Mohon tunggu...
M.Fahrudin Hidayat UdrinG
M.Fahrudin Hidayat UdrinG Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Buku dan rumah di lereng gunung Perahu di tengah kebun kopi tanpa televisi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Orang Gila

3 Mei 2014   22:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

ORANG GILA

Di wilayah kabupaten Batang pada ruas jalan Bawang-Limpung atau lebih diperjelas jalan antara desa Kumesu sampai desa Sojomerto, dapat ditemui seorang dengan pakaian lusuh dan tubuh dekilberdiam diri di pinggir jalan. Orang dengan performa seperti itu jelas langsung bisa ditebak bahwa orang tersebut orang gila. Orang gila ini menyimpan tubuhnya di pinggir jalan, bukan berteduh. Sebab atapnya langit dan lantainya rumputan bergaris aspal jalan. Ada perdu langsing dengan sedikit daun ada didekatnya. Tentu saja perdu tersebut tak layak disebut sebagai tempat berteduh. Jika panas mentari menyengat, maka orang gila tersebut terbakar teriknya dan saat jarum hujan menusuki bumi, tentu saja orang gila tersebut mandi hujan bersabun angin. Walhasil basah kuyub dan dingin lah yang dinikmatinya.

Entah darimana datangnya orang gila tersebut. Sudah berbulan-bulan orang gila itu memilih ‘menetap’ di pinggir jalan tersebut. Meski tubuhnya dekil pakaiannya kotor dan rambutnya bergimbal ria, tapi raut wajahnya masih segar dan orang yang memandangnya pasti bisa tahu bahwa orang gila tersebut usianya masih muda. Anehnya meski sudah berbulan-bulan menetap disitu, tak pernah ada pihak yang berwenang ‘merazia’nya.

Setiap bepergian ke Limpung, saya selalu menyempatkan mampir di warung untuk membeli nasi bungkus dan minuman dan diberikan pada orang gila tersebut.Begitu juga saat pulang dari Limpung saya pasti tidak lupa membawakan nasi bungkus dan minuman. Saat saya menyodorkan nasi bungkus, orang gila itu menerimanya dengan bermacam ekspresi. Suatu saat hanya diam, saat lain mulutnya mengoceh dengan kata-kata yang tidak jelas. Entah kenapa setelah memberikan nasi bungkus itu, mata saya pun berkaca-kaca, sambil membatin orang masih muda kok sudah tercerabut dari alam kesadaran.

Tentu saja jangan lantas ‘menuduh’ saya terlalu sentimentil dan merasa hanya saya saja yang ‘baik hati’ dengan memberikan makanan kepada orang gila itu, karena ada bertumpuk sampah bekas bungkusan makanan teronggok di dekat orang gila itu yang mengindikasikan bahwa ada beberapa orang selain saya yang masih mau menyempatkan diri dan berempati dengan memberi sekedar makanan untuk orang gila itu.

Lantas jika dinilai dari sudut pandang ‘hakikat’ yang lain apakah benar yang diberi makanan tersebut pasti‘orang gila’ dan yang memberi makanan adalahselalu ‘orang tidak gila’? Bukankah banyak kita temui orang yang kelihatan waras sehat wal afiat ternyata menyandang gila? Ada yang gila harta, gila jabatan, gila wanita, dan gila hormat.Contoh produk dari gila harta (termasuk gila uang) dan gila jabatan yang telah merebak adalah banyaknya pejabat dan politikus muda ( yang tua juga ada) yang akhirnya menyandang gelar koruptor.Sedangkan hasil dari gila wanita (jangan lupa ada juga gila pria)adalah menjamurnya skandal perselingkuhan, membludaknya penggemar prostitusi yang semua itu bermuara pada lautan perzinaan. Ada juga kombinasi dari gila harta, jabatan dan wanita yang menelurkan tindakan korupsi sekaligus zina. Sedang gila hormat bisa melanda siapa saja, ciri-cirinya selalu ingin dilayani, disanjung, dinomorsatukan, diuwongke dan tentu saja harus selalu dihormati dan cepat tersinggung dan marah bila tidak mendapatkan perlakuan yang diinginkan itu. Hasil samping dari gila hormat salah satunya terkenal dengan istilah asal bapak senang (ABS).

Walhasil keberadaan orang gila tersebut boleh jadi sebagai indzar bahwa hidup itu bisa pilihan dan ‘dipilihkan’. Hidup bisa di alam sadar dan di luar kesadaran yang mengkristalkan ke-alien-an atau keterasingan. Hidup bisa waras bisa sakit, ada yang waras rohaninya tapi sakit jasmaninya atau sebaliknya. Tentu yang elegan adalah yang sehat jiwanya sehat badannya, jangan sampai tereliminasi dari kehidupan normal dan terpuruk sebagai pribadi yang sakit jiwanya sakit raganya. Ada lagi hidup merdeka dan hidup terpenjara atau terjajah. Ada yang merdeka pikirannya meski terpenjara tubuhnya atau merdeka tubuhnya tapi terjajah hak-haknya, dan masih ada ribuan spesies dan definisi hidup yang terambil dari indzar adanya orang gila tersebut....

M.Fahrudin Hidayat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun