Mohon tunggu...
Ugit Rifai
Ugit Rifai Mohon Tunggu... Guru - Learn, Invent, Dedicate

Muncul dan membesar di Cirebon atau Cerbon. Pernah menetap di Bandung selama 9 tahun untuk kuliah dan bekerja. Sekarang sudah kembali dari perantauan dan menetap di Cerbon. Dengan kesibukan mengajar sehari-hari, masih sempat menyenangi membaca dan menulis. Internet adalah wadah utamanya. Karena kalau nulis di media belum tentu dimuat. hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Antara Dua Hidup

16 September 2010   04:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lima jam lalu iring-iringan jenazah itu lewat persis sekali di depan rumahku. Di barisan depan terlihat serombongan orang bersorban mengagung-agungkan nama Tuhan. Nadanya begitu menyayat hati. Bagi orang-orang tua seperti Bapakku, kalimat-kalimat itu langsung mengingatkannya pada MATI.

Dua jam berikutnya kulihat Bapak masih duduk termenung. Matanya memandang jauh ke luar jendela. Tapi, pandangannya jauh melebihi angkasa raya. Aku yakin bukan hanya MATI yang teringat olehnya saat itu. Lebih dari itu, jasad yang menghuni keranda iring-iringan lah yang saat itu nampak memenuhi pikirannya. Beliau adalah seorang kakak bagi Bapak.

Sekarang sudah lima jam lebih. Aku harus mengingatkan Bapak. Hanya berjarak dua telapak kaki di belakang Bapak, langkahku terhenti. Kudengar Bapak terisak. Telapak tangan kanan Bapak nampak didekatkan ke muka. Mungkin Bapak menyeka air matanya.

''Mul, sudah berapa lama kamu berdiri di situ?'' Bapak seolah sudah sadar dengan keberadaanku sejak tadi. Aku beringsut mendekat.
''Ya, lumayan, Pak,'' kataku.
''Mul, apa kamu bakal menangis seperti Bapak kalau kamu menyaksikan temanmu pergi ke alam barzah?''
''Mungkin. Tak tahu lah.''
''Tapi dia kan temanmu, Mul?''
''Ya, tapi mana saya tahu perasaan saya nanti seperti apa. Mungkin saya bakal menangis, tapi mungkin tidak seperti Bapak tadi.''
''Kamu betul, Mul. Perasaan tak bisa direncanakan juga tak bisa diperkirakan.''

Bapak berdiri. Kuikuti langkahnya menuju kamar mandi. Selepas mengambil air wudhu, Bapak sempat berdoa menghadap kiblat. Aku bergerak melewati Bapak menuju kamar mandi. Saat bahu kiriku tak sengaja menyenggol bahu kanan Bapak, tangan kanan Bapak tiba-tiba saja memegang bahu kiriku.

''Apa kamu menganggap saya sudah MATI, Mul?''
''Maksud Bapak?''
''Ah, sudahlah. Saya jelasin juga kamu belum tentu ngerti, Mul.''

Akhir-akhir ini Bapak memang sering membuatku bingung. Tapi tidak sebingung ini. Aku benar-benar tidak mengerti maksud Bapak. Bapak pun sepertinya tahu kalau aku memang benar-benar tidak mengerti maksud Bapak. Ya sudahlah, lebih baik aku segera berwudhu dan menyusul Bapak ke mushalla.

Setengah jam adalah waktu yang cukup lama untuk dihabiskan di dalam mushalla. Hanya di dalam mushalla. Aku tak yakin apa yang Bapak minta pada Tuhan. Apakah umur yang panjang, rizki yang berlimpah, dimasukkan ke surga, atau dijauhkan dari neraka? Entah. Walaupun bagiku semuanya sama saja. Di sana ada kematian sebagai penutup sekaligus pembuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun