Mohon tunggu...
M.Fahrudin Hidayat UdrinG
M.Fahrudin Hidayat UdrinG Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Buku dan rumah di lereng gunung Perahu di tengah kebun kopi tanpa televisi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Waspada Banjirisme!

25 Mei 2014   10:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:08 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Banjir Air dan Nonair

Setidaknya ada empat definisi banjir, yaitu : 1. Berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap (tentang sungai dan sebagainya). 2. Air yang banyak dan mengalir deras; air bah. 3. Peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat. 4. Datang (ada) banyak sekali. Di musim penghujan sekarang ini, banjir mudah sekali terjadi. Kota-kota yang sering jadi langganan banjir, tentu penduduknya sudah tidak kaget (meski belum tentu siap) jika banjir datang melanda kotanya saat musim hujan.
Contohnya Jakarta, tiap tahun selalu banjir yang biasanya dapat kiriman air bah dari Bogor. Kota di Jawa Tengah yang hobi banjir antara lain Semarang, Demak, Jepara dan Kudus. Dan yang pasti ibukota negara kita tercinta: Jakarta.

Bagi kota yang bukan termasuk langganan banjir, tentu penduduknya kalang kabut jika mendadak kena banjir. Karena banjir sesungguhnya bisa terjadi kapan saja dan di mana saja tanpa menunggu yang terkena banjir siap atau tidak. Biasanya banjir bersahabat akrab dengan tanah longsor.

Penyebab banjir tentu saja semua sudah tahu. Penanggulangannya pun tak ada yang tak mengerti. Tapi banjir selalu ada karena kesalahan prosedur yang selalu dilakukan berulangkali oleh penduduk yang tertimpa banjir. Atau selalu ada penguasa yang kongkalikong dengan pengusaha untuk menciptakan banjir dengan teknik membangun gedung-gedung yang berorientasi bisnis semata tanpa mengindahkan etika tata kota yang bagus. Akibatnya, sistem drainase kota amburadul. Atau dengan cara membabat pohon-pohon di hutan lindung demi keuntungan yang hanya masuk kantong mereka.

Lepas dari semua itu, hakikatnya banjir hanyalah sebuah epigram sekaligus pamflet bahwa di dalam sekujur kehidupan ini selalu saja terjadi banjir bandang yang wujudnya bukan melulu berbentuk air. Ada banyak bentuk banjir nonair yang lebih membahayakan kehidupan manusia dibandingkan banjir berupa air.

Korupsi yang merajalela, hukum dan undang-undang yang diperjualbelikan, biaya pendidikan yang mahal sehingga sekolah dan perguruan tinggi sama dan identik dengan mal, permainan politik yang tidak sehat (baca: kotor, termasuk wakil rakyat yang berubah jadi cakil rakyat), dan pelaksanaan otonomi daerah yang salah kaprah,adalah beberapa contoh bentuk banjir yang lebih ganas dan bisa memakan korban serta kerugian yang lebih besar daripada sekadar banjir air.

Walhasil, mau tidak mau, siap tidak siap, setiap saat kita harus bersedia jadi korban banjir. Kecuali jika kita sendiri pelaku penyebab banjir. Kalau memang benar demikian berarti kita lebih kejam bin biadab dari banjir itu sendiri.

kepinG-kepinG udrinG  tercecer di 010309 dipungut 250514

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun