Mohon tunggu...
Lutfi (Lutfitrinoviana)
Lutfi (Lutfitrinoviana) Mohon Tunggu... -

centil

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pergeseran Untuk Sebuah Penyempurnaan

8 November 2011   00:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam teori behaviouristik, individu (siswa) dapat dikatakan belajar apabila individu (siswa) tersebut telah menunjukkan perubahan perilaku atas stimuli yang diberikan. Pandangan behavioristikkurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Sedangkan dalam teori koneksionisme, suatu respon dianggap akan menghasilkan stimuli, yang pada gilirannya bisa menghasilkan respon-respon lain. Pembelajaran diinterpretasikan pada koneksi-koneksi stimulus respon yang diperkuat dengan efek penguatan (kekuatan kebiasaan) . Kebiasaan-kebiasaan sederhana akan tertata menjadi keahlian yang kompleks. Penentu keberhasilan pembelajaran individu ialah ketaatannya pada aturan yang ada dari sistem di luar diri individu yang belajar. Sehingga dalam pembelajaran koneksionisme, kontrol belajar masih belum dimiliki individu secara mandiri untuk mengeksplor dan mengembangkan pengetahuannya., koneksi stimulus-respon secara spesifik hanya akan membuat individu mampu menirukan jawaban-jawaban atas masalah yang dimunculkan bukan membelajarkan individu untuk memecahkan masalahnya secara mandiri.

Banyaknya kekurangan pada teori behaviouristik dan koneksionisme, maka dilakukan pergeseran ke teori kognitivisme, teori ini merujuk pada pembelajaran yang bertitik tolak pada pengoptimalan aspek kognitif (pengetahuan dan pengalaman) yang telah dimiliki individu dalam struktur kognitifnya. Proses belajar individu lebih dihargai (diberi penghargaan) dibandingkan pada penghargaan optimalnya hasil belajar yang ditunjukkan individu yang belajar. Dampaknya ialah tiap-tiap individu dapat memiliki pemahaman yang berbeda dalam memaknai satu pengetahuan yang sama. Individu yang pintar akan semakin pintar dan individu yang kurang dapat memaknai pembelajaran akan semakin jauh tertinggal dari si pintar. Kesenjangan inilah yang menjadi kelemahan teori kognitif jika diterapkan dalam pembelajaran. Karena tiap-tiap individu dalam tahap yang sama dapat memiliki perbedaan kemampuan dalam memaknai suatu pengetahuan. Teori ini dianggap hanya mengandalkan pengoptimalan kemampuan intelejen padahal masih banyak kemampuan lain dari dalam diri seorang individu yang dapat dioptimalkan dalam kegiatan belajar agar individu dapat secara mandiri mengeksplor pengetahuannya menjadi pengalaman. Sehingga dilakukan lagi pergeseran teori yatu teori kognitivisme ke teori konstruktivisme.

Pada teori konstruktivisme, individu secara mandiri membangun pengetahuannya sendiri, individu diharapkan mampu memahami dan menghayati sepenuhnya konstruk pengetahuan yang dibangun dalam dirinya. Pengetahuan dapat dikembangkan dan dikonstruk oleh individu amat bergantung pada kemauannya, individu dengan motivasi yang rendah atau kurang memiliki kemauan untuk mengkonstruk pengetahuannya cenderung akan tertinggal oleh individu lain dengan tingkat motivasi yang tinggi. Jika keberhasilan pembelajaran ditentukan sepenuhnya atas dasar kemandirian individu dalam membangun pengetahuannya, maka hal ini kurang efektif. Dari teori kontruktivisme kemudian bergeser ke teori Humanisme yang mendefinisikan pembelajaran dengan istilah “memanusiakan manusia”. Pembelajaran humanisme dikatakan berhasil jika individu telah mampu memahami diri sendiri dan lingkungannya. Pendidik berperan sebagai fasilitator dalam melangsungkan situasi pembelajaran yang dapat membuat individu mengembangkan keseluruhan potensi dalam dirinya sehingga dapat diakui oleh anggota masyarakat yang lain. Kelemahan mendasar terletak apabila pendidik tidak mampu menciptakan situasi pembelajaran yang mendukung aktualisasi diri individu yang belajar. Teori ini hanya memberi saran untuk memadupadankan teori yang ada tanpa memperhatikan dan menjelaskan efek samping yang pelik dari perpaduan teori yang sudah jelas memiliki perbedaan asumsi. Hal inilah yang menjadi problem mendetail yang dapat dianalisa dari teori pembelajaran humanisme. Pergeseran teori ini hingga saat ini berhenti pada teori humanisme, sehingga belum terjadi pergeseran lagi pada teori – teori lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun