Mohon tunggu...
Ughe Sandy Ame
Ughe Sandy Ame Mohon Tunggu... -

Pemuda, Manis, Lugu dan Pemalu... Suka bergaul dan berkawan, Berbakti kepada Orang tua... Lahir Di Lombok Tengah-Kec. Praya Barat-NTB

Selanjutnya

Tutup

Money

Motif Kebijakan Penaikan Harga BBM dan Alasan Palsu Pemerintah

25 November 2014   01:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:57 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

“Kontrol Produksi dan Distribusi Minyak oleh Imperialisme di Indonesia adalah Penyebab utama Tidak tercukupinya kebutuhan BBM didalam Negeri-Bukan karena Tingginya Kebutuhan Konsumsi ataupun Defisit Anggaran Subsidi!”

Sungguh “Dosa yang maha besar” menuduh rakyat sebagai penyebab terjadinya deficit dan pembengkakan anggaran, seperti pernyataan Jokowi bahwa rakyat “sangat konsumtif dan boros” dalam menggunakan BBM.

Jokowi-JK sebagaimana Rezim boneka lainnya yang pernah berkuasa di Indonesia sangat lihai dan berpengalaman memenangkan Pemilhan Umum (PEMILU), akan tetapi tidak satu pun dari mereka yang memiliki kemauan, kemampuan dan lebih-lebih keberanian MEMENANGKAN masalah pokok rakyat Indonesia atas: “Dominasi Imperialisme, Penghisapan Feodalisme dan Penindasan Kapitalisme Birokrat”. Diusia pemerintahannya yang masih belum genap satu bulan ini, Jokowi-JK bahkan telah berhasil memukul Rakyat dengan kebijakan anti rakyatnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Ditengah popularitasnya yang sedang naik, Jokowi-JK baru saja mengambil keputusan pahit bagi rakyat yang pastinya paling dirugikan akibat kebijakan tersebut. Jokowi bahkan secara terbuka telah memberikan pukulan bagi para pendukungnya yang masih tengah ber-Uporia atas keberhasilan pemenangannya dan, masih juga ter-Ilusi atas “janji kerakyatannya” saat menjelang pemilu lalu.

Betapa tidak, kebijakan tersebut kenyataannya diambil ditengah pengidupan rakyat yang semakin sulit, dimana upah buruh dan para pekerja disektor lainnya masih sangat rendah, massifnya perampasan tanah, mahalnya biaya produksi dan rendahnya upah buruh tani, serta tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai (merata dan cukup menopang penghidupan rakyat), Pemerintahan Jokowi kenyataannya tetap melakukan pencabutan atas subsidi BBM. Sebagai pembenaran (Justification) penetapan kebijakan tersebut, setidaknya ada 10 alasan yang dikemukakan oleh pemerintah.

Alasan Jokowi untuk menaikkan harga BBM secara prinsipil tidak berbeda dengan alasan empat kali penaikan harga BBM oleh SBY. Seperti halnya rezim boneka sebelum-sebelumnya, Jokowi hanya berusaha untuk terus menutupi bahwa tidak tercukupinya kebutuhan minyak dalam negeri adalah akibat monopoli atas produksi minyak di Indonesia dan dominasi atas distribusi (pasar dan harga) minyak dunia yang dilakukan oleh Imperialisme.

A.Alasan Pemerintah

Usai lawatan keberbagai Negeri, sekaligus dalam rangka promosi kerjasama dan investasi di Indonesia melalui forum-forum Internasional, khususnya melalui APEC dan G-20, segera saja puji-pujian dari petinggi-petinggi berbagai negera berdatangan untuk Jokowi. Puji yang penuh muslihat tersebut kemudian kian ramai sejak sesaat setelah Jokowi mengumumkan kebijakannya “Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi”.

Agenda blusukan Jokowi hingga Internasional tersebut, tiada lain sebagai salah satu usaha untuk meyakinkan kapitalisme monopoli internasional (Imperialisme) bahwa Ia (Jokowi) memiliki komitmen dan keseriusan yang tinggi sebagai pengganti SBY, untuk menjadi budak imperialisme yang siap melayani dengan loyal, terutama untuk meneruskan peran SBY dalam usaha menyelamatkan perekonomian negeri imperialis dari badai krisis yang mereka derita akibat kerakusannya sendiri.

Kini saatnya Rakyat sadar, bahwa dibalik topeng Nasionalisme palsu sandaran popularitasnya, serta dengan segala puji yang dipangkunya, Jokowi telah menegaskan posisinya sebagai “musuh nomor 1” bagi rakyat Indoesia melalui pengumuman kebijakannya menaikkan harga BBM, sebagai salah satu cermin tindakan politiknya yang akan semakin menjauhkan rakyat dan negeri ini dari kesejahteraan, kemandirian dan kedaulatannya.

Ditengah kenyataan pengidupan rakyat yang semakin sulit, dimana upah buruh dan para pekerja disektor lainnya masih sangat rendah, massifnya perampasan tanah, mahalnya biaya produksi dan rendahnya upah buruh tani, serta tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai (merata dan cukup menopang penghidupan rakyat), Pemerintahan Jokowi kenyataannya tetap melakukan pencabutan atas subsidi BBM. Sebagai pembenaran (Justification) penetapan kebijakan tersebut, setidaknya ada 10 alasan licik yang dikemukakan oleh pemerintah:

Pertama: Pemborosan Anggaran. Menurut pemerintah, Indonesia adalah salah satu negara yang paling boros mengalokasikan dana subsidi untuk energi di Asia. Anggaran subsidi energi Indonesia 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Indonesia berada di urutan setelah Pakistan dan Bangladesh".

Produksi Minyak Nasional saat ini hanya mencapai 700.000 Barrel/hari, turun 150 ribu barrel dari jumlah produksi sebelumnya mencapai 850 ribu barrel/hari. Sedangkan kebutuhan konsumsi minyak nasional telah mencapai 1,6 juta barrel/hari. Artinya, untuk konsumsi minyak nasional, Indonesia mengalami deficit 900.000 barrel per-hari. Sementara harga minyak mentah Internasional saat ini sebesar USD.80 per-barrel atau sama dengan Rp. 1.020.000. Jadi, total kebutuhan untuk import minyak mentah sama dengan Rp. 918 M/hari.

Kedua: Meningkatnya Kebutuhan konsumsi dalam Negeri. BBM bersubsidi menyebabkan konsumsi dan impor minyak melonjak, sehingga menimbulkan defisit perdagangan migas dan neraca pembayaran. Kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri saat ini mencapai 1,6 juta barrel per-hari, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1,3 juta barrel per-hari.

Ketiga: Subsidi BBM Salah sasaran/sebagian besar dinikmati oleh Orang kaya, Sebanyak 53 persen dari total subsidi BBM atau sekitar Rp 210 triliun justru dinikmati oleh pengguna mobil pribadi saja. "Angkutan umum kecil hanya 3 persen".

Keempat: Cadangan Minyak menurun dan hampir habis, Indonesia bukan lagi negara yang kaya akan minyak. Cadangan minyak nasional hanya 3,7 miliar barel pada 2013. Dengan produksi, 800 ribu barel per hari (Mengacu pada Produksi 2013). Cadangan tersebut akan habis dalam waktu 12 tahun.

Kelima: Indonesia adalah Negara Importir, bukan Produsen, Indonesia telah menjadi importir minyak sejak tahun 2013 karena produksi menurun dan sebaliknya konsumsi terus meningkat.

Keenam: Pemberian Subsidi sudah “bukan trend” Masyarakat dunia, trend pemberian subsidi untuk BBM telah ditinggal oleh banyak negara.

Ketujuh: Negara Produsen saja akan menaikkan harga Minyak, negara-negara yang kaya akan minyak seperti Iran berencana menaikan harga minyaknya secara bertahap sesuai harga pasar.

Kedelapan: Anggaran Energi sangat timpang dengan Anggaran social dan Infrastruktur, Anggaran yang dialokasikan untuk subsidi energi sangat timpang dengan anggaran yang disalurkan untuk infrastruktur, kesehatan dan pemberantasan kemiskinan"

Kesembilan: Pendapatan dari sector MIGAS tidak sebanding dengan Subsidi, Pendapatan dari sektor Migas tak cukup untuk menutup ongkos dari subsidi energi.

Kesepuluh: BBM Murah menghambat pertumbuhan energy alternative, Harga BBM murah menghambat tumbuhnya energi alternatif di tanah air."BBM murah menghambat tumbuhnya energi alternatif seperti gas alam, panas bumi dan bio energy.

Alasan penaikan BBM oleh pemerintahan Jokowi kali ini, sesungguhnya merupakan alasan yang sama seperti yang digunakan SBY sebelumnya. Penaikan BBM kali ini hanya dibedakan dengan situasi dimana harga minyak dunia justeru mengalami penurunan. Namun dengan meningkatnya kebutuhan konsumsi dalam negeri yang tidak bisa dikendalikan, Jokowi kemudian dengan semena-mena menyalahkan rakyat sebagai bangsa “Konsumtif dan terlalu boros” dalam menggunakan Minyak.

B.Penyebab utama tidak tercukupinya kebutuhan minyak dalam negeri

Pemerintahan rezim baru Jokowi-JK hari ini, telah menunjukkan dirinya sebagai penerus bagi pemerintahan boneka sebelumnya. Dengan jargon “Nasionalisme palsu” yang dijadikan sandaran popularitasnya, rezim ini bertugas untuk mematangkan demokrasi palsu yang telah ditancapkan oleh SBY sebelumnya. Demikian juga dengan berbagai program anti rakyat yang telah dimulai oleh SBY, kini tanggungjawab Jokowi dan JK untuk melansungkan dan memaksimalkan pelaksanaannya.

Demikian halnya dengan kebijakan penaikan harga BBM kali ini, adalah kebijakan yang mustahil tidak terhubung dengan kepentingan Imperialisme atas energy yang tidak akan pernah ada habsnya, serta kepentingan kapitalisme monopoli dan borjuasi komprador dalam negeri atas infrastruktur untuk kelansungan usaha penghisapannya di Indonesia. Karenanya, pengalihan subsidi untuk pembangunan Infrastruktur tetap menjadi pilihan utama Jokowi.

Alasan utama pemerintah Jokowi bahwa pilihan kebijakan menaikkan harga BBM adalah akibat meningkatnya kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri, sehingga menyebabkan terjadinya deficit angggaran adalah bohong besar. Dengan alasan demikian, secara terbuka Jokowi telah mengingkari hakekat materi yang pastinya terus berkembang. Demikian halnya dengan peningkatan kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri yang sesungguhnya adalah niscaya.

Defisit anggaran yang tidak bisa dikendalikan akibat pembengkakan subsidi BBM yang dikemukanan Jokowi, terang menunjukkan ketidakmampuan pemerintahan Jokowi dalam melakukan perhitungan secara matematis sekalipun, selain untuk menipu dan membodohi rakyat. Apalagi statemen Jokowi yang tanpa rasa berdosa menyebutkan bahwa pengalokasian “anggaran subsidi BBM tidak efektif dan hanya pemborosan semata”, menunjukkan bahwa Jokowi telah secara terang-terangan melemparkan jauh kepentingan rakyat atas BBM dan berusaha menutupi kenyataan bahwa hampir sebagin besar kebutuhan rakyat dalam penghidupan sosialnya kini terhubung erat dengan energy dan bahan bakar minyak.

Secara spesifik, alasan-alasan pemerintah tersebut dapat kita bongkar dengan uraian sebagai berikut:

Pertama: Pemborosan Anggaran. Pernyataan pemerintah bahwa pengalokasian subsidi BBM adalah suatu pemborosan, sejatinya menegaskan posisi Jokowi-JK dengan segenap jajaran pemerintahannya sebagai pemerintah yang anti terhadap rakyat. Atas dasar apapun Alasan tersebut, sesungguhnya adalah alasan yang sangat mengada-ada.

Alokasi anggaran subsidi BBM dalam APBN-P 2015 ditetapkan sebesar Rp. 276 Trilliun, dari total alokasi anggaran subsidi Energi sejumlah Rp. 344,7 T. Jumlah alokasi anggaran tersebut, masih lebih kecil dari anggaran belanja Pemerintah, yang meliputi belanja kementerian dan lembaga Negara (alokasi tersebut tidak termasuk alokasi anggaran transfer untuk Pemerintah Daerah dan alokasi anggaran untuk dana Desa yang masing-masing dianggarkan secara terpisah) yang mencapai Rp. 647,3 T, yakni 32% (Alokasi terbesar) dari seluruh Alokasi belanja Negara. Namun total jumlah anggaran subsidi energy tersebut bahkan turun dari anggaran subsidi energi pada tahun 2014 sebesar Rp. 350,3 T, dengan volume konsumsi yang sama, yakni 46,0 juta Kilo liter.

Ironisnya, alokasi anggaran subsidi energi 2014 dan 2015 tersebut diatas pun masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pembayaran cicilan utang (Pembayaran cicilan utang per-Maret 2014) yang terus meningkat, meliputi pokok dan bunga mencapai $USD. 580 juta, samdengan Rp. 7,076 T (berdasarkan nilai tukar rupiah per-November Rp. 12.200/$US).

Sedangkan alokasi anggaran untuk pembayaran cicilan bunga utang 2015 (Dalam APBN 2015, Pemerintah tidak menyebutkan alokasi anggaran pembayaran cicilan pokok utang yang biasanya lebih besar dibandingkan dengan cicilan bunga), Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 152 T. Posisi utang luar negeri Indonesia saat ini (masih dalam hitungan Tahun 2014/APBN Tahun berjalan) meningkat dari tahun 2013 sebesar Rp. 2.023,7 T. menjadi $US. 269,274 Juta. Dengan kenyataan demikian, Pemerintah masih tetap tidak mau melepaskan diri dari ketergantungan atas utang luar negeri yang akan terus menjerat rakyat melalui perampasan lansung atas sumber-sumber penghidupan rakyat dan pemangkasan subsidi.

Alasan yang dikemukakan Jokowi tersebut diatas, bahkan semakin tidak masuk akal, apabila didasarkan pada perbandingan alokasi angggaran subsidi sejumlah Negara di luar negeri yang ditinjau dari aspek pertumbuhan penduduk maupun dari kebutuhan konsumsi, pertumbuhan produksi, dan aktifitas social-ekonomi lainnya yang sudah pasti berbeda.

Jikapun didasarkan pada perkembangan kebutuhan konsumsi dalam negeri yang berada “diluar prediksi pemerintah” sehingga melahirkan konsekwensi terjadinya deficit dan jebolnya anggaran, justeru semakin menunjukkan bahwa pemerintah sesungguhnya tidak pernah memiliki data dan analisis objektif atas keadaan dan perkembangan yang ada didalam negeri. Bersamaan dengan kenyataan demikian, maka “Sungguh Dosa yang maha besar” jika menuduh rakyat sebagai penyebab terjadinya deficit dan pembengkakan anggaran, seperti pernyataan Jokowi bahwa rakyat “sangat konsumtif dan boros” dalam menggunakan BBM. Tuduhan tersebut menyatakan seolah-olah rakyat menggunakan BBM untuk menyiram pekarangan rumah atau mengepel lantai.

Kedua: Meningkatnya Kebutuhan konsumsi dalam Negeri. BBM bersubsidi menyebabkan konsumsi dan impor minyak melonjak, sehingga menimbulkan defisit perdagangan migas dan neraca pembayaran.

Alasan tersebut diatas menunjukkan tidak adanya kedaulatan di negeri ini, akibat ketidakmampuan pemerintah untuk mengendalikan penguasaan minyak dan sumber energy lainnya oleh kapitalisme monopoli internasional di Indonesia. Selain itu, alasan diatas juga menunjukkan bahwa orientasi produksi dalam negeri oleh pemerintah, sangat mengutamakan Eksport. Karenanya, dengan perspektif dan orientasi produksi seperti demikian, pemerintah lagi-lagi menuduh rakyat sebagai penyebab kebangkrutannya dalam perdagangan minyak, khususnya melalui kegiatan eksport-import,karena meningkatnya kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri.

Dalam hal ini, akibat meningkatnya kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri, pemerintah memandang bahwa rakyat telah memangkas cadangan minyak untuk eksport yang terpaksa digunakan untuk menutupi kekurangan cadangan kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dilain sisi dengan adanya subsidi, oleh pemerintah dianggap merusak neraca pembayaran, sebab 30% pembayaran tersebut masih harus ditanggung Negara melalui subsidi. Karenanya, meskipin ada kenyataan penurunan harga minyak dunia saat ini dari US$.105 menjadi US$.80, Pemerintah tetap mencabut subsidi dan menaikkan harga BBM agar tidak merusak neraca perdagangan minyak pemerintah dan dapat mendatangkan keuntungan.

Dengan skema kebijakan tersebut, maka dibalik berbagai setan degradasi (penurunan) yang disebutkan pemerintah, baik dalam istilah pembengkakan maupun deficit, pemerintah dapat meraup keuntugan berlipat, diantaranya:

a). Pemerintah dapat menutupi deficit APBN untuk tahun berikutnya (APBN 2015) yang mencapai Rp. 245,9 T dari total belanja Negara sebesar Rp. 2,039,5 T. akibat rendahnya pendapatan Negara yang hanya mencapai Rp. 1,793,6 T.

b). Pemerintah mendapatkan keuntungan dari sisa alokasi anggaran subsidi BBM yang sudah dipangkas sebesar Rp. 30,1 T.

*Deficit APBN 2015 Rp. 245,9 T. Alokasi subsidi BBM Rp. 276 T. Dengan adanya kebijakan pengalihan subsidi BBM maka pemerintah dapat menutupi deficit APBN dari Alokasi subsidi BBM dan masih menyisakan (surplus) Rp. 30,1 T sebagai keuntungan tersendiri.

Keuntungan pemerintah bahkan akan jauh lebih tinggi jika mengacu pada perhitungan pemerintah atas produksi dan, subsidi BBM 2015 berdasarkan “asumsi dasar ekonomi makro” yang sama dengan perhitungan APBN sebelumnya (APBN 2014/Tengah berjalan), bahwa: Lifting (pengangkatan) minyak: 900 ribu barrel per-hari, kemudian harga jual/beli minyak (mengacu pada ICP 2013 dan APBN 2014): $US. 105, yang tidak samadengan (≠) harga minyak dunia sekarang: $US.80. Keuntungan ini masih belum menghitung keuntungan penjualan minyak didalam negeri (karena rakyat akan bayar penuh tanpa subsidi) dengan harga Rp.8.500 dikalikan target penjualan berdasarkan volume konsumsi 46 juta KL. Hal ini sejalan dnegan target pemerintah untuk pendapatan Negara dari sector MIGAS sebesar Rp. 224,3 Trilliun, sama dengan 55% dari total target pendapatan Negara bukan pajak mencapai Rp. 410, 3 T.

Artinya, berdasarkan alasan kedua yang dikemukakan oleh Pemerintah ini, rakyat dipaksa menyerahkan haknya atas syarat-syarat yang menyangkut hidupnya, melalui perampasan subsidi secara terbuka dan legal oleh Pemerintah.

Ketiga: Subsidi BBM Salah sasaran/sebagian besar dinikmati oleh Orang kaya, Sebanyak 53 persen dari total subsidi BBM atau sekitar Rp 210 triliun justru dinikmati oleh pengguna mobil pribadi saja. "Angkutan umum kecil hanya 3 persen".

Alasan ketiga yang dikemukakan pemerintah ini adalah alasan basi yang digunakan oleh pemerintah sebelum-sebelumnya. Secara faktuil, benar adanya peningkatan significant atas produksi dan penjualan kendaraan bermotor (roda dua dan roda empat).

Vice President Director PT Marketing Director PT Astra Honda Motor (AHM), Margono Tanuwijaya, menyebutkan bahwa “Hingga Oktober, total produksi PT AHM mencapai 4,25 juta unit. Tahun ini, perusahaan menargetkan angka produksi hingga 5,05 juta unit”, sedangkan angka penjualan disebutkan meningkat, bahwa dari 1,1 juta unit pada 2012 meningkat hingga menembus angka 1,2 juta unit pada 2013, kemudian dari Januari-Oktober 2014 penjualan kendaraan bermotor roda empat telah mencapai 1.038.298 unit dan, ditargetkan bisa menembus 1,2 juta unit hingga akhir tahun ini.

Data yang sama juga ditunjukkan oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAKINDO), “pasar otomotif Indonesia naik dua kali lipat dalam kurun waktu 2008-2013. Pada 2008 produksi Indonesia sebanyak 600.628 unit dan, pada 2013 melonjak menjadi 1,2 juta unit”. Seiring produksi yang meningkat, volume penjualan juga turut terkerek. Dari 608.774 unit di 2008 menjadi 1,2 juta pada 2013.

Namun demikian, pemerintah tidak bisa serta merta menjadikan peningkatan penjualan kendaraan sebagai data pokok melihat pertumbuhan ekonomi, apalagi sebagai parameter meningkatnya jumlah klas menengah di Indonesia. Sebab kenyataannya, rakyat dapat mengakses (membeli) kendaraan dengan mekanisme yang relative gampang yang bahkan tidak membutuhkan uang muka (DP) yang tinggi, utamanya kendaraan roda dua. Disamping itu, pemerintah tidak memiliki regulasi yang kongkrit sebagai kebijakan yang mengatur soal produksi dan distribusi kendaraan (pembatasan misalnya), khususnya kendaraan pribadi sehingga dapat mengatur prioritas pengalokasian penggunaan BBM bersubsidi, termasuk untuk menanggulangi fenomena kemacetan yang sudah menjadi penyakit akut di Kota-kota besar, khususnnya Jakarta.

Dengan alasan ini, pemerintah hanya melihat fenomena pembelian lansung atas BBM semata, tanpa membongkar bahwa adanya hubungan terikat antara jual-beli dan penggunaan BBM dengan produksi dan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Apalagi untuk membongkar bahwa betapapun tingginya jumlah kendaraan pribadi dan neraca penggunaannya atas BBM bersubsidi, masih jauh dibandingkan dengan pengggunaan BBM oleh kendaraan bermotor, angkutan umum dan kendaraan pengangkut barang, baik antar kota maupun antar provinsi serta penggunaan BBM untuk aktifitas social dan produksi lainnya.

Keempat: Cadangan Minyak menurun dan hampir habis, Indonesia bukan lagi negara yang kaya akan minyak. Cadangan minyak nasional hanya 3,7 miliar barel pada 2013. Dengan produksi, 800 ribu barel per hari (Mengacu pada Produksi 2013). Cadangan tersebut akan habis dalam waktu 12 tahun.

Selama ini pemerintah memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri sangat bergantung pada impor, sementara kemampuan produksi dalam negeri hanya mencapai 25% dari total ekploitasi minyak oleh seluruh perusahaan tambang minyak di Indonesia. Namun demikian, tentu sangat ironis dan menyakiti perasaan rakyat dengan kenyataan bahwa rakyat kering kehausan atas minyak, ditengah luapan minyak dari ribuan sumur pengeboran diberbagai pelosok negeri ini. Lebih menyakitkan lagi ketika menyadari bahwa total produksi minyak dalam negeri yang masih jauh untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan terus diklaim sebgai produksi nasional, kenyataannya jumlah tersebut adalah akumulasi total jatah pembelian pemerintah yang maksimal hanya 25% dari total produksi seluruh perusahaan minyak asing yang melakukan ekploitasi di Indonesia

Saat ini, cadangan minyak untuk konsumsi dalam negeri hanya mencapai 700.000 barrel perhari, sementara kebutuhan konsumsi mencapai 1,6 juta barrel, artinya Pemerintah masih harus melakukan penambahan jumlah import sebesar 900.000 barrel perhari. Jika melihat kedudukan angka ini secara matematis semata, tentulah kita akan menemukan rasionalisasi akan alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, sebab pemerintah harus menyiapkan anggaran tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut.

Namun demikian, rakyat tidak boleh tertipu dan harus konsisten berpegang bahwa tidak tercukupinya kebutuhan minyak dalam negeri adalah semata-mata diakibatkan oleh monopoli produksi dan control distribusi (pasar dan harga) oleh Imperialisme. Artinya, jika pemerintah memiliki aspirasi dan mau berusaha keras melawan monopoli tersebut, kemudian berusaha membangun Industri nasional dan me-Nasionalisasi asset-aset pertambangan minyak Asing di Indonesia sehingga Indonesia dapat melakukan produksi secara mandiri, maka tentu saja Indonesia akan surplus atas minyak.

Kelima: Indonesia adalah Negara Importir, bukan Produsen, Indonesia telah menjadi importir minyak sejak tahun 2013 karena produksi menurun dan sebaliknya konsumsi terus meningkat.

Alasan ini terhubung dengan alasan keempat dan alasan-alasan lainnya bahwa, “sekali lagi” tingginya kebutuhan import bukanlah semata-mata karena rendahnya cadangan minyak yang dikandung bumi Nusantara ini, melainkan karena adanya penguasaan (monopoli) produksi dan distribusi (pasar dan harga) oleh perusahaan tambang minyak bumi milik kapitalisme monopoli di Indonesia sejak ratusan tahun lalu, sehingga sebagian besar (tidak kurang dari 75%) hasil ekplorasi dan eksploitasi minyak bumi Indonesia di Eksport masuk kedalam pasar Internasional.

Cadangan minyak nasional yang tersisa pada tahun 2013 menurut pemerintah, hanya tinggal 3,7 miliar barel. Jumlah tersebut hanyalah tetesan sisa pengerukan dan penyedotan minyak selama ratusan tahun di Indonesia, sementara Indonesia hanya mendapatkan sumur dan tekologi sisa, bekas peralatan milik imperialism yang sudah tidak lagi produktif. Sementara pendapatan Negara hanya bersandar pada sharing produksi dan pajak yang sangat rendah serta penjualan didalam negeri.

Dilain sisi, untuk menjamin tetap mengalirnya investasi (termasuk untuk kelansungan operasionalisasi tambang minyak milik Imperialisme tersebut), pemerintah harus memberikan berbagai jaminan, baik keringanan pajak sampai pada refitalisasi (pe-Remajaan dan pengadaan baru mesin dan alat produksi lainnya) bagi pemilik usaha tambang beserta investor yang ingin ambil bagian unuk mendapatkan keuntungan dari emas hitam Nusantara ini.

Keenam: Pemberian Subsidi sudah “bukan trend” Masyarakat dunia, trend pemberian subsidi untuk BBM telah ditinggal oleh banyak negara.

Sungguh merupakan perspektif yang sangat keliru jika kebijakan dalam negeri meletakkan sandaran utamanya pada keadaan dan perkembangan di Negara lain yang bahkan menjadi “trend” sekalipun. Alasan ini menunjukkan bahwa Pemerintah tidak hanya menegasikan adanya hokum perkembangan atas perkembangan yang tidak seimbang (uneven deplevement) antara Negara bahkan kawasan yang satu dengan lainnya. Pemerintah kenyataannya telah mengabaikan keadaan objektif dalam negeri yang seharusnya disadari kedudukannya yang tidak bisa digantikan sebagai dasar pokok penentuan kebijakan dalam menjalankan program pembangunan dan fungsi social Negara terhadap warganya.

Pengalihan dan pemangkasan subsidi public yang diamanatkan imperialism terhadap pemerintah boneka diberbagai negeri, secara praktis telah lama berlansung di Indonesia. Namun, pemerintah tidak akan pernah bisa bersembunyi atau berusaha menutup dirinya dengan topeng apapun atas kejahatan tersebut, apalagi dengan ilusi sebagai kekuatan ekonomi dunia, sehingga harus mengikuti trend global yang sangat jauh dari kenyataan objektif masyarakat alam Indonesia. Sebab seiring perampasan tersebut (kebijakan pengalihan dan pemangkasan subsidi), penderitaan yang semakin hebat memukul rakyat, akan terus menjadi pemantik bangkitnya kesadaran dan perlawanan rakyat.

Ketujuh: Negara Produsen saja akan menaikkan harga Minyak, negara-negara yang kaya akan minyak seperti Iran berencana menaikan harga minyaknya secara bertahap sesuai harga pasar.

Kedelapan: Anggaran Energi sangat timpang dengan Anggaran social dan Infrastruktur, Anggaran yang dialokasikan untuk subsidi energi sangat timpang dengan anggaran yang disalurkan untuk infrastruktur, kesehatan dan pemberantasan kemiskinan".

Melalui alasan keenam ini, Pemerintah kembali berbohong atas ketimpangan alokasi anggarannya. Dalam APBN 2015, pemerintah menetapkan alokasi anggaran social sebesar Rp. 1.392,4 T. dengan porsi terbesar yakni anggaran untuk pelayanan umum mencapai Rp. 891,8 T, samadengan 64% dari total anggaran belanja pemerintah pusat. Selain itu, tambahan alokasi untuk anggaran penguatan perlindungan social terdapat anggaran sebesar Rp. 231,508 dari 10 Kementerian (diluar Kementerian ESDM, Pekerjaan umum, Perhubungan, Perumahan rakyat dan kementerian Pertahanan).

Sedangkan alokasi angggaran untuk pembangunan infrastruktur adalah sebesar Rp. 140,8 T. Alokasi tersebut adalah alokasi dari empat kementerian (Kementerian ESDM, Pekerjaan umum, Perhubungan dan, Kementerian Perumahan rakyat) diluar alokasi untuk perumahan dan fasilitas umum sebesar Rp. 20,5 T yang ada dalam alokasi belanja pemerintah pusat.

Besarnya angka ini secara nominal, ataupun adanya perbandingan tentu tidak bisa dijadikan pembenar untuk melakukan penghapusan apalagi pemangkasan atas subsidi lainnya. Yang menjadi problem dalam aspek anggaran social ini kemudian adalah, Pemerintah menempatkan alokasi yang sangat timpang untuk pelayanan umum dibandingkan dengan Alokasi jaminan social dan komponen lainnya secara khusus. Problem lainnya adalah, sejumlah sector public yang ada dalam rencana belanja pemerintah, pembiayaannya disandarkan pada pendapatan pengelolaannya secara komersil akibat kebijakan liberalisasi oleh pemerintah. Dengan skema liberalisasi tersebut bahkan “utamanya kesehatan dan pendidikan” justeru diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan.

Namun dengan popularitas dibalik topeng nasionalismenya yang segera akan luntur, melalui alasan ini Jokowi berusaha menipu rakyat dengan ilusi pengalihan subsidi kesektor riil yang lebih bermanfaat bagi rakyat, utamanya infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Kenyantaannya, pembangunan Infrastruktur yang dimaksud, tiada lain hanya untuk menopang suksesnya pelaksanaan mega-proyek master plan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah dimulai SBY dalam periode sebelumnya. Sementara pengalihan subsidi untuk kesehatan dan pendidikan hanya bohong belaka, sebab kenyataannya, Kesehatan dan Pendidikan adalah dua sector public utama yang telah mengalami pemangkasan subsidi sedemikian rupa, bahkan telah dimasukkan kedalam sector jasa yang dapat dengan legal dikomersialisasikan untuk meraup keuntungan berlipat-lipat.

Kesembilan: Pendapatan dari sector MIGAS tidak sebanding dengan Subsidi, Pendapatan dari sektor Migas tak cukup untuk menutup ongkos dari subsidi energi.

Bantahan atas alasan ini terhubung Alasan kelima juga dengan alasan-alasan lainnya, bahwa tidak sebandingnya pendapatan Negara dari sector MIGAS dengan subsidi yang dialokasikannya adalah akibat dari control imperialism yang melakukan monopoli atas produksi dan dominasi atas pasar dan harga penjualan minyak dunia, termasuk di Indonesia.

Kenyataan tersebut bahkan akan semakin pahit bagi rakyat jika disandingkan dengan loyalitas dan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah bagi imperialism dalam menguasai dan mengeruk minyak bumi dan SDA di Indonesia. Hal tersebut juga tidak dapat ditutupi sebagai akibat dari banyaknya korupsi dan ketidak mampuan pemerintah dalam mengelola penerimaan Negara dari minyak dan gas yang semakin tidak terkendali, sebagai salah satu penyebab hilangnya kedaulatan dan terampasnya hak rakyat lainnya, sehingga rakyat terus menjerit diatas tanahnya yang kaya.

Kesepuluh: BBM Murah menghambat pertumbuhan energy alternative, Harga BBM murah menghambat tumbuhnya energi alternatif di tanah air."BBM murah menghambat tumbuhnya energi alternatif seperti gas alam, panas bumi dan bio energy.

C.Solusi palsu Pemerintah Jokowi untuk menjawab kenaikan harga BBM

Alasan Jokowi untuk menaikkan harga BBM secara prinsipil tidak berbeda dengan alasan empat kali penaikan harga BBM oleh SBY. Seperti halnya rezim boneka sebelum-sebelumnya, Jokowi hanya berusaha untuk terus menutupi bahwa tidak tercukupinya kebutuhan minyak dalam negeri adalah akibat monopoli atas produksi minyak di Indonesia dan dominasi atas distribusi (pasar dan harga) minyak dunia yang dilakukan oleh Imperialisme. Bahkan pencabutan subsidi BBM selain sebgai akibat lansung dari control imperialism atas minyak di Indonesia, juga akibat desakan dari Imperialisme itu sendiri, utamanya imperialism AS dan UE yang terus memaksa pencabutan subsidi public dan dialihkan untuk pembangunan Infrastruktur pendukungpengerukan bahan mentah sekaligus pembangunan dan pengembangan produksi industry milik imperialism di Indonesia.

Dalam menjawab tuntutan rakyat yang meminta “pencabutan kebijakan penaikan harga BBM, tuntutan penurunan harga kebutuhan pokok dan, tuntutan penaikan upah serta pemenuhan hak social dan ekonomi rakyat sekarang ini, Jokowi berusaha meredam amarah rakyat dengan program kartu saktinya (Kartu: Indonesia Sehat, Indonesia Pintar dan, Kartu Keluarga Sejahtera) yang sekarang menjadi pamungkas untuk mempertahankan popularitasnya.

Harus disadarai oleh seluruh rakyat bahwa, Program tersebut bukanlah kompensasi BBM melainkan program perlindungan social Negara yang anggarannya terintegrasi didalam APBN. Secara khusus, sumber dana untuk pembiayaan program tersebut adalah dari sisa utang dan hibah SBY terhadap lembaga keuangan milik Imperialisme (perbankkan dan lembaga donor) seperti ADB, WB dan, UNDP serta hibah dari program kerjasama lainnya yang sebelumnya digunakan untuk pembayaran bantuan lansung tunai (BLT) usai penaikan harga BBM 2013 yang diklakim sebagai kompensasi pengalihan subsidi BBM.

Bagaimanapun populisnya program terebut, tidak akan pernah mampu menjawab persoalan pokok rakyat, apalagi untuk menutup luka dan sakit hatinya rakyat yang terus dihisap dengan berbagai cara. Selain karena jumlah dan nilai dari program tersebut yang masih sangat rendah dalam hitungan kapita, namun program tersebut juga akan dijalankan hanya selama 6 bulan. Sementara rakyat harus menanggung beban akibat kenaikan harga BBBM tersebut, sekurang-kurangnya selama 17 bulan.

Materi Propaganda Front Perjuangan Rakyat (FPR): Analisis penguasaan minyak bumi dan kebijakan pencabutan subsidi oleh Pemerintah

Produksi Minyak Nasional adalah akumulasi jatah pembelian Pemerintah untuk kebutuhan domestic dari seluruh perusahaan tambang minyak Asing yang ada di Indonesia, dengan besaran 25% dari total produksi masing-masing.

Kementerian Keuangan RI, tentang ringkasan penjelasan APBN_P (APBN in Brief) 2015

Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, sumber data dari kementerian keuangan RI dan BI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun