Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Panggil Paksa

17 September 2014   01:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:29 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pencemaran lingkungan yang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) bukan lagi menjadi hal baru. Pemberian izin operasional penambangan memang dilegalkan secara undang-undang, namun hal itu tidak disertai dengan pengawasan ketat oleh pemerintah. Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) seolah menjadi formalitas belaka. Lihat saja, ratusan perusahaan yang beroperasi, sebagian besar dipastikan tidak melakukan reklamasi dan revegetasi.

Menariknya, ada perusahaan yang awalnya sudah dicap sebagai pelanggar undang-undang, dicabut izin operasionalnya, namun belakangan diketahui perusahaan tersebut tetap beroperasi. Publik tentu paham perusahaan mana yang saya maksud. Menurut anggota DPRD Kukar, Kamaruddin SH, pemberian izin terhadap PT Gunung Harang Sejahtera (GHS) bukan untuk melakukan penambangan batu bara, namun untuk melakukan reklamasi dan revegetasi.

Hal ini menghentak nalar dan rasionalitas kita. Apakah pemerintah daerah tidak melakukan pengawasan? Mengapa perusahaan yang sudah bertahun-tahun beroperasi, membuang limbah hingga mengakibatkan banjir, ratusan tanam tumbuh mati, dan pengalihan fungsi sungai yang awalnya untuk menutup kemungkinan adanya banjir menjadi tempat pembuangan limbah. Betul saja apa yang dikatakan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) Cabang Kukar, Sulaiman, perda tentang lingkungan tahun 2006 hanya dijadikan formalitas belaka.

Lalu apa yang sudah dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kukar untuk menyelesaikan silang sengkarut antara PT GHS dengan warga Kelurahan Seluang Kecamatan Samboja tersebut? Sejauh ini yang nampak dipermukaan, BLHD sudah melakukan tinjauan lapangan dan melakukan pertemuan dengan warga dan pemerintah setempat. PT GHS yang di undang pada Rabu (10/9) lalu, lagi-lagi tidak berkenan hadir dalam pertemuan tersebut.

Aktivitas penambangan batu bara yang dilakukan oleh PT GHS jelas sudah melanggar ketentuan undang-undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Meminjam istilah kuasa hukum pemilik lahan, Ahim, yang tercemar akibat ulah PT GHS, Nicolas Yohanes, pemanggilan yang dilakukan oleh BLHD yang sudah berlangsung sebanyak empat kali dan tidak di indahkan oleh PT GHS adalah bukti perlawanan terhadap pemerintah.

Pemanggilan paksa dan pembekuan izin operasional terhadap PT GHS adalah solusi yang bisa diketengahkan untuk menyelesaikan masalah ini. Pemerintah daerah dan DPRD sebagai pengontrol harus berani untuk mengambil tindakan tegas sesuai undang-undang yang berlaku. Kalau memang mekanisme mediasi sudah dilakukan dengan cara-cara halus, membawa kasus ini pada ranah pidana lingkungan menjadi opsi rasional, dengan harapan bisa memberikan pelajaran bagi perusahaan lainnya, supaya betul-betul menjaga pengelolaan lingkungan di tanah Kutai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun