Mohon tunggu...
Abdul Muis Karim
Abdul Muis Karim Mohon Tunggu... profesional -

Social observer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Aku dan... You Who Came From The Stars

7 April 2014   22:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13968609251335789783

I love you tonight, toki ga tomareba ii ne

Nagareboshi kirameku omoi wo tsutaetai sugu ni.

Bait-bait lagu itu melantun, diikut cahaya lampu sorot berbentuk kerucut  yang tertembak dari langit, seolah-olah dari  datang dari surga. Roh Tatsuya yang terjebak dalam tubuh Masaki kemudian melayang ke udara. Kala itu semua penonton tak kuasa menahan air mata saat kepergian Tatsuya membawa cinta mayanya ke alam baka. Lalu emosi penonton dibanting lagi dengan menyelipkan refrein lagu itu ke dalam tangisan sang kekasih yang ditinggalkan di bumi.

Itulah ending drama Jepang berjudul Anything For You yang diputar di Indosiar 19 tahun lalu. Lagunya sendiri, membahana hingga ke kerak gendang telinga, tersimpan rapat-rapat dibalik pikiran. Tak satupun kata bahasa Jepang yang kutahu, tapi bisa dibilang lagu itu terhafal diluar kepala. Iya, penggalan lagu You’re the Only yang dibawakan Ono Matasashi itu abadi. Musik, akting dan jalinan kisah berkelindang membentuk jalinan kesan yang menawan. Ah, tahun 1995 kala itu. Aku bahkan masih sangat ingusan. Benar-benar ingusan. Lama waktu berselang....lalu 19 tahun kemudian, Tatsuya serasa balik ke bumi.

***

Bulan lalu. 1 Maret 2014. Aku iseng aja waktu itu. Iseng banget ketika menukar uang 3000 dengan harian Kompas yang dijual dengan harga khusus di atas bis Bekasi-Bandara Soekarno Hatta. Saat ini, bagiku membaca koran seolah tak ada lagi di hp yang layak dibaca. Padahal aku pernah menggilai harian itu sampai tak menyisakan berita hingga ke iklam kolomnya. Setelah melangkah melewati pemeriksaan X-Ray, aku menuju ruang tunggu. Terminal 2F pagi itu riuh seperti biasa. Tiap orang sibuk dengan gadgetnya. Aku, ya sama yang lain, memanfaatkan jaringan wifi yang melimpah. Tapi lama-lama bosan juga. Sesekali bangkit, menerawang ke kaca, melihat-lihat pesawat yang lepas landas. Kalau sudah sangat bosan, aku melangkah ke petugas darat pesawat Garuda, menanyakan apakah penerbangan ini bakal tepat waktu ? Petugas tersebut hanya tersenyum membalas,”Semuanya masih on schedule (sesuai jadwal), Mas”. Iya sih, memang belum waktunya.

“Syukurlah” batinku.

Lalu tiba-tiba koran yang disisipkan di saku ranselku terlihat. Aku selalu membaca bagian “Kilasan Kawat Dunia” di harian Kompas. Membaca bagian itu, seperti membaca harian Lampu Hijau. Ngakak, karena ada2 aja hal aneh di jagad ini. Paling tidak beginilah intinya cerita itu :

“Seorang manager perusahaan di China kesulitan karena sebagian besar karyawannya mengambil cuti bersamaan. Anehnya, alasannya karena mereka semua tidak mau terlewatkan episode terakhir dari serial Korea berjudul You Who Came From The Stars. Sang Manager yang penasaran apa  hebatnya drama itu sampai-sampai hingga anak buahnya rame-rame ambil cuti, berniat melakukan investigasi sendiri. Lalu dipinjamilah Sang Manager episode pertama, dan...pemirsah....Sang Manager akhirnya ketagihan...dan ujung2nya mengajukan cuti juga untuk simak episode terakhir. Hahaha..Bahkan ada sebuah cafe di Beijing yang akan menggratiskan minuman hari itu jika ternyata Professor Do Min Joon jadian dengan Cheong Song Yi.” Ah...ada2 aja, batinku. Mungkinkah mereka sudah gila ? Aku hanya berdehem, berujar dalam hati kalau kiamat bisa saja sudah dekat karena kegilaan jagad ini sudah tidak ketulungan. Aku letakkan koran itu, kemudian berbaring. Dan saat langit-langit ruang tunggu kuamati, kok cerita dalam koran mengganggu pikiran.

Nah, aku akhirnya penasaran juga. Buru2 ku-WA (whatsapp) teman kantor, menanyakan apa dia punya serial itu. Anggap saja namanya Annabel. Dia seniorku dan bisa dibilang dia dedenkotnya drama Korea. Sering memang cewek-cewek di kantorku histeris membahas cowok-cowok Korea, tapi bagiku, itu hanya gejala hormon biasa. Maklumlah, cowok Korea emang bening-bening, bahkan saking gantengnya, kadang mereka terlihat mirip cewek.

Jawabannya “Ada”. Aku selamat.

Hari itu aku terbang ke Makassar menjenguk ibu yang habis sakit. Alhamdulillah Ibu sehat walafiat. Setelah 4 hari di Makassar, aku balik ke Jakarta. Selain karena harus berangkat dinas ke Papua, bisa jadi salah satu alasannya adalah karena drama yang menghantui pikiranku itu. Kalau seisi Beijing bisa dipengaruhi, berarti aku bisa terseret dalam statistik itu. Aku ke kantor. Berapa episode ? 21, jawab Annabel. Syukurlah karena aku punya waktu 3 minggu di Papua. Artinya tiap malam bisa 1 episode. Sampai di Papua, kerjaan menumpuk. Aku bahkan lupa bahwa file itu ada dalam flash disk. Sampai akhirnya malam itu, tidak ada lagi chanel menarik di HBO, Star World atau Fox Movie Premium. Aku iseng buka leptop. Klik ini-itu dan rupanya file itu nandon dalam flash disk. Annabel menyimpannya dengan nama file “My Love From The Stars”. Dengan garangnya, folder file itu seakan mengongkang pongah dan berkata,”Bukalah aku, Cowok Angkuh!”. Aku geser pointer, klik foldernya. Lalu....lengkap sudah, aku masuk jurang perangkap imaji.

Aku langsung tonton episode 1. Ceritanya tentang UFO mendarat di bumi. Isi UFO itu alien (jangan bayangkan alien disini kayak di film “Alien” yang dibintangi Sigourney Weiver itu. Bayangin gw aja.hehe). Nah, Sang Alien ganteng ini turun ke bumi mengambil bibit tanaman di hutan. Pada saat itu ada seorang putri yang nyaris jatuh ke jurang dan diselamatkanlah oleh Sang Alien, namun akhirnya gagal dijaganya. Pada saat yang sama, UFO udah berangkat. Dia ketinggalan, sama kayak lo yang ketinggalan bis gitu. Parahnya, UFO itu hanya balik lagi 400 tahun kemudian. Alien yang bernama Do Min Joon itu akhirnya menjalani kehidupan di bumi selama kurun waktu itu dengan penantian kapan dijemput sambil memikirkan sang gadis yang meninggal dalam pangkuannya. Hingga kemudian 3 bulan sebelum UFO itu datang lagi, dia jatuh cinta pada seorang yang mirip gadis yang gagal diselamatkannya 400 tahun lalu. Begitulah selanjutnya.

Aku lalu memaki diri sendiri, karena awalnya meremehkan selera Sang Manager di Beijing itu. Kini, aku benar2 ketagihan. Aku langsung lahap 4 episode semalam. Artinya, 4 jam dengan jeda hanya ke toilet. Aku nonton abis isya. Jam 8 sampai 12 malam. Ahhrrrrgghhhhh !!!!!!

***

Sudah lama saya mengagumi kehebatan sineas Asia Timur membuat drama. Marilah saya ajak Anda kembali di awal catatan ini ke tahun 1995, tahun ketika drama Tokyo Love Story tayang di Indosiar. Tahun itu adalah tahun pertama Indosiar. Kami menontonnya di rumah tetangga. Maklumlah belum banyak TV kala itu. Dalam satu kampung hanya 2-3 orang yang memiliki TV. Keluarga saya sendiri masih disibukkan dengan urusan perut. Membeli TV seolah bak mimpi. Ya, kala itu kami nonton rame-rame. Selera sama. Tua muda. Anak-anak. Nenek-nenek. Semuanya menonton Tokyo Love Story. Dramanya memang bagus. Setelah itu ada lagi yang lebih gila. Judulnya Anything For You dan Ordinary People. Boleh dibilang, itulah kalimat bahasa Inggris pertama yang saya kenal. Saya baru berusia 10 tahun tapi sudah  merasakan bagaimana perasaan Kanji Nagao pada Rika Akana dalam drama itu. Juga, saya tak bisa melupakan kekuatan cinta Tatsuya Masaki dalam drama Anything For You. Bahkan saya masih bisa merasakan apa yang dialami Narumi saat berteriak di jembatan layang, memanggil nama “Kakai....iiii” yang saat itu Si Kakai sedang membersihkan bis dalam serial Ordinary People. Saya hafal dengan jelas musik latarnya. Saya dapatkan semua latar musiknya 15 tahun kemudian lewat 4shared. Intinya, saya suka drama itu, karena itulah yang mengisi kepala saya yang kosong. Dan dulu tuh enak sekali. Pacaran masih dianggap tabu. Kalau suka seseorang harus dipendam.Kalau naksir seseorang kita gemetaran. Malunya selangit. Dan kalau lewat depan rumah orang yang kita taksir, melihat kusen rumahnya pun sudah senang banget. Kakak saya ada 12 orang. Semua kisah cintanya mirip2. Dan begitulah pula dengan drama itu, semua emosi yang dikobarkan drama itu hanya disimpan dalam dada, sekalipun manusia yang berjejal di depan TV hitam putih ukuran 14 inchi bertumpuk. Syukurlah, semua itu tentang kelembutan. Ya, kelembutan cinta. Ah, anggap saja begitu.

Ketika itu, kehidupan di kampung diliputi kesusahan sehingga bisa dibilang satu-satunya cara mendapatkan kebahagiaan adalah dengan menonton TV. Ya, TV tetangga. Kita hanya datang, duduk dan mengikuti apa yang sedang ditayangkan TV buram itu. Ah, indah sekali kala itu. Kami berbondong-bondong naik ke rumah panggung, mengenakan sarung, dan sebelum masuk rumah, pemilik rumah meneriaki kami,”Cuci betismu dulu, berkali-kali!”. Iya, betis kami memang dipenuhin debu karena seharian mengelilingi kampung menjual es lilin, es yang kami tidak tahu rasanya karena kalau es termakan, maka gaji kami akan dipotong. Kalau ada yang belum mandi, maka dia tidak segan-segan diteriaki untuk duduk dipojok, tidak boleh sandar di dinding (karena baunya nempel) dan diancam harus segera pulang usai Tokyo Love Story. Kadang juga, kami menonton di celah jendela, mengintip di kaca nalco dimana pada saat yang sama, betis kami tidak ketulungan minta ditepuk karena dihinggapi nyamuk. Sementara asik menepuk nyamuk, tetangga datang menutup gorden dibalik kaca nalco. Tega sekali....padahal dia masih tante saya.

Itulah kenangan masa kecil saya tentang drama Asia. Semua perjuangan menonton sampai isi cerita, lagu dan detail kejadiannya membekas hingga sekarang. Bahkan lagu-lagunya mengingatkan masa-masa sulit keluarga kami. Diselah waktu, kadang saya menyanyikan lagu True Love yang dibawakan Fumiya Fuji dalam Ordinary People. Ketika mendengarnya, saya membayangkan dua moment sekaligus : ketulusan Kakai mencintai Narumi, dan bayangan ibuku menjatah lauk ke piring-piring kami. Oh, itu sungguh masa yang sulit. Jika sudah begitu, aku meraih hp, menelpon ibuku, menanyakan apakah beliau ada kesulitan dalam belanja dapur. Itu saja yang hendak saya pastikan. Itu saja. Karena, jika kondisi saya mampu, saya tidak akan membiarkan hal itu terulang!

Tahun-tahun berharga itu kemudian diulas tiba-tiba oleh penampilan Kim Soo Hyun dalam drama You Who Came From The Stars. Sepanjang penjelajahan saya di Google, drama Korea itulah yang pertama kali saya input ke baris “Search” dan mencari tahu segala hal tentangnya. Malam ketika saya menonton episode 10, terjemahannya salah. Saya lalu menghubungi Annabel di Jakarta untuk minta dikirimin file-nya. Namun, karena tidak tahan menunggu esok hari, saya lalu meraih sweater dan menuju radius wifi yang disiapkan perusahaan. Disana, saya men-download subtitle dan buru-buru ke kamar. Hal semacam itu tak pernah saya lakukan seumur hidup. Saya bahkan gemetaran saat memindahkan file itu dari hp ke leptop.

Akhirnya saya menyimpulkan bahwa drama itu disokong oleh naskah yang kuat, penjiwaan akting, kelihaian sutradara dan musik latar yang berkesan. Perkara Kim Soo Hyun yang ganteng adalah soal lain, karena jika semua ketenaran ditakdirkan jatuh ke orang ganteng, tentu semua keajaiban yang dialami Kim Soo Hyun saat ini sudah banyak yang rasakan. Menurut saya, Kim Soo Hyun benar-benar mampu memerankan karakter Do Min Joon dengan sempurna. Dia termasuk aktor kedua yang saya kagumi perannya setelah Thomas Horn dalam film Extremely Loud and Incrediblely Close. Kehebatan selanjutnya adalah naskah ceritanya. Kisah cinta alien-manusia itu bisa ditebak tidak masuk akal. Tapi, kenapa daya pikatnya mampu melumpuhkan akal sehat ? Mengikuti alur ceritanya, kisah cintanya sendiri seperti terinspirasi dari film Ghost yang dibintangi Demi Moore dan Patrick Swayze tahun 1990 silam, dipadu dengan Twilight. Dan yang tak kalah mirip adalah Anything for You yang membuat air mata bocah 10 tahun saya terderai.  Ah, semua ini memang karena ada hubungannya dengan Anything for You. Untuk lainnya, jika Anda pernah menonton Planet of the Apes atau Armagedon, haru birunya sama.

Untuk musiknya sendiri, jangan diragukan lagi. Korea-lah rajanya musik latar romantis. Guguran salju, hembusan daun-daun eukaliptus, atau tebing melandai semuanya tak akan tega dibiarkan jalan sendiri. Pasti selalu ada iringan instrument. Sejauh 21 eposide yang saya tonton, saya hanya temukan dua lagu Barat yang diputar sangat sebentar, itupun latar di sebuah cafe, yaitu Careless Whisper-nya George Michael dan Killing Me Softly, persis seperti nasib karakternya. Malam ketika usai menonton bagian itu, saya mendendangkan lagu Careless Whisper berkali-kali. Sampai-sampai saya merasa ada dalam fragmen itu. Esoknya saya mendownload semua soundtracknya. Tak tersisakan. Satupun tak ketinggalan.

Lalu bagaimana dengan komedinya ? Ahai....Hollywood bakal susah mengejar kepiawaian Seoul melakonkan komedi romantis. Sama halnya China yang sulit dilawan untuk film kolosal, atau  Hollywood yang belum tertandingi untuk urusan special effect. Yang paling hebat adalah sineas Korea mampu menggabungkan musik, fashion, komedi, romantis, sains fiksi, dan sejarah tanpa harus menanggalkan budayanya. Apapun alasannya, kehebatan mereka mempengaruhi generasi muda kita suatu bukti bahwa mereka lebih unggul. Tak apa film-filmnya dibajak. Benefitnya adalah semua orang ingin liburan ke Korea. Dalam setiap travel agent, lokasi drama Winter Sonata menjadi salah satu destinasi wajib saat liburan ke Korea. Suatu hari nanti, jika saya berkesempatan ke Seoul, sudah pasti saya ingin bertanya ke guide,”Tolong antarkan saya ke tempat dimana Do Min Joon dan Cheong Song Yi menghilang  dari kejaran wartawan dalam film You Who Came From The Stars.”

Tontonan memang hal yang tak bisa disepelekan. Sadarilah bahwa film telah mengubah wajah fashion dan passion. Setelah film Ghost meledak, wanita di seluruh dunia seakan berbondong-bondong mengikuti potongan rambut Demi Moore. Dan khusus di negeri kita, Bangka Belitung bisa jadi lama baru dikenal jika tak ada novel dan film Laskar Pelangi. Bukan cuma itu, antusias untuk belajar ke luar negeri pun membludak. Nah, kini Korea telah mampu mengirim stimulan passion, bagaimana mereka secara perlahan mempengaruhi style generasi muda kita. Korea berhasil mengekspor hasil industri kreatifnya. Serial You Who Came From The Stars ini adalah salah satunya. Makin tak masuk akal, makin menarik.

Drama ini seolah memberi energi. Tak lama kemudian, saya mencari lagu-lagu yang dulu mengisi soundtrack drama Tokyo Love Story, Anything for You dan Ordinary People . Saya mendengarkannya sambil membuka-buka laman facebook. Diam-diam saya melakukan korespondensi ke Jepang. Menanyakan mereka yang sedang menempuh studi di Hiroshima dan Gunma. Saya kok jadi kepikiran mau melihat Kyoto. Nah, tuh kan sudah mulai. Besok-besok tuh bisa jadi Seoul lagi. Ah, saya jadi percaya kekuatan impian masa kecil. Makanya, awasi baik-baik bocah Anda. Berilah tontonan mendidik, karena bisa jadi itulah yang kesan pertama yang akan membentuk dirinya kelak, termasuk hobinya. Saya sendiri bersyukur, tontonan ini mengingatkan hal dulu. Dengan begitu, saya lebih mensyukuri hidup yang sudah dianugerahkan Tuhan. Sisi lainnya, setelah menonton drama ini, saya mendapat pelajaran untuk tidak menyepelekan selera orang lain. Betapa awalnya saya menilai bahwa warga Beijing terlalu lebay merespon drama ini, tau-tau saya sendiri lebih lebay. Bahkan, saat hening, bibir saya tergerak sendiri, menyanyikan bagian refrein lagu Tears Falling Like Today yang dibawakan Huh Gak dalam drama itu.

Oneul gateun nunmuri deo eolmana namaina

Sarangeul tto ibyeoreul  nan molla malhaejullae

Jakkuman bismuri nunmuldoeeonae apeul garigo

Aodijjeum gago ina oneul gateun nunmuri deo

Eolmana deo nan molla

Eolmana deo nan molla

[How many more tears like today’s are left?]

[I don’t know love or farewells, will you tell me ?]

[Rain drops keep turning into tears, blocking my vision]

[Where are the tears like today’s going?]

[How much more ? I don’t know]

[How much more ? I don’t know]

Laki-laki menonton drama Korea memang terkesan feminim. Tapi, bagi saya, jika itu berarti memberi energi, maka saya akan menyedot energi itu dan mengabaikan paradigma yang berkembang. Saya akan memasukkan hal-hal yang menjadikan pikiran dan jiwa saya kaya. Lagipula, masa untuk urusan hiburan juga kita musti ikut selera orang lain. Jika Anda laki-laki macam saya dan menyukai drama Korea yang memang notabene lebih bagus dibanding film India dan komedi romantis garing Hollywood, teruskan saja. Karena bisa jadi mereka tidak tahu kalau kita adalah pemburu produk terbaik untuk hal hiburan. Untuk move on memang butuh usaha untuk menumbangkan cara pandang awam. Jika Anda sineas muda, tirulah teknik Korea membuat drama. Bagaimana emosi pemain dan musik latarnya begitu menyatu. Tirulah. Bagaimana mereka membuat kesan bagi penonton tanpa keluar duit banyak. Tirulah. Jangan malu-malu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun