INDONESIA merupakan salah satu negara hukum yang ada di dunia - siapa yang melanggar konstitusi wajib di hukum dan sebaliknya. Salah satu persyaratan demokrasi adalah adanya supremasi hukum.Â
Dalam karyanya Jhon Lock, mengisyaratkan ada tiga unsur dalam negera hukum; pertama, adanya pengaturan hukum yang mengatur bagaimana warga negaranya dapat menikmati hak asasinya sendiri. Kedua, terdapat suatu badan tertentu yang di gunakan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang timbul di pemerintah dan ketiga, terdapat suatu badan tertentu yang di gunakan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang timbul di antara sesama anggota masyarakat.
Hukum sudah sepatutnya tidak  bertekuk lutut dan tunduk pada tekanan masa, siapapun mereka. Entah, mereka yang berstatus sebagai warga negara Indonesia maupun para tamu dinegeri ini.Â
Tamu yang saya maksud adalah mereka yang transit sebentar lalu pergi, yang tidak memiliki KTP sebagai WNI. Jika hukum tunduk pada tekanan masa, maka situasi negara memang dalam kondisi kritis dan kita layak berduka untuk bangsa dan negara ini. Sebab ke depan hal hal sejenis ini akan kembali terulang.
Dalam konteks ini, filsuf Yunani kuno Plato berpandangan "... negara yang bersendikan keadilan, selain kearifan, keberanian atau semangat dan mengendalikan diri dalam menjaga keselarasan keserasian hidup bernegara...", (J.H.Rapar: Filsafat Politik Plato., hal:59). Yang artinya aparatlah yang bertugas dan berperan untuk menjaga kewibawaan dan nama baik negara dengan adanya supremasi hukum bukan bersikap arogansi main hakim sendiri dengan moncong senjata bahkan kritis melihat agenda setting baik yang terlihat maupun tersembunyi. Aparat tidak ada yang perlu merasa panik, untuk merawat dan menjaga negeri ini. Sebab, negeri ini merupakan sebuah bangsa yang berazas demokrasi konstitusional - bebas berbicara terkendali.
Disisi lain, kita tidak bosan bersepakat bahwa pluralisme dan keberagamaan merupakan sosok Keindonesiaan yang tidak bisa terbantahkan eksistensinya sebagai negara yang memiliki Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Hal ini, sebagai sebuah keniscayaan yang bersifat mengingat (given) dari konfigurasi negara.Â
Selain bersifat positif fenomena, realita dan fakta sosial keanekaragaman dalam etalase kenusantaraan, juga acap kali memunculkan proses sosial yang bersifat disosiatif atau cenderung memisahkan diri dari kelompok. Bahkan, pada umumnya lahir dan berkembang karena di picu oleh adanya benturan tata nilai sosial-ekonomi dan politik.
Dalam perspektif politik, saya ingin bahas secara singkat pemikiran politik klasik yang dikembangkan oleh Plato didalam 'republic' telah mengalami perubahan total ketika ia menulis "Politicus dan The Law's". Alasan yang mengunakan untuk mendukung pendapat yang sedemikian ialah atas kekecewaan yang dialami Plato akibat kegagalannya di Syracusa. Namun, jikalau secara teliti kita mendalami ketiga karya tulis Plato itu, sesungguh nya dapat di saksikan bahwa ia tidak pernah mengubah pemikiran politiknya yang sebagaimana telah di paparkan di dalam 'republic' itu. Gagasan negara ideal dengan filsuf tetap merupakan gagasan yang digenggamnya dengan erat hingga pada karyanya yang terakhir.
Pandangan tentang negara ideal dengan filsuf - raja sebagaiman yang dipaparkan didalam 'republic' sesungguhnya diciptakan Plato bukan untuk digunakan selaku pedoman praktis, tetapi semata-mata merupakan suatu ideal, idaman atau cita-cita yang merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan 'kemana' negara itu hendak digiring dan bukan untuk menjawab pertanyaan 'bagaimana' mengurus atau mengatur negara itu, kendati pun disana atau disini dijumpai petunjuk-petunjuk praktis bagi para penguasa dan pendidik.
Oleh karena itu, disini bukan persoalan apakah negara itu berada dimana atau akan berada, melainkan lebih kepada apa yang negara lakukan dalam praktek prinsip negara ideal itu dan seperti apa supremasi hukum itu negara mengaktualisasikannya. Agar menjawab pertanyaan 'bagaimana' mengurus atau memgatur negara.* Semoga!
Salihara Jakarta Selatan, 01 November 2018. Waktu: 12.25 Wib