Mohon tunggu...
Ujang Rohimat
Ujang Rohimat Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Suka menulis, suka semua seni, seorang pemimpi akan masa depan yang menjadi kenyataan

Selanjutnya

Tutup

Money

Ironis Impor Cabai: Membunuh Petani di Kala Pandemi Covid-19

22 Desember 2021   12:35 Diperbarui: 22 Desember 2021   15:38 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Garut - Selama Januari sampai dengan Juli 2021 produksi cabai sebanyak 163.293 ton. Padahal, kebutuhan cabai hanya sebesar 158.855 ton, diperkirakan kebutuhan cabai 97% untuk kebutuhan masyarakat di kala pendemi ini. Harga cabai pun menjadi anjlok dikarenakan kebutuhan meningkat. Pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, biasanya berdalih bahwa anjloknya harga cabai adalah akibat faktor kelebihan produksi atau surplus. Akibatnya, ketersediaan barang di pasar terlalu melimpah, sementara permintaan atas barang tersebut tetap atau malah berkurang akibat daya beli masyarakat yang terus menurun di masa pandemi. Padahal pemerintah telah membuat kebijakan membuka impor yang ugal-ugalan, dan jika dimintakan konfirmasi maka dalih pemerintah adalah menjaga stabilitas harga dan memenuhi kebutuhan industri.

Ironis bukan? sering kali impor tetap berjalan di tengah produksi yang sedang surplus, baik karena impor maupun panen raya. Sepanjang semester I/2021 lalu, impor cabai kering atau tumbuk mencapai 27.851 ton. Alasannya, lagi-lagi demi memenuhi kebutuhan perindustrian.

Diakui atau tidak, kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah memang tak menjadikan kepentingan rakyat sebagai hal yang utama. Paradigma sekuler kapitalistik yang mendasari penyelenggaraan pemerintahan membuat fungsi kepemimpinan bergeser dari fungsi  yang seharusnya. Dalam sistem ini, kekuasaan faktanya hanya menjadi alat mewujudkan kepentingan kelompok atau partai politik. Apalagi mekanisme pemilihan melalui demokrasi menjadikan biaya politik menjadi mahal, sehingga kontestasi kepemimpinan pun tak ubahnya seperti praktek bisnis dan perjudian. Tak heran, jika berbagai kebijakan yang dikeluarkan, bahkan yang menyangkut hajat hidup orang banyak pun, selalu berkelindan dengan kepentingan partai pemenang, kelompok pendukung, dan para pemilik modal sebagai donatur kekuasaan.

Padahal, dalam Islam, pemerintah sejatinya adalah pelayan sekaligus pelindung umat, bukan pebisnis atau pedagang. Mereka wajib memastikan kebutuhan umat dan keamanan mereka terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana wajib pula bagi mereka memastikan kedaulatan dan kemandirian negara tetap terjaga.

Adapun celah-celah penyelewengan akan ditutup dengan penerapan sistem sanksi dan peradilan Islam yang dikenal tegas. Kasus kezaliman yang lumrah terjadi dalam sistem sekuler ini tak mungkin merebak dalam sistem yang menerapkan aturan-aturan Islam. Sistem politik Islam juga menjamin kemandirian dan kedaulatan negara tegak sempurna. Negara tak akan mudah tunduk pada tekanan internasional yang dibuat melalui diktum-diktum perjanjian yang hakikatnya merupakan alat penjajahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun