Mohon tunggu...
Agra Andromeda
Agra Andromeda Mohon Tunggu... -

Sang Pamungkas

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Secuil cerita tentang "Ama"

2 Oktober 2010   07:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:47 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Karena surga ada di bawah telapak kaki mu, Ama…….

***

“Ama” begitulah panggilan sayang aku dan kedua kakak ku pada sosok wanita yang telah menghadirkan kami di muka bumi ini.Ketika diri ini berupaya untuk melukiskan tentangnya, tak ku miliki kata terbaik untuk mewakilinya. Ama begitu sempurna, selain menjadi ibu beliau juga sahabat terbaik tempat kamimenumpahkan segala keluh kesah tentang hari yang telah kami lalui, kala senja merapat.

Bercerita tentang “Ama” aku seolah sedang menjalani ujian khusus, menguji daya ingat sejauh mana kasih Ama pernah ku ingat dan seberapa banyak hal yang telah ku lakukan membalas kasihnya dalam upaya mendekatkan diri dari wanginya surga.

Adalah wajar, jikalau air mata ini tak hentinya mengalir kala mengingat semua hal yang telah terjadi. sebenarnya banyak sekali momen yang ingin kutuangkan, namun sejauh ini saja rasanya jemari ini tak sanggup merangkai kata. Begitu mulianya Ama, semua itu hanya demi kami, anak-anaknya…..

***

Sebagai bungsu dari tiga bersaudara yang terpaut enam tahun dengan kakak diatas ku, menempatkan ku seolah menjadi anak tunggal dirumah ini setelah kakak diatas ku melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan. Hanya Ama lah teman terbaik ku, jujur Bapak terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Yang terkadang tak memiliki waktu untuk bercengkrama. Toh untuk menambah penghasilan, tetap Ama yang turun tangan membantu menambah penghasilan keluarga dengan berjualan kecil-kecilan.

Suatu ketika aku pernah bertanya pada Ama (Pertanyaan yang sengaja ku lontarkan karena kebosanan ku yang setiap pagi dan sore mesti mengantar dan menjemput jualan Ama yang dititipkan di warung-warung).

“Ma, apakah tak cukup penghasilan Ama dan Bapak ‘tuk kehidupan kita?”

Sedikit terkejut Ama menjawab “Nak, hidup ini komplit. Gaji Ama sudah di potong Bank, begitu juga dengan penghasilan Bapak”

“Kenapa bisa demikian Ma?” Tanya ku penasaran.

“Sudahlah, suatu saat kau akan mengerti” Ama mengakhiri percakapan seraya mengusap punggung ku.

***

Saat ku menjejakan kaki di sekolah menengah umum, rasanya aku sudah cukup mengerti untuk menterjemahkan arti sesegukan tangis Ama di sepertiga malam kala do’a dipanjatkankanya. Ketika ku mencoba bertanya akan arti tangisnya itu, Ama pasti akan tersenyum dengan ketegarannya berupaya selalu dan akantetap kuat di depan ku.

Kerap sekali aku mendengar diskusi singkat Ama dan Bapak tentang masalah yang sedang mereka hadapi, pertengkaran kecil pun tak luput dari diskusi itu. Namun, ketika mereka sadar akan kehadiran ku suasana berubah seketika. Ama langsung melontarkan senyumannya, mengisyaratkan bahwa tidak terjadi apa-apa.

Ama pun marah besar ketika ku memaki kakak ku yang pulang liburan semester.

“Jaga mulut mu nak!!” teriak Ama lantang

Padahal semua itu ku lakukan sebagai wujud kekesalan ku akan arti air mata Ama karena masalah yang ditimbulkan kakak ku. Tapi tidak bagi Ama, apapun yang diperbuat oleh anaknya, hal terburuk sekalipun. Dia tetap anaknya, dan Ama akan berada di garis terdepan untuk melindungi.

***

Aku yang selalu mengeluh, minder akan kekurangan ku. Ama adalah orang nomor satu yang akan menyemangati ku.

“Siapa bilang kamu jelek nak?”

“Walaupun berbeda dengan kakak-kakak mu, tapi kau tetap anak Ama yang paling tampan”

“Hitam tidaklah jelek, lihat tuh Gery Chocolatos. Biar hitam, tapi manis kenyataannya”

“Ingat, fisik luar tak menjamin isinya. Percaya dirilah, karena itu adalah hal terpenting yang mesti kau miliki”

Aku juga teringat ketika Ama dengan kesabarannya memberikan pengertian pada ku.

Waktu itu aku merajuk tak mau menyapu rumah, mencuci piring dan mengantar kue Ama ke warung lagi setelah mendapatkan ejekan dari karib ku.

Pagi itu Ama menghampiri ku yang sudah mengenakan seragam sekolah tanpa melakukan rutinitas seperti biasanya.

“Nak, Apakah pria tak boleh membantu mengerjakan pekerjaan wanita?”

Aku menunduk, bungkam tak menjawab.

“Apakah kau tega melihat Ama mengerjakan semua ini sendiri?”

“Bagaimana suatu ketika Ama sakit?”

“Andai kakak perempuan mu tak merantau ke negeri orang, pastilah dia yang mengambil alih semua ini. Namun, kenyataannya hanya kau anak Ama yang ada.”

“Jika perkataan teman mu membuat kau malu dan membatu, berarti semua yang kau kerjaan selama ini tidaklah ikhlas.”

“Sesungguhnya pahala yang kau dapat adalah dari Tuhan, bukan pujian dari orang sekitar nak.”

Kejadian pagi itu membukakan mata ku, bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan mestilah dengan niat yang ikhlas. Tanpa harus malu dan harap pujian ataupun balas jasa akan hal yang kita kerjakan.

***

Hanya karena tak ingin aku malu, Ama ikhlas menunggu diluar mal ketika berkunjung ke kota rantauan ku menuntut ilmu.

“Ama tak bisa naik escalator” ungkap beliau setelah kita tiba di rumah.

“Ama, tak ingin melihat kau malu bertemu dengan teman ketika sedang memapah Ama dari desa ini”.

Pengakuan ini sontak membuat ku terbelalak, hati ku teriris, dan aku hanya terdiam lalu memeluk beliau.

Begitulah Ama, yang selalu berkorban demi anaknya.

Dan, Ama pun bukan seorang peri. Beliau tetap manusia biasa dengan semua kekurangannya. Ama yang selalu salah melafaskan istilah, sibuk bertanya akan arti istilah baru yang baru didengarnya dan berteriak histeris kala menghidupkan kompor gas. Ama juga gaptek sekali dengan alat elektronik. Jika Ama minta bantuan untuk membaca SMS yang masuk ke inbox telepon genggamnya adalah suatu hal yang wajar, bagaimana tidak mengangkat telepon rumah yang berdering pun ama nervous minta ampun, kalau tidak terpaksa karena sendiri di rumah, pastilah Ama ogah menerima telepon yang berdering itu.

Selain itu, jika emosi sedang memuncah Ama akan menjelma menjadi seorang monster, tak ada satu jua yang mampu meredam emosi Ama kala murka. Semua menjadi tumbal, tak mengenal capek Ama akan berkicau dengan merdunya, siapa yang mendekat akan disikat. Mengerikan!

***

Seminggu sudah aku mengurung diri di kamar. “Tidak ada kata kompromi lagi”, begitulah kalimat terakhir sebelum ku menghempaskan pintu kamar sekerasnya tujuh hari yang lalu. Ini merupakan wujud protes terbesar kepada Ama yang begitu ngotot meminta ku menerima kelulusan ini. Hati ku kesal sekali, kenapa Ama tak sebijak bapak yang menyerahkan semuanya pada ku. Padahal beliau begitu hafal betapa besarnya keinginan ku menaklukkan Ibukota, ketika semuanya ku raih beliau malah berkhianat memaksa ku tuk terdampar di negeri entah berantah, begitulah ku menyebutnya.

Dipenghujung Desember ini, dari jendela kamar ku tatap rinai sumringah menawarkan pesonanya, kabuttipis menambah syahdu kota sejuk kaki gunung ini. Namun tidak bagi ku, emosi ku siap melelehkan gunung es sekalipun.

Dari luar suara Ama begitu jelas ku dengar, namun hati ku terlanjur membisu. Tak satu pun panggilan itu ku indahkan, hingga suara parau itu dengan isaknya merambat dari dibalik pintu kamar.

“Nak, jangan menjadi sombong karena gelar dan prestasi yang baru saja kau raih. Sukses pun kau kelak, Ama janji tak akan pernah meminta. Ama tahu, jauh disana nanti kau akan meraup penghasilan yang berlimpah, namun terlalu penat bagi ama nan renta ini tuk menjumpai mu, melihat mu langsung sukses dengan semua itu. Berbeda dengan negeri entah berantah kata mu itu, walaupun tak sehebat apa yang kau bayangkan, tapi ketika Ama membutuhkan mu, sekejap saja Ama sudah berada disamping mu.”

“Ingatlah nak, kau bisa meraih semua ini dari penghasilan rendah seorang kuli pemerintah ini. Dengarlah, ini semua untuk kebaikan mu. Ama mohon, terimalah kelulusan itu. Janganlah sesumbar menolak pemberian Tuhan yang begitu didamba banyak orang yang tak seberuntung mu”

Tak terasa butiran bening mengalir dengan sendirinya di sudut kelopak mata ku. Betapa arogannya aku ini, entah berapa banyak aku melawan dan membantah beliau. Menjawab “Akh…” ketika dimintai pertolongan, entahlah….

Inilah pertama kalinya aku merasatak ingin kehilangan Ama, sepertinya hingga kini belum ada satu pun yang telah ku persembahkan pada beliau. Ama benar, sukses ku bukan di Ibukota sana. Tapi sukses ku selalu ada dan melakukan yang terbaik buat Ama.

Ku raih tangan keriput Ama, memohon ampun..

“Ma, maafkan aku…”

***

Akhir dari tulisan ini, dari lubuk hati yang terdalam sebagai seorang anak, aku ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Ama karena belum mampu menjadi anak yang baik, anak yang sholeh baginya. Sesungguhnya dalam pendakian perjalanan ini terlalu banyak khilaf yang ku perbuat pada beliau.

Terkadang kita selalu menyesal, meratapi akan kesalahan yang telah kita lakukan tanpa berbenah diri untuk tidak mengulanginya lagi.

Sebelum kata menyesal itu hadir, mungkin masih ada waktu untuk membungkus bingkisan kecil pada beliau, di usia rentanya ku ingin menjadi anak yang penurut, anak yang selalu patuh akan maunya.

Benar adanya, ibu mana di dunia ini yang ingin mencelakakan anaknya, dan… aku pun berjanji akan sekuat tenaga melakukan semua keinginan mu Ama…..

_***_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun