Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pertemuan dengan Doktor Adam (Kemiskinan dan Politik)

8 Maret 2015   19:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:58 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Bulan Maret 2013 kapal berlayar dari selat Makassar menuju pulau Bima Nusa Tenggara Barat. Ribuan orang mengadukan nasibnya diatas kapal itu, ada yang bersua dengan anak-ananya, keluarga dan sanak famili, ada pula yang sekedar menikmati keindahan pulau dan merasakan deburan ombak yang setiap waktu “berkelahi” dengan sisi kapal. Semua sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Dari pelabuhan Makassar menuju pelabuhan Bima, setidaknya memerlukan waktu 24 jam. Kapal itu berlayar sekira pukul 17.00. Satu jam setelah meninggalkan pelabuhan yang penuh dengan luapan omosi dan menyimpan ribuan kompleksitas problem sosial budaya itu, dilantai dua kapal itu saya menyaksikan keindahan bahari Indonesia. Saya ingin melihat Kemahakusaan Tuhan dalam menciptakan alam semesta. Dikejauhan sana, matahari mulai hilang dari peraduannya. Tidak jauh dari tempat saya berdiri, datang seorang laki-laki paruh baya yang terasa asing dalam hidup saya.

Ia berdiri tegap dihadapan saya, seolah apa yang saya pikirkan terbaca olehnya. Saya memulai pembicaraan dengan menanyakan asal usul dan kemana beliau akan berlayar. Maaf saja, jujur harus saya sampaikan. Di kedalaman hati saya, tersiar anggapan bahwa yang berdiri dihadapan saya adalah seorang buruh kelapa sawit yang bekerja di pegunungan pulau Kalimantan, mungkin saya terlalu mengagungkan persepsi indrawi, sehingga penilaian saya lebih menonjolkan aspek fisik daripada substansi diri. Nampak diwajahnya guratan-guratan kesederhanaan, pakaian layaknya buruh, dan ketika berjabat tangan dengannya saya merasakan beliau adalah seorang pekerja keras yang tidak mengenal batas waktu.

Tangannya tidak lagi terasa halus. Itulah yang mendasarkan penilaian saya terhadap Dr Adam M Saleh. Ternyata apa yang saya pikirkan tidak sebanding dengan kenyataan yang sesungguhnya. Beliau berkisah tentang profesinya sebagai seorang dosen disalah satu perguruan tinggi negeri di Palu. Bahkan menariknya, ia sudah menyelesaikan studinya sampai jenjang doktor. Sebuah puncak studi dalam dunia akademik yang bahkan setiap akademisi menginginkannya.

Lama berkisah tentang latar belakang beliau, disertai dengan kekaguman yang mendalam, saya mencerna setiap hal yang beliau sampaikan. Menariknya, beliau melanjutkan pembicaraan pada masalah yang menjadi bahan pelajaran wajib saya ketika mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta). Adam berkisah tentang kemiskinan, upaya-upaya penguasa melanggengkan kemiskinan, dan konstruksi sosial itu mengakar dalam budaya bangsa Indonesia. Pada prinsipnya, dari apa yang beliau sampaikan, ada masalah besar yang dihadapi bangsa ini. Ditengah melimpahnya sumber daya alam (SDA) yang dimiliki bangsa ini, bersamaan dengan itu kita melihat jutaan kaum miskin seolah mengiringi pembangunan bangsa Indonesia.

Artinya ada sesuatu yang salah dengan bangsa ini. Pemerintah memiliki kemauan untuk melakukan perubahan, tetapi instrumen dan spesifikasi dari kebijakan itu jauh dari harapan untuk memecahkan masalah kemiskinan. Dalam istilah Adam, kemiskinan di Indonesia menjadi komoditas yang sengaja penguasa langgengkan, karena berbagai program yang direalisasikan tidak berkaitan langsung dengan upaya pemecehan masalah sosial tersebut, melainkan memperbanyak kemiskinan. Bantuan-bantuan tunai yang diberikan adalah potret dari kesalahan berpikir dari penguasa.

Menurut Adam, kemiskinan bukan persoalan ekonomi tetapi masalah maindset. Ada file yang ada dalam otak manusia yang mengungkung kreativitas. Kemampuan maksimal manusia dengan adanya kekuatan berpikir tidak dikelola dengan baik, sehingga yang muncul kemudian adalah anggapan bahwa kemiskinan adalah sebuah rahmat yang sengaja Tuhan titipkan kepada manusia, padahal nyatanya tidak demikian, Tuhan bahkan ingin hamba-hamba-Nya hidup berkecukupan, dengan demikian tujuan diutusnya manusia supaya menjadi khalifah dimuka bumi bisa terealisasi dengan baik.

Prinsipnya, kemiskinan harus diselesaikan dengan cara “menggunting file kemiskinan” yang ada dalam pikiran masyarakat Indonesia. Sekali lagi kemiskinan adalah persoalan pikiran yang tidak dikembangkan, maka tugas pendidikan lah yang memotong belenggu kemiskinan itu. Pendidikan mestinya mengubah cara berpikir anak bangsa untuk keluar dari jalur kemiskinan.

Pertemuan Batiniah

Saya merasakan bahwa Adam adalah antitesis dari budaya penguasa yang selalu mengagungkan harta dan kemewahan duniawa. Ditengah maraknya korupsi yang dilakukan oleh petinggi bangsa ini, beliau hadir dengan kesederhanaan dan kejujuran. Bukan karena beliau tidak mampu mengusahakan hidup mewah dan berkecukupan, tetapi kondisi sosial tidak memungkinkan untuk bermewah-mewahan.

Ayah delapan anak itu lebih senang berbagi kepada manusia. Dan seluruh hidupnya ia abdikan untuk mengurus orang-orang miskin yang selalu dianggap sebagai beban negara. Dengan tunjangan mengajar dan pendapatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), beliau mengajak anak-anak yang tidak mujur nasibnya untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Semuanya beliau yang menanggung, baik dari sisi motivasi hidup, maupun kebutuhan ekonomi dari anak-anak asuhnya.

Ia ingin mencetak 1.000 doktor yang berasal dari kalangan anak tidak mampu secara ekonomi. Untuk merealisasikan mimpi itu, beliau ingin membangun perguruan tinggi yang berbasis kerja di Desa Tambora Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Disitulah nantinya anak-anak miskin itu dikumpulkan. Selain mengenyam pendidikan sebagaimana orang-orang pada umumnya, anak-anak itu nantinya akan membangun bisnis dibidang distribisi barang antar pulau, peternakan, perikanan, dan tentunya semua itu sebagai maksud untuk mempraktekkan langsung materi-materi yang diajarkan dalam bangku kuliah.

Mendengar konsep-konsep yang Adam sampaikan, saya terperangah tak berdaya untuk menolaknya. Selain menggabungkan antara tauhid sosial dan ketekunan dalam beramal sholeh, beliau mengajak semua orang yang berjumpa dengannya untuk mengabdikan diri bagi kebaikan bangsa Indonesia. Beliau seorang guru yang tidak mengenal lelah mengajak orang-orang disekitarnya supaya melakukan kebaikan untuk sesama. Dia tidak hanya mengajak orang berlaku baik, namun terlebih dahulu semuanya beliau tunjukkan dalam perilaku dan kehidupan sosial.

Pertemuan saya dengan beliau memang bukan sebuah kesengajaan, tetapi disisi lain saya mungkin termasuk satu diantara orang yang tidak sependapat dengan adanya konsep kebetulan. Pada prinsipnya pertemuan itu bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebab-sebabnya sudah terpenuhi. Selain mungkin adanya intervensi spiritualitas, saya merasakan ada kesamaan visi antara saya dengan beliau. Dalam hal apa? Tentu keinginan untuk melakukan kebaikan untuk sesama, hidup untuk mengajak diri dan manusia untuk mengemban amanah suci supaya mensyiarkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, orang-orang terdekat, dan manusia pada umumnya.

Dikapal yang berlayar menuju pelabuhan Bima itu, Adam menunjukkan salah satu karyanya dalam bidang kemiskinan, yaitu Laskar Kembar Bulan Purnama: Kisah Inspiratif Perjuangan Anak Buruh Tani Miskin Meraih Impian dan Cita-cita. Setelah menyampaikan seputar latar belakang penulisan buku itu, saya menjanjikan kepadanya untuk membawa buku tersebut ke Kalimantan Timur, sehingga nantinya buku itu bisa disosialisasikan kepada pemerintah, mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya.

Ide tersebut beliau sahuti dengan baik, hingga akhirnya laki-laki berkumis itu menghadiahkan kepada saya sebuah buku. Girang dengan hadiah tersebut, saya langsung berpamitan kepada beliau untuk sesegera mungkin bergulat dengan lembaran-lembaran buku inspiratif itu. Dalam tempo empat jam saya bisa membaca 100  lembar buku tersebut. Intinya saya terkesan dengan kisah yang ada di dalamnya, dan saya berjanji ketika nantinya sampai dirumah (Desa Ncera Kecamatan Belo, Kabupaten Bima, NTB), akan membaca semua isi buku tersebut.

Bagi saya, buku yang isinya 260 halaman itu tidak memerlukan waktu yang lama untuk menelaah isinya. Bahkan dalam beberapa kesempatan, saya membuat catatan koreksi terhadap buku tersebut, baik dari sisi kalimat maupun huruf-huruf yang kurang dalam setiap kata. Semuanya saya tandai, namun sayangnya sampai saat ini hasil koreksi itu tidak sempat saya sampai kepada Adam karena berbagai kesibukan yang menyertai di Kaltim.

Di Bima saya diajak untuk mendampingi beliau menyampaikan kuliah umum di Kampus STKIP Taman Siswa Bima. Dari situlah ada kesempatan untuk berkenalan dengan mahasiswa-mahasiswa yang begitu bersemangat mencerna berbagai ide yang disampaikan oleh Adam. Dikampus yang tergolong muda itu, selain menyampaikan materi tentang sosiologi beliau juga diberi kesempatan untuk menyampaikan khutbah sholat Jum’at. Karena bertepatan dengan momen politik pemilihan legislatif, ia sengaja memilih topik etika-etika politik dalam Islam.

Sebagaimana yang kita ketahui, pemilihan legislatif yang berlangsung 9 April 2014, banyak yang menilai sebagai proses politik yang sangat menyita perhatian para pengamat dan praktisi. Setelah reformasi, pemilihan umum bukannya bertambah baik, sebaliknya pemilihan legislatif kali ini dianggap sebagai proses politik yang terburuk dalam sejarah bangsa Indonesia. Politik uang (money politic), saling membungkam, menjelekkan, dan menghalalkan segala cara demi meraih kursi wakil rakyat tidak hanya dilakukan oleh satu atau partai politik, tetapi semua partai yang menjadi peserta pemilu umumnya melakukan hal yang sama, lalu apa yang salah? Bukankah penyelanggaranya sudah mengerahkan tenaga untuk mencegah hal-hal negatif dengan memperketat aturan dan memberikan sanksi berat bagi mereka yang melanggar? Mengapa masyarakat mengamini politik uang dan lainnya? Atau sebaliknya masyarakat diambang pesimisme dengan calon yang diusung, sehingga menerima uang bukan sebuah dosa politik?

Atas fenomena tersebut, Adam menyampaikan kepada hadirin Jum’at untuk selalu berperan aktif dalam mengawal pemilu legislatif. Dunia kampus tidak boleh menyendiri dalam kolom ruangan dengan berpuaskan diri pada teori-teori yang disampaikan dosen, sebaliknya mereka harus ambil bagian dalam mengawal atau bahkan menjadi peserta pemilu, karena merekalah yang memiliki kesadaran kolektif untuk melawan berbagai ketidakadilan dalam politik. Selain daripada itu, civitas akademika dalam posisinya sebagai sentral nilai-nilai universal, patut untuk mengoreksi berbagai fenomena politik yang berkembang.

Lulusan Universitas Hasanuddin Makassar itu menyampaikan etika politik layaknya prinsip-prinsip politik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Dimana ajaran tauhid, kasih sayang, mementingkan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan, memberikan peluang kepada mereka yang betul-betul memiliki kualifikasi dan kompentensi untuk menjadi wakil rakyat. Itulah satu diantara pandangan-pandangan beliau tentang politik, dimana nilai-nilai dalam Islam itu harus dikedepankan dalam menjalankan politik. (bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun