Mohon tunggu...
Maiton  Gurik
Maiton Gurik Mohon Tunggu... Relawan - Pegiat Literasi Papua | Deputi Peace Literacy Institute Indonesia | CEO & Founder: Lembaga Riset Ekonomi Politik (Lempar) Papua |

| Bebaskan Gagasan |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Papua Bukan "Ibarat Prakata"

10 November 2016   13:45 Diperbarui: 10 November 2016   13:53 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malangnya nasib Papua yang ‘tak berkaki,’ tak menginjak bumi, tak mampu pula menyentuh langit’ adalah ibarat makhluk air di atas danau hijau, yang penuh misteri, seolah ada di dalam namun sebernarnya tiada, untuk diambil manfaat bagi kemanusiaan dan peradaban Papua. Atau bisa pula, gambaran Papua seperti teori yang tak berguna, seperti benih yang ditanam kemudian mati muda, karena tak ada yang mau merawat dan membesarkannya. Demikian dikatakan Gurik dalam release yang diterima media ini.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa Nasib Papua, sebaiknya jangan dibiarkan ia menjadi sepi dari pencarian, perenungan, tanpa sentuhan tangan perbaikan, proses berpikir kreatif yang sungguh-sungguh. Jangan pula Papua hanya sebatas ‘diare kata-kata’. Banyak dikeluarkan, tapi kemudian berakibat tubuh menjadi lemas tak berdaya. 

Mengelaborasi Papua adalah bagian dari kerja kemanusiaan yang berada digaris terdepan komunitas-komunitas Papua. Nasib Papua akan baik bila ia mengandung unsur yang rinci, sistematis dan mampu di perbandingkan. Akan lebih baik jika ia suatu yang indah, cantik rupawaan pilihan katanya, potensi menyimpan milyaran energi perubahan, mampu mengungkap akar persoalan, untuk membuka para pencari solusi. 

Namun, banyak pula nasib Papua yang tak dikenal oleh mereka, tak menarik untuk di pertontokan lewat ‘layar kaca mereka’. Papua itu dianggap ‘foto model belia; yang nasibnya ‘ ibarat buku tua,’ yang dibiarkan tertindih diam dibawah kepala, menjadi bantal alas tidur saja. Sekedar ada, tapi tiada, tiada diperhitungkan dan tidak mampu memberikan inspirasi, seakan-akan Papua itu ‘ibarat prakata’ saja.
Papua bukan prakata atau sebuah teori yang jelek dan tak menarik untuk diperdebatkan dan tidak mengundang orang untuk memberikan ulasan, sehingga ia tidak memperoleh kesempatan yang pantas dan proposional. Nasibnya akan mati kesepian. Papua bukan Teori tanpa kontestasi (pertarungan, pengujian nalar), sungguh tak berarti untuk disebut ‘telah lahir’. 

Untuk itu mari kita “mengenal Papua bukan ibarat prakata-kata Klasik” untuk dikunyah, dibolak- balik oleh gigi dan lidah, digiling didalam mulut, dirasakan dan dinikmati, sebelum ditelan bulat-bulat atau dimuntahkan jika ternyata kurang berkenan. Masalah Papua bukanlah sekedar tempelan atau pajangan, seperti foto pemandagan. Ia perlu di komentari, diberi makan, diskusikan, disampaikan, diperjuangkan sampai pada “ Tak Ada KATA- Prakata”. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun