Mohon tunggu...
Uhamka Press
Uhamka Press Mohon Tunggu... -

Unit Percetakan dan Penerbitan UHAMKA

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Buya Hamka

16 November 2014   05:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:42 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Editor: Afif Hamka. Drs., dkk.

Isi: xxiii+452 hlm.

Ukuran: 11x19 cm.

Tahun: 2009 (Cet. ke-2)

Penerbit: Uhamka Press

Siapa peduli bahwa dari zaman dahulu setiap hari, di seluruh dunia ini ribuan bayi manusia lahir untuk memulai kehidupan, berasamaan dengan itu ribuan pula manusia mati setiap hari untuk mengakhiri hidupnya. Begitulah setiap saat berlangsung terus proses pergantian generasi sebagaimana beredarnya sunnatullah yang pasti. Dan siapa pula yang peduli bahwa semua manusia yang pernah lahir ke dunia ini suatu saat pasti hari kelahirannya akan sampai genap 100 tahun, meskipun sedikit tentunya yang sempat mengalami sendiri saat-saat yang langka itu karena masih dipanjangkan usia dalam hidup yang renta. Kebanyakan manusia termasuk kita, barangkali tidak sempat lagi merasakan suasana ketika hari kelahirannya genap seratus tahun. Tetapi siapa peduli!

Namun di antara bermilyar jumlah manusia yang pernah dilahirkan di dunia ini terdapat orang-orang tertentu yang memeiliki keistimewaan mengesankan sehingga kita terdorong untuk peduli mengenang 100 tahun kelahirannya dngan cara-cara tertentu, seperti memperbincangan sosok kepribadiannya, mengabadikan pandangan-pandangannya, menggali pikiran-pikirannya serta meneladani sikapnya dalam berbagai aspek lewat tulisan dalam sebuah buku, meskipun yang bersangkutan telah lama meninggalkan dunia yang fana ini, sementara jasadnya telah hancur di kalang tanah. Lagi pula tak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa kelak di suatu masa, kelahiran mereka yang ke-100 tahun akan dikenang orang dengan kegiatan tertentu.

Mereka itu tuntulah bukan manusia sembarang orang. Mereka sudah pasti merupakan manusia langka yang ditakdirkan Tuhan hadir ke dunia ini untuk memberikan manfaat yang besar, bukan hanya bagi masyarakat yang hidup sezamannya, tetapi juga bagi generasi yang hidup sesudahnya.

Di antara mereka itu adalah H. Abdul Malik Karim Amrullah, yang kita kenal dengan sebutan Buya Hamka, seorang anak desa kelahiran dusun kecil di tepian danau Maninjau, Sumatera Barat. Seorang tokoh otodidak yang diakui banyak pihak sebagai sosok pribadi luar biasa yang memiliki berbagai kelebihan multi-dimensional.

Selain karya-karya tulisnya, Buya Hamka juga meninggalkan jejak dalam sejarah modern Islam di Indonesia. Jiga juga termasuk pelopor jurnalisme Islam, tokoh pengembang gerakan dakwah bagi kalangan masyarakat urban perkotaan, Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar yang mempelopoeri berdirinya sekolah-sekolah Islam Al-Azhar yang kini menjadi model Lembaga Pendidikan Islam modern. Ia diakui sebagai da’i penyejuk umat yang menjadikan agama bermakna di tengah arus sekularisme.Dan, meskipun secara formal menjadi Ketua Umum MUI, yang akhirnya mengundurkan diri lantaran teguh mempertahankan prinsipnya, ia adalah “ayah” spiritual bagi sehala lapisan masyarakat.

Kita patut bertanya, manusia macam apakah Hamka itu? Pendidikan formalnya saja tidak sampai kelas dua Sekolah Desa. Namun dari sosok keberadaannya, tokoh otodidak ini telah melahirkan anak-anak muda yang berhasil meraih gelar doktor di Perguruan Tinggi mereka setelah menyusun disertasi tentang pemikirannya.

Buku ini berisi tulisan-tulisan para tokoh tentang Buya Hamka yang mereka kenal. Tulisan-tulisan itu dimaksudkan sebagai pengantar untuk memahami kepribadian dan pandangan Buya Hamka dalam berbagai aspek yang menarik untuk dikembangkan bagi kehidupan beragama, berbudaya, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada masa depan.

Di antaranya tulisan Prof. Dr. Taufik Abdullah dengan tema, “Buya Hamka: Aktor di Atas Pentas Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia,” yang mengatakan dengan nada memperingatkan: “Di sinilah antara lain terletak kekuatan Buya Hamka. Ia lebih dulu menjadikan kesemuanya sebagai suasana yang harus dipelihara tanpa kebencian. Dari awal inilah semua harus dimulai. Hanya saja rupanya baginya hal ini bukanlah sekedar strategi tetapi adalah juga bawaan yang dinikmatinya, karena dirasakannya sebagai landasan kearifan. Sikap ini kelihatan dari jawabannya atas pertanyaan seorang wartawan/novelis tentang mengapa ia menggabungkan saja agama dan gaya sastra. “Seorang ahli agama yang berbakat sastrawan,” katanya, “dapat menjadi pelopor untuk menghilangkan penyakit dogmatis. Ulama-ulama yang dalam dirinya atau dalam karangannya tidak ada rasa seni, tidak ada jiwa pujangga, maka apa yang ditulisnya menjadi gersang dan kering. Fanatisme dan penyakit dogmatis itu disebabkan sempitnya pergaulan. Dan semuanya itu langsung atau tidak langsung menjadi penghambat bagi tumbuhnya pemikiran yang sehat terhadap peri kehidupan” (hlm. 14-5). Dalam pada itu, melalui tulisan bertema, “Hamka, Minangkabau dan Indonesia,

” Ahmad Syafi’i Ma’arif, Prof. Dr. mengatakan, “Saya tidak tahu sudah berapa jumlah tesis dan disertasi yang ditulis para sarjana dalam membedah pemikiran Hamka. Ada sebuah paradoks di sini. Seorang otodidak tanpa sertifikat formal telah melahirkan begitu banyak peminat untuk menelusuri seberapa jauh jangkauan pemikiran Hamka dalam berbagai ranah: agama, sejarah, filsafat, sastra, tasawuf, dll.” (hlm. 24). Selanjutnya dikatakan bahwa, “Untuk Indonesia ke depan yang masih juga gamang merumuskan jati-dirinya setelah lebih 60 tahun medeka, karya-karya Hamka perlu disebar-luaskan terus menerus, karena di dalamnya termuat perennial massage (pesan abadi) untuk kebesaran bangsa ini, Indonesia yang sangat dicintainya” (hlm. 26). Sementara melalui tulisan bertajuk, “KEISLAMAN DAN KEINDONESIAAN: Kiprah dan Pemikiran Buya Hamka,” Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa, “Buya Hamka memandang kemerdekaan secara lebih substantif. … Beliau mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan jiwa, yaitu kemerdekaan yang berlandaskan pada kekuatan iman dan akal budi. Kemerdekaan suatu negara yang tidak berlandaskan kepada kekuatan iman dan akal budi akan runtuh dari dalam” (hlm. 180).

Lebih lanjut dikatakan, “Bangsa Indonesia patut bersyukr karena memiliki tokoh-tokoh sekaliber Buya Hamka sehingga dalam perjalanan sejarah Indonesia tidak terjebak antara dua kutub yang berseberangan, yaitu menjadi negara agama atau negara sekuler. …Paham Ketuhanan YME. mengharuskan kita mengakui adanya ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Esa. Artinya, Tuhanlah yang sebenarnya berdaulat atas peri kehidupan kita seluruhnya. Namun kedaulatan Tuhan itu tidak mewujud kedalam kedaulatan Raja, melainkan mewujud dalam konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum” (hlm. 182.).

Adapun lewat tulisan, “Mengenal dan Mengenang Buya Hamka” – sebagian berisi hasil risetnya saat menulis disertasi tentang pemikiran dua mufasir Indonesia modern, Hamka dan M. Hasbi ash-Shiddiqyi, mengenai perempuan dalam perspektif gender, Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., MA, mengatakan, “Dari penelitian ditemukan bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat tentang perempuan, Hamka dan Hasbi dapat berpikir jernih, bebas dari pandangan diskriminatif dan misoginis terhadap perempuan. … Secara keseluruhan, sekalipun tidak menggunakan tema kesetaraan gender, Hamka dan Hasbi cukup apresiatif terhadap tema kajian ini” (hlm. 246-7).

Buku yang diterbitkan oleh Uhamka Press ini adalah salah satu bentuk kepedulian kita atas ketokohan Buya Hamka yang lahir 100 tahun silam. Buku ini terdiri dari tulisan para tokoh yang umumnya sempat mengalami suasana keakraban bergaul dengan Buya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun