Mohon tunggu...
Ugit Rifai
Ugit Rifai Mohon Tunggu... Guru - Learn, Invent, Dedicate

Muncul dan membesar di Cirebon atau Cerbon. Pernah menetap di Bandung selama 9 tahun untuk kuliah dan bekerja. Sekarang sudah kembali dari perantauan dan menetap di Cerbon. Dengan kesibukan mengajar sehari-hari, masih sempat menyenangi membaca dan menulis. Internet adalah wadah utamanya. Karena kalau nulis di media belum tentu dimuat. hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cermin Bapak

19 September 2010   02:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi ini Bapak pergi lagi menawarkan barang dagangannya kepada siapa saja yang ditemuinya di jalan. Ibu selalu melepas Bapak dengan senyum walaupun ia tak pernah tahu apa yang dikerjakan Bapak selama ini. Ibu tak pernah tahu, tak mau tahu, dan menurut Ibu, ia tak berhak tahu apa yang selama ini Bapak tawarkan kepada orang-orang di jalan.

Bapak sampai di Jalan Kartini. Ia turun dari angkutan umum lalu mendekati kerumunan orang. Bapak mengeluarkan barang dagangannya dari dalam tas. Cermin. Dalam berbagai ukuran, warna, dan model bingkai, Bapak menawarkannya. Orang-orang tertarik. Mereka membeli cermin-cermin itu setelah sengit beradu tawar dengan Bapak. Kini Bapak boleh tersenyum. Cerminnya hampir habis. Tinggal satu tersisa.

Seorang tua mendekat. Sambil tergopoh ia lantas bertanya, ''Bapak menjual cermin?''
''Iya, betul. Kebetulan tinggal satu dan ini yang paling bagus,'' begitulah katanya.
''Baiklah, saya beli. Harga tak jadi masalah,'' kata Pak Tua itu.

Setelah Bapak menyebutkan harganya, Pak Tua itu menyerahkan beberapa lembar uang kertas. Lantas, Pak Tua itu hampir saja melenggang pergi kalau Bapak tak menepuk bahunya. Bapak lalu jadi nampak sangat penasaran dengan Pak Tua itu.

Bapak bertanya, ''Sepertinya Sampeyan ingin sekali membeli cermin itu. Untuk siapa sebenarnya cermin itu?''
Pak Tua itu menjawab dengan enteng, ''Tetanggaku. Beliau mesen cermin ini buat mantunya. Katanya mantunya itu butuh banget cermin di rumahnya.''

Pak Tua itu pergi. Bapak maklum.

Sudah sore Bapak baru sampai di rumah. Ibu menyambut Bapak dengan senyum, sama seperti waktu melepas Bapak pergi. Tapi, sekarang lain. Ibu punya kabar gembira.

''Mas, tadi siang Bapak mampir ke sini. Beliau ngasih kita hadiah. Katanya hadiah itu buat Sampeyan,'' kata Ibu sambil terus tersenyum.
''Hadiah apa?'' Bapak jadi penasaran.

Ibu tidak menjawab. Bapak diminta masuk ke kamar tidur dan melihat hadiahnya. Di atas meja kecil di samping dipan, Bapak melihat sebuah cermin.

Cirebon, 31 Agustus 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun