Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Simbol Para Pengasong Agama

9 Agustus 2018   01:24 Diperbarui: 9 Agustus 2018   01:30 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petarungan di pemilu 2019 dapat dipastikan belum menyentuh pada demokrasi esensial. Padahal sejatinya, pertarungan dalam pemilu itu diharapkan dapat menawarkan gagasan untuk pembangunan bangsa ini di masa depan. Sejauh ini, kita masih melihat polarisasi politik yang terbentuk hanya didasarkan pada semangat untuk meraih kekuasaan. Satu di antara banyak fenomena itu tercermin dari tagar 2019 ganti presiden. Sependek pengamatan saya, gerakan ini lebih cocok disebut upaya sementara pihak yang "anti" pada kekuasaan. Sehingga dengan "garang" menyebarkan konten-konten perlawanan---kalau tidak dapat disebut konten-konten kebencian.

Pada dasarnya, adanya oposisi dalam demokrasi itu hal yang lumrah. Bahkan mungkin dalam batasan-batasan tertentu, patut untuk ditanam, disemai, dan dirawat. Karena dengan begitu, akan muncul check and balance dalam tata kelola pemerintahan. Sehingga muncul pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Kekuasaan tanpa pengontrol lewat oposisi, pada gilirannya akan melahirkan otoritarianisme.

Sayangnya, harapan kita pada gerakan oposisi seperti yang digaungkan sebagian anak bangsa lewat tagar ganti presiden itu, tak sedikitpun memberikan ruang solutif bagi diskursus sosial-politik bangsa ini. Pun demikian oposisi dengan gerbong besar yang sejak awal dikomandoi Prabowo Subianto. Padahal dengan adanya oposisi, kita dapat memupuk harapan, bahwa demokrasi yang baru seumur jagung di negeri ini, dapat disemai dan dikembangkan lewat gerakan kelompok yang terkumpul di luar gerbong pemerintah.

Kala pertarungan antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo menguat dalam pemilu 2014, kita belum melihat massifnya polarisasi antar kedua kubu. Namun seiring berjalannya waktu, perkembangan politik lima tahun belakangan, membawa warna yang begitu kental, bagaimana kerasnya pertarungan politik para elite bangsa ini. Bahkan simbol-simbol agama "diperjualbelikan" secara serampangan di ruang publik. Tentu saja dengan satu tujuan, demi mendapatkan popularitas dan keterpilihan di masyarakat.

Empat hari setelah memasuki masa pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden. Aroma memanasnya pemilu 2019 semakin terasa. Konten-konten negatif yang disebarkan di sosial media semakin meneguhkan itu. Sebagaimana yang saya katakan di awal, sejak 2014, dua poros elit beserta pendukungnya saling menjatuhkan antar satu dengan yang lain. Pertarungan yang disemai sejak pemilu yang lampau itu mengakar dan menjalar sampai ke masyarakat. Tetapi secara umum, kedua belah pihak sedikit sekali menawarkan konsepsi-konsepsi yang dapat mengobati kehausan kita yang menginginkan ada siraman dan obat bagi problem pendidikan-sosial-politik-ekonomi negeri ini.

Secara garis besar, pada pemilu 2019, harapan kita untuk perkembangan demokrasi bangsa ini belum sepenuhnya dapat tercapai. Pada titik tertentu, mungkin ini adalah bagian atau pahapan menuju demokrasi yang esensial. Demokrasi yang para elitenya mengedepankan narasi-narasi intelektual yang bermuara pada kemaslahatan bersama. Sehingga kita sebagai "penumpang" di kapal besar yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini dapat menaruh harapan akan masa depan bangsa dan dunia yang lebih baik.

Karenanya, demokrasi kita masih bergerak secara evolusioner lewat pertarungan simbol-simbol agama. Tentu saja agama mayoritas yang dianut para pemilih. Sehingga dapat dijual kepada publik. Setiap kelompok yang "bertarung" berusaha sekeras mungkin agar tetap melekatkan simbol-simbol keagamaan itu. Demi satu tujuan, memanipulasi persepsi publik, seolah-olah kelompok tersebut mewakili narasi suci yang dipegang pemeluk agama. Padahal jika ditelusuri secara mendalam, tidak ada kaitan secara diametral antara agama sebagai lighting the journey of life bagi pemeluknya dengan simbol-simbol yang sering kali didengungkan para politisi pengasong agama. Benar kata Goenawan Mohammad, "ketika agama dan politik bertaut, politik tak jadi bersih oleh agama, tapi agama dicemari politik. Dalam agama apa saja, di negeri mana saja."

Samarinda, 9 Agustus 2018

 

  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun