Belum lama ini, saya dapat kabar dari teman saya waktu belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor. Namanya Andri. Kini dia duduk di kelas enam.Â
Sebuah tahap akhir dalam perjalanan panjang pendidikan formal di pesantren tersebut. Saya masih ingat dengan baik saat pertama kali menginjakkan kaki di lembaga pendidikan Islam itu. Dia datang dengan kesederhanaan dan bekal seadanya.Â
Tentu saja itu sangat kontras dengan sebagian besar santri yang diantar orang tuanya menggunakan kendaraan mewah.Â
Dari Jawa Barat, Andri berangkat ke Gontor seorang diri. Perjalanan ratusan kilometer tanpa pendamping yang mengarahkan dan membimbingnya, bukan perkara mudah. Hal itu hanya dapat dilakukan para "petarung" yang siap menghadapi arena "gelap" kehidupan baru.
Setelah lulus dari salah satu madrasah aliyah (setinggkat SMA) di Jawa Barat, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Gontor.Â
Niatnya ditentang keras oleh ayahnya. Alasannya, kedua orang tuanya tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai pendidikan Andri. Dia tidak putus asa. Lelaki berkumis itu mendapat dukungan dari ibunya.Â
Lainnya, gurunya di madrasah menopang langkahnya. Keputusan Andri bukan tanpa pengorbanan. Orang tuanya hampir berpisah.
"Saya ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya," katanya memberikan alasan. Keinginan itu pula yang memberanikannya menempuh perjalanan jauh di lintas provinsi. Dia menentang badai dan kerasnya kehidupan.
Dalam ujian masuk di pondok, tak sulit baginya menjawab soal-soal ujian tertulis dan wawancara. Buktinya, dia lulus dengan peringkat yang memuaskan.Â
Pada ujian penempatan kelas, Andri mendapat kesempatan duduk di kelas E.Â