SUNGGUH saya tidak ingin mengulang cerita tentang aksi kekerasan di Lampung Selatan, Lampung Timur, di Lampung Tengah, dan sebelumnya di Mesuji. Apa yang terjadi, bagaimana peristiwanya, apa akibatnya, dst. sudah diberitakan, diulas, dikomentari, dan dianalisis di banyak media cetak dan elektronik.
Tragedi, Cinta, dan Sajak
Setiap kali kekerasan dan kerusuhan terjadi, apalagi sampai merenggut nyawa, saya selalu merasa terenyuh. Saya menulis sebuah sajak:
ajari kami bahasa cinta
bukan kekuasaan membelenggu kemerdekaan
bukan piil yang diumbar sekadar mempertaruhkan harga diri
sebab, barang ini sudah lama tergadaikan
sejak berjuta-juta abad silam ketika air tanah,
hutan, kopi, lada menjadi milik orang-orang mabuk harta
bukan pisau badik haus darah yang menangis
saat dikembalikan ke sarungnya
bukan pedang berlumur dosa yang siap menebas
leher siapa pun yang menyimpan kesumat
kemarin seseorang mengancamku: kupagas niku kanah
hari ini aku mendengar ia mati tertikam belati
seorang pendendam tak dikenal sudah lama mengincarnya
besok entah siapa lagi yang akan mati sia-sia
ajari kami bahasa cinta
bukan perang antardesa yang meledak di mana-mana
ketika keadilan, hukum, adat tak lagi jadi patokan
ketika kemanusiaan berganti dengan kebinatangan
bukan moncong pistol-senapan panas bau mesiu yang baru saja menyambar
leher para demontran yang menuntut undang-undang drakula
: dua pasang mahasiswa mati dibunuh tentara harus darah!
(Udo Z. Karzi, Ajari Kami Bahasa Cinta, 2000)
Aduh, betapa sebenarnya "betapa pedih peri" mendengar darah tumpah dan jiwa kembali melayang:
: setelah hari ini tak boleh ada lagi
sepotong nyawa yang melayang sia-sia
sebab, sepotong jiwa lebih berharga
ketimbang sejuta kepongahan penguasa
(Udo Z. Karzi, Negeri Ini Teater Tentara, Zal, 1999)