menciptakan ekosistem baru yang mempermudah interaksi antara konsumen dan pelaku usaha.
Amartya Sen, dalam Development as Freedom (1999), menekankan bahwa teknologi adalah alat untuk memperluas kebebasan manusia, memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi lebih aktif dalam ekonomi dan kehidupan sosial. Dalam konteks Indonesia, ekonomi digital membuka peluang besar bagi pelaku UMKM untuk memperluas pasar mereka, baik domestik maupun internasional. Selain itu, transformasi digital juga menciptakan peluang kerja baru, terutama di sektor teknologi informasi, pengembangan aplikasi, dan pemasaran digital.
Namun, potensi ini tidak dapat dicapai tanpa investasi besar dalam infrastruktur digital. Proyek seperti Palapa Ring telah membuka akses internet ke daerah-daerah terpencil, tetapi masih banyak wilayah yang belum menikmati manfaat transformasi ini. Pemerintah perlu memperluas cakupan proyek ini dengan menyediakan layanan internet yang lebih murah dan stabil, serta subsidi perangkat teknologi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, investasi dalam energi terbarukan diperlukan untuk memastikan bahwa infrastruktur digital dapat beroperasi secara efisien dan berkelanjutan.
Ketimpangan Digital: Ancaman Bagi Inklusi Ekonomi
Meskipun ekonomi digital berkembang pesat, ketimpangan akses teknologi masih menjadi tantangan besar. Menurut APJII (2023), penetrasi internet di Indonesia mencapai 77%, tetapi akses ini sangat terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Daerah pedesaan dan terpencil, seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku, masih menghadapi keterbatasan infrastruktur digital, mahalnya perangkat teknologi, dan ketersediaan listrik yang tidak stabil.
Pierre Bourdieu, dengan konsepnya tentang "modal sosial," mengingatkan bahwa akses teknologi tidak hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan teknologi untuk memperluas jaringan sosial dan ekonominya. Ketimpangan digital di Indonesia menciptakan hierarki baru, di mana masyarakat perkotaan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan mereka yang tinggal di wilayah pedesaan. Hal ini tidak hanya memperburuk kesenjangan ekonomi tetapi juga membatasi partisipasi masyarakat dalam proses ekonomi yang semakin terdigitalisasi.
Ketimpangan ini juga berdampak pada pendidikan dan tenaga kerja. Anak-anak di wilayah terpencil sering kali kesulitan mengikuti pendidikan daring, sementara pekerja tradisional menghadapi risiko kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi. Pemerintah perlu mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif, seperti memberikan subsidi perangkat teknologi, memperluas pelatihan literasi digital, dan menciptakan program pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja digital.
Membangun Ekosistem Digital yang Inklusif
Untuk memastikan bahwa transformasi digital menghasilkan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bekerja sama menciptakan ekosistem digital yang inklusif. Evgeny Morozov, dalam The Net Delusion: The Dark Side of Internet Freedom (2011), memperingatkan bahwa dominasi perusahaan teknologi besar dapat menciptakan monopoli yang merugikan pelaku usaha kecil dan konsumen. Di Indonesia, risiko ini terlihat pada dominasi platform e-commerce besar yang sering kali mendikte aturan pasar, membuat UMKM bergantung pada kebijakan mereka.
Pemerintah perlu memperkuat regulasi untuk memastikan persaingan sehat dan melindungi pelaku usaha kecil dari eksploitasi. Selain itu, pelatihan literasi digital harus menjadi prioritas untuk memberdayakan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi secara produktif dan aman. Program pelatihan ini harus mencakup keterampilan dasar, seperti penggunaan aplikasi digital, hingga keterampilan lanjutan seperti pemasaran berbasis data, pengelolaan bisnis online, dan analitik digital.
Selain pelatihan, insentif berupa kredit berbunga rendah untuk pembelian perangkat teknologi dapat membantu UMKM dan individu mengadopsi teknologi baru. Kemitraan antara pemerintah dan platform digital juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan pelatihan dan akses pasar bagi pelaku usaha kecil. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan inklusivitas ekonomi digital tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Penutup
Transformasi ekonomi digital di Indonesia adalah peluang besar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Namun, tanpa strategi yang terkoordinasi, tantangan seperti ketimpangan akses teknologi dan ancaman monopoli dapat menghambat potensi ini. Dengan memperluas infrastruktur digital, meningkatkan literasi digital, dan memperkuat regulasi yang mendukung persaingan sehat, Indonesia dapat membangun ekosistem digital yang berkeadilan.