Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cara Gontor Meluluskan Calon Santri

19 Desember 2018   10:13 Diperbarui: 19 Desember 2018   10:22 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ribuan orang berkumpul di depan aula Pondok Modern Darussalam Gontor. Orang tua calon santri berjejer memandang anak-anaknya yang sedang menanti pengumuman kelulusan masuk pesantren tersebut. Seorang anak muda yang berperawakan sedang berdiri di depan. Membuka prosesi pengumaman kelulusan calon santri yang telah berjibaku dengan beragam ujian itu.

Dengan logat Arab yang kental, pembawa acara itu membuka prosesi pengumuman. Sunyi. Tak ada suara yang keluar dari lisan ribuan orang yang datang dari beragam pelosok negeri itu. Begitulah adanya. Setiap acara di pesantren yang berdiri pada 1926 itu, tak ada suara yang keluar selain dari pemegang pengeras suara.

Para kiyai sudah duduk sedari pagi. Menanti waktu kegiatan pengumuman yang telah  ditentukan. Sesuai jadwal, pembukaan acara tersebut akan dilakukan pada pukul 07.00 Wib. Pimpinan pesantren datang setengah jam sebelum acara dimulai.

Saya duduk di bagian tengah di antara ribuan anak yang menanti dengan cemas itu. Sejak jam 06.00 Wib, kami telah dikumpulkan di tenda yang berukuran jumbo di depan Gedung Aligart itu. Sebagian besar calon pelajar yang berumur belasan tahun itu harus menghadapi satu di antara tiga kenyataan. Pertama, lulus di Gontor Pusat. Kedua, lulus di cabang Gontor. Ketiga, tidak lulus. Saya meyakini, tidak ada satu pun calon santri yang mengharapkan dua kenyataan terakhir. Semua orang berdoa ditempatkan di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Semalam, calon pelajar itu berbondong-bondong melakukan sholat hajat. Sejumlah anak yang satu rombongan dengan saya dari Pesantren Darul Hikmah, tak yakin dapat lulus di Gontor Pusat. Melihat mereka yang dipercaya orang tuanya agar dapat mengunyah hikmah dan ilmu Islam, saya merasa berkecil hati. Bukan karena tidak yakin dapat lulus. Melainkan bersaing dengan mereka memperebutkan satu tiket, seolah bukan perkara mudah. Umumnya mereka lulusan SD dan SMP. Sedangkan saya sudah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Meski begitu, saya selalu termotivasi. Karena ada beberapa orang yang lulus dari universitas luar negeri. Mereka ikut meramaikan "kontestasi" perebutan tiket di pesantren yang didirikan Tri Murti (KH Ahmad Sahal, KH Imam Zarkasyi, dan KH Zainuddin Fannanie) itu.

Saya terkesan dengan anak-anak lulusan SD itu. Mereka yang masih berumur belasan tahun, "dibiarkan" hidup jauh dari orang tuanya. Tentu saja bukan perkara mudah. Barangkali ada orang tua yang merasa berat berpisah dengan anaknya. Di sisi lain, mereka harus mampu meyakinkan anaknya merasakan pahit-getirnya pendidikan di pondok. Jangankan lulusan SD, SMP sekalipun masih banyak yang tidak ingin belajar di pondok.

Sebelum datang ke pesantren tersebut, saya pernah bertemu dengan orang tua di Malang yang berkeinginan kuat menyekolahkan anaknya di Gontor. Mereka hidup di perumahan mewah di pusat kota tersebut. Sang ayah adalah seorang akuntan terkemuka di tingkat nasional. Tentu saja, uang bukan pertimbangan utama dalam pendidikan anak. Alasannya hanya satu, agar anak-anaknya dapat belajar ilmu agama di pondok. "Tetapi juga paham dan mampu berbahasa Arab dan Inggris," demikian sang ibu berkisah kepadaku.

Ternyata anaknya lulus di Gontor Pusat. Tahun pertama, dia bermalas-malasan dalam belajar. Lalu di tahun berikutnya, dia tidak naik kelas. Dua tahun belajar, dia tak kunjung naik ke kelas lima. Akhirnya dia memutuskan pulang. Pindah di pesantren yang berlokasi di Kabupaten Malang. Di atas segala kekurangannya, satu hal yang membuat saya terkesan. Kemampuan bahasa Arab dan Inggrisnya tak dapat diragukan. Setiap hari, saat di Malang, dia membaca beragam buku berbahasa Inggris.

****

Seorang laki-laki paruh baya berdiri di atas mimbar. Dia membacakan satu per satu nomor urut tes setiap calon santri. Pengumuman kelulusan ini tidak dilakukan dengan menyebutkan nama calon santri. Hanya nomor ujian yang disebutkan dalam pengumuman tersebut. Hal ini mengharuskan setiap pelajar menghafal nomor tesnya.  Cara seperti ini bukan tanpa tujuan. Nomor yang diacak itu membuat penguji atau siapa saja di pondok tidak dapat mempengaruhi kelulusan calon pelajar.

Hal yang sama pula dilakukan pada saat pemeriksaan lembar jawaban ujian tertulis. Para ustadz yang dipercaya memeriksanya, tak dapat mengetahui calon santri yang memiliki lembar jawaban tersebut. Mereka hanya diberikan kertas jawaban yang disertai nomor ujian. Tanpa disertakan namanya. Cara ini efektif membangun obyektivitas dalam penilaian. Tidak ada belas kasih dalam tes masuk Gontor. Siapa saja yang jawabannya bagus, maka akan diberikan nilai yang sebanding. Begitu juga sebaliknya. Kesalahan dalam jawaban, tidak akan bisa dibenarkan. Tentu saja cara ini harus didukung dengan para pemeriksa yang memiliki kompetensi memadai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun