Mohon tunggu...
Mugi Lestari
Mugi Lestari Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Kebahagiaan itu terletak dalam hati orang-orang yang bersyukur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebait Puisi di Masa Lalu

13 Desember 2011   03:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:24 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ardhan Wicaksono namanya. Dia seniorku di SMA. Pembawaannya tenang melahirkan kesejukan dalam setiap mata memandang. Ramah dan supel kepribadiannya membuat dia diterima di semua kalangan. Hal yang membuat aku begitu mengaguminya adalah  kecemerlangan otaknya. Begitu banyak prestasinya melahirkan kekagumanku yang pertama. Pesonanya tak pernah padam di mataku. Bahkan sampai tahun ke tujuh setelah pertemuan pertamaku dengannya saat aku baru menginjakkan kakiku di SMA.

Hari-hari berlalu. Tanpa kusadari kekaguman itu menumbuhkan sebentuk rasa yang tak pernah aku alami sebelumnya. Ada getar tak biasa di setiap aku melihat sosoknya. Ardhan... cinta pertamaku yang terpendam terlalu dalam. Aku mengaguminya dari segala hal yang ada pada dirinya. Andaipun dia punya kekurangan aku pasti memakluminya karena dia hanya manusia biasa. Tetapi kekagumanku pada sosoknya bagai nyala api yang tak pernah padam sekalipun angin berhembus kencang. Ah terlalu berlebihan memang. Tapi begitulah adanya. Bahkan sampai saat ini kekagumanku pada sosok Ardhan Wicaksono masih membelenggu. Tidak ada sesuatu hal yang mampu memupuskan perasaan ini meski telah setengah dekade aku tak pernah melihatnya. Pesonanya begitu kuat terpateri di dalam hati ini.

#####

Aku duduk di tengah kesunyian dengan perasaan yang begitu bahagia. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Berkali-kali aku melihat jam di tanganku dan berharap paling tidak waktu berjalan lebih cepat dari normalnya. Berkali-kali aku mencoba menghubungi Citra melalui handphone, tetapi jawabannya selalu dari operator yang mengatakan “ Maaf, nomer yang Anda hubungi sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi.”

“Huuufttt...” Agak kesal aku mengakhiri panggilan.

Tempat ini adalah tempat bermain kami –aku, citra, dan beberapa teman yang lain- saat masih kecil dulu. Citra adalah sahabat terbaikku, sekaligus kakak yang aku banggakan. Umurnya terpaut setahun denganku. Wajahnya elok, pembawaannya anggun, kulitnya bersih, dan senyumnya mempesona bagaikan bidadari. Telah lebih sepuluh tahun aku tak bertemu dengannya semenjak dia pindah ke Yogyakarta bersama keluarganya. Hari ini dia datang kembali ke kota kecil kami dan berjanji akan menemuiku di tempat ini.

Aku merebahkan tubuhku di atas rumput hijau di bawah pohon beringin yang masih sama rindangnya dengan masa sepuluh tahun silam. Aku menutup mataku dan membiarkan anganku mengembara melintasi berbagai masa, dan bayangan itu kembali ke masa kecilku. Masa kecil yang indah, pikirku. Aku tersenyum sendiri mengingat semua kejadian lucu di masa itu.

Tiba-tiba sebuah pelukan mengejutkanku, sontak aku membuka mata dan berteriak.

“Citraaaa.....” Aku memeluknya lebih erat.

“Rara...Aku kangen banget sama kamu, Ra” jawabnya.

“Sama Cit. Ya ampun, sepuluh tahun lebih gak pernah ketemu dan sekarang akhirnya ketemu lagi.”

“Iya, Ra. Oh, iya bagaimana kabar mama, Papa, sama kak Rizky?” tanya citra.

“Hmmm... Alhamdulillah sehat Cit. Gimana kabar Om Bagas sama Tante Ranti?” Tanyaku kembali.

“Alhamdulillah, baik juga. Oh, iya kenalkan ini tunanganku, Ra.” Citra menunjuk ke seorang pria yang berdiri di sampingnya.

Perasaan bahagiaku bertemu dengan Citra membuatku tak sadar bahwa ternyata Citra tidak datang sendirian. Aku baru menyadarinya saat Citra memperkenalkan pria di sampingnya sebagai tunangannya. Aku memalingkan pandanganku kepada pria tampan berpakaian rapi di samping Citra. Tiba-tiba aku merasa duniaku runtuh seketika saat aku menyadari bahwa aku mengenali pria ini lebih dari siapapun.

“Kak Ardhan?” Sapaku.

Ardhan tersenyum sambil memperkenalkan dirinya.

“Ardhan Wicaksono. Rahardhiani Putri, bukan?”

“I...iya.... Rara. Rahardhiani Putri.” Jawabku sambil menyambut uluran tangan Ardhan.

“Jadi ternyata kalian sudah saling kenal?” Tanya Citra.

“Iya Cit... kami bersekolah di SMA yang sama.” Jawab Ardhan tenang. Aku hanya tersenyum mengiyakan jawaban Ardhan.

“Kebetulan sekali. Aku jadi tidak perlu memperkenalkan kalian.” Kata Citra.

“Dhan... kamu bilang mau ngajak aku ke tempat makan favorit kamu? Bagaimana kalau kita kesana sekarang sekalian ngajakin Rara?”

“hmmmm... boleh deh” Jawab Ardhan.

“Yuk, Ra!!” Citra menggandeng tanganku dan membawaku bersama mereka.

Sungguh seandainya aku bisa berteriak, teriakanku pasti lebih dahsyat dari suara halilintar. Seandainya aku diizinkan menangis pasti air mataku telah membanjiri seluruh kota ini. Seandainya diizinkan untuk memilih, aku akan melarikan diri dari situasi ini. Berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak memuntahkan seluruh perasaanku yang tercampur tidak karuan seperti ini. Aku bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena aku bertemu dengan sahabat terbaikku yang lebih dari satu dekade tak bersua sekaligus mendengar bahwa 1 tahun lagi dia akan menikah. Namun aku terlalu sedih untuk mendengar bahwa pria yang beruntung mempersuntingnya adalah dia yang menyita hampir seluruh hatiku selama bertahun-tahun ini.

#####

Mobil yang kami tumpangi melaju pelan memecah kota kecil ini. Selesai makan di Butterfly cafe, Ardhan mengantarku pulang ke rumah. Citra telah diantar terlebih dahulu ke rumah neneknya. Kebetulan rumahku dan rumah Ardhan searah, jadi dia mengantarku belakangan.

“Gak nyangka ya, Ra. Akhirnya aku bisa ketemu sama kamu lagi.” Kata Ardhan.

“Sama Kak, aku juga gak nyangka kita ketemu lagi seperti ini. Lebih gak nyangka lagi ternyata Kak Ardhan tunangan Citra.” Jawabku pelan  tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ardhan. Bukan karena aku tak menghormati lawan bicaraku, tapi terlebih karena aku takut dengan perasaanku pada Ardhan. Aku takut tak dapat menguasai hati dan perasaanku yang menyimpan kakaguman mendalam kepadanya sekian lama.

Aku mendengar sebuah tarikan nafas panjang dan dilepaskannya pelan-pelan. Kemudian Ardhan menepikan mobilnya di depan SMA kami, tepat di saat senja begitu jingga di ufuk barat.

“Kamu tahu pohon Cemara itu, Ra?” Tanya Ardhan sambil menunjuk sebuah pohon cemara di depan  SMA.

Pandanganku lurus mengikuti sebuah pohon cemara paling kecil yang berada di antara barisan pohon cemara lain yang besarnya dua kali lebih besar dibandingkan pohon cemara itu. Astaga, itu kan pohon cemara favoritku? Kenapa Ardhan menanyakan pohon cemara itu? Pikirku.

“Iya kak, aku tahu.” Jawabku singkat.

“Aku punya cerita tentang pohon cemara itu, Ra.” Jawabnya.

“Oh ya?” agak terkejut juga aku mendengar kata-katanya yang barusan. “Kalo boleh tahu cerita apa ya, Kak?” tanyaku kemudian.

Sepintas aku melirik ke arah Ardhan. Pandangannya begitu fokus kepada satu titik, pohon cemara itu.Hampirsaja aku terkuasai oleh perasaanku jika aku tak segera memalingkan pandanganku darinya.

“Dulu, ada seorang gadis aneh yang senang sekali duduk di bawah pohon cemara itu. Dia selalu membawa sebuah buku kecil dan ballpoint. Awalnya aku merasa sangat heran dengannya. Belakangan aku tahu ternyata di bawah pohon cemara kecil itu dia melahirkan sajak-sajak yang begitu indah, Ra”.

“Bagaimana kakak tahu, kalau gadis yang kakak lihat membuat puisi di bawah pohon cemara itu?” tanyaku menyelidik.

“Pada suatu hari secara tidak sengaja gadis itu menjatuhkan buku kecilnya. Aku membiarkan gadis itu pergi tanpa menyadari bahwa buku kecilnya telah hilang. Aku memungut buku kecil itu dan membawanya pulang. Karena penasaran, aku membaca seluruh tulisan di buku kecilnya yang semua berisi tentang perasaannya terhadap seseorang yang dikaguminya dalam bentuk puisi. Aku begitu terkejut saat aku tahu, cowok yang dimaksud dalam tulisan itu adalah aku.”

Terkejut aku mendengar cerita Ardhan. Aku sama sekali tidak pernah menyangka ternyata Ardhan menyimpan cerita sperti ini. Aku diam menunggu kelanjutan ceritanya. Tetapi ternyata dia tidak melanjutkan sedikitpun ceritanya.

Tiba-tiba Ardhan menggenggam jemariku.

“Ra, akupun menyimpan kekaguman yang sama dengan gadis itu bahkan sampai detik ini.” Katanya. Sorot matanya begitu tajam membidik tepat di jantungku.

Aku terkulai lemah mendengar pernyataannya. Selemah itu posisiku saat ini. Rasanya air mata ini sudah tak mampu aku bendung lagi. Pertahananku jebol seperti jebolnya bendungan situ gintung beberapa tahun yang lalu. Tak ada kata yang terucap dari bibirku. Sungguh aku tak sanggup lagi berbicara apapun. Aku mencoba melepaskan tanganku dari genggaman Ardhan, tetapi dia menggenggamku semakin erat. Aku mencoba melepaskannya lebih kuat lagi, dan dia kembali mempertahankan genggaman tanganku dengan lebih kuat.

Ah, seandainya saja waktu dapat terulang kembali seperti kaset video yang dapat kita atur kapan dimulai dan di akhiri, serta adegan apa yang ingin ditonton aku hanya ingin mengulang kembali masa itu. Masa dimana aku menghabiskan waktu istirahatku di bangku taman sekolah tepat di bawah pohon cemara kecil itu sambil menulis puisi di diaryku. Aku ingin kembali ke masa aku mencuri lihat ke arah Ardhan yang sedang bersendau gurau dengan teman-temannya. Namun sayang, semua telah berlalu dan tak dapat diulang kembali. Waktu telah mengantarkan kami pada keadaan sekarang ini.

Sambil mengusap air mata dengan tangan kiriku, aku memberanikan diri bertanya kepada Ardhan.

“sekarang apa gunanya Kakak menceritakan tentang semua ini? Semuanya sudah terlambat kan? Kakak akan menikah dengan Citra, sahabat kecilku. Semuanya sudah terlambat Kak.”

Ardhan menatap mataku. Genggamannya semakin erat seolah tak ingin melepaskan tanganku dari tangannya.

“Aku tahu, Ra. Tapi asal kamu tahu Ra. Aku menyimpan perasaan ini selama kamu menyimpan perasaan yang sama terhadapku. Aku mengagumimu dari semenjak pertama kali aku melihatmu. Aku mengagumimu meski aku tak pernah mengenalmu. Aku menyimpan buku kecil itu dan membawanya kemana aku pergi. Aku selalu berharap akan bertemu denganmu dan mengungkapkan semua perasaanku kepadamu. Aku sempat melihat kamu saat pesta kelulusanmu saat itu. Seusai pesta kelulusan itu selesai aku mencarimu ke seluruh penjuru sekolah ini, namun tak kutemui. Kutanya pada semua orang tak ada yang tahu keberadaanmu. Saat itu aku begitu putus asa, Ra. Aku tidak tahu lagi harus mencarimu kemana. Lalu aku kembali ke Jogja untuk menyelesaikan kuliahku dan akhirnya aku menemukan pekerjaanku di sana.”

“Lalu kakak bertemu dengan Citra, kan?”

“Tidak, Ra. Tak sesederhana perkiraanmu. Aku mengenal Citra tepat sebulan yang lalu, saat keluargaku dan keluarganya bertemu di rumah Eyang di Jogja. Saat itu aku diperkenalkan dengan Citra dan alangkah terkejutnya aku saat orang tua kami memberitahu bahwa mereka telah menjodohkan kami semenjak kami masih bayi. Aku sama sekali tak mencintainya, Ra. Karena seluruh cintaku telah habis untukmu. Seluruh kekagumanku tak bersisa, seluruhnya untuk kamu.”

Aku tak mampu lagi berucap. Penyesalan semacam apapun tak akan sanggup merubah keadaan ini. Cintaku kandas tepat di saat aku bertemu dengan pangeran yang aku kagumi selama 7 tahun ini. Air mataku seolah enggan berhenti mengalir. Kulihat Ardhanpun demikian.

#####

Aku menutup diaryku dengan perasaan yang semakin kacau. Sebait puisi di masa lalu tertulis begitu dalam di hatiku dan hatinya. Bagai prasasti yeng menceritakan betapa sesungguhnya cinta itu begitu nyata. Sebait puisi yang selalu kusimpan di setiap buku diaryku. Sebait puisi yang sama yang selalu mengiringi kemana Ardhan melangkah. Sebait puisi di masa lalu.

Jika mencintaimu adalah suatau kesalahan

Membencimu adalah lebih dari sekedar kesalahan

Jika merindukanmu adalah suatu kelalaian

Melupakanmu adalah lebih dari sekedar kelalaian

Jika memimpikanmu adalah suatu kebodohan

Menyiakanmu adlah lebih dari sekedar kebodohan.

Air mataku semakin deras mengalir. Kesunyian menemani kehampaan hatiku. Rasa di hatiku begitu gelap, lebih gelap dari gerhana bulan di langit malam ini.

#####

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun