Mohon tunggu...
Udo Z Karzi
Udo Z Karzi Mohon Tunggu... -

Tukang tulis. Lebih suka disebut begitu. Meskipun, jarang-jarang dibaca kompasianer. Hehee... Yang penting nulis aza. Biar nggak kenat-kenut...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Terkutuk Itu...

28 Oktober 2014   21:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:24 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KEBISAAN jelek. Menulis menjelang deadline. Dan, parahnya saya masih belum tahu hendak menulis apa. Entah mengapa, saya memang selalu kesulitan kalau diminta menuliskan pengalaman sendiri.

Untung ada Anton Bahtiar Rifa'i yang mengingatkan, dan kemudian Fadilasari yang bilang, "Sudah selesai belum nulis pengalamanku selama di Teknokra?" Ya sudah, kayaknya inilah yang harus saya tulis. Sesuatu yang teringat. Memang, saya terpaksa mengandalkan ingatan saja dalam menulis ini. Tidak ada dokumen atau apa yang menjadi pegangan kalau mau disebut tulisan ini lebih menyejarah.

Subjektif, ya karena memang diminta menulis secara subjektif. Maka, benar-benar saya ingin bercerita tentang diri sendiri yang kebetulan sempat bergabung dengan pers mahasiswa di Universitas Lampung (Unila) bernama Teknokra. Mudah-mudahan tidak terlalu narsis ya.

***

Saya mau mulai dari mengapa saya masuk Teknokra dulu.

Pada awalnya, saya suka membaca sejak saya bisa membaca, terutama fiksi, lalu puisi, dan belakangan opini di surat kabar. Maka, mulailah saya menulis untuk koran. Cerita anak-anak saya pertama dimuat di Harian Suara Karya ketika masih SMP. Sekali saja. Saya hanya menulis untuk koran tidak berpikiran hendak aktif di pers.

Namun, ketika saya ke Bandar Lampung dan bersekolah di SMAN 2 Bandar Lampung dan saya mulai menulis di beberapa media di Jakarta, saya mulai tahu ada Teknokra dari tetangga kos yang mahasiswa Unila. Sebenarnya, saya sempat nanya, "Boleh nggak nulis di Teknokra?" Tapi, saya kecewa karena jawabnya Teknokra korannya anak kuliahan.

Teknokra keren juga tuh. Belum lagi kuliah, di Teknokra, saya baca reportase Rozali (Pemimpin Umum Teknokra 1993-1994) mengenai pementasan sendratari di Gedung Serba Guna (GSG) Unila melalui Teknokra. Saya baca Etos Kita-nya Iman 'Djioen' Untung Slamet (sekarang orang penting di Siger TV). Saya simak reportase Hartono Utomo di Laporan Utama. Saya baca cerpen dan puisi. Saya juga baca profil dosen dan mahasiswa yang berprestasi, biasanya cewek cantik. (Hahaa, belakangan saya tahu kalau wartawan Teknokra dulu selalu rebutan mengusulkan dan meliput mahasiswi cantik).

Sorry, saya memang dari dulu suka yang bau-bau sastra. Makanya, saya kasih contoh yang tulisan yang indah-indah. Nyeni gitu. Meskipun demikian, saya juga baca berita-berita lain di Teknokra. Bener kok. Tapi, yang duluan dibaca ya itu sosok cewek cantik itu. Manusiawi kan?

Sementara itu, di Harian Lampung Post--saya berlangganan sejak SMA--saya membaca tulisan-tulisan Maspril Aries (sering ditambah Mafisip di belakangnya karena dia mahasiswa FISIP yang waktu itu masih persiapan fakultas), Budisantoso Budiman, Hapris Jawodo, dan lain-lain yang juga aktivis Teknokra.

Wah, pikir saya waktu itu, mereka orang-orang hebat. Karena saya bercita-cita menjadi sastrawan, orang yang pintar menulis ya orang hebatlah.

***

Saya diterima di Program Studi Ilmu Pemerintahan Persiapan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (PFISIP) Unila tahun 1990. Ikut Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) yang pada hari-hari akhir kegiatan ada pengenalan kampus dan pengenalan organisasi kemahasiswaan.

Pada saat inilah, saya kenal Kak Oedjang (Maspril Aries) yang sempat 'ngejogrokin' saya dalam kegiatan. Mungkin dia kesal melihat saya yang suka ’cengengesan’. Wah, Kak Oedjang itu keren juga memakai jaket Teknokra. Terus sewaktu memberikan materi tentang Teknokra kepada mahasiswa baru, saya ingat, dia sempat meminta salah seorang mahasiswa--kebetulan yang maju Iswadi Pratama--membaca sebuah puisi di depan mahasiswa yang masih bau-bau sekolah menengah.

Teknokra memang keren. Saya kirimkan beberapa puisi ke Teknokra. Dengan malu-malu saya antar sendiri ke redaksinya. Puisi tidak dimuat-muat, saya malah mendapatkan surat yang ditanda tangani redaktur opininya, Budisantoso Budiman. Isinya, saya diminta menulis artikel dengan tema politik praktis di kampus.

Ah... ah... hati saya 'berbunga-bunga'. Sebuah kehormatan besar sekaligus tantangan. Meskipun sempat memenangkan sayembara menulis artikel yang diselenggarakan PMII yang ketua panitianya M. Syahran W. Lubis, wartawan Teknokra juga (kini Redaktur Pelaksana Bisnis Indonesia); sebagai mahasiswa ilmu politik yang masih semester I, saya sebetulnya belum terlalu paham dengan politik-politikan. Tapi, tidak ada salahnya saya coba. Jadilah, tulisan "Politik di Kampus Itu Tabu?" Itulah tulisan pertama saya di Teknokra. Berikutnya barulah puisi saya dimuat.

Maka, ketika Teknokra merekrut reporter, dengan penuh semangat saya ikut mendaftar. Ada kekhawatiran juga saya tidak diterima. Soalnya, Indeks Prestasi semester I saya yang di bawah 2,5 tidak memenuhi persyaratan. Kalaulah IPK yang jadi pertimbangan utama, tewaslah saya. Tapi untungnya, saya punya modal segepok tulisan di berbagai media. Mungkin karya ini cukup membantu.

Jadilah saya wartawan magang Teknokra.

***

Saya tidak mau bicara jabatan. Soalnya, tidak penting. "Mengapa si Zul yang jadi Pemred?" tanya seseorang ketika saya dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi Teknokra (1993-1994). Orang yang ditanya lantas kira-kira menjawab begini, "Habis, nggak ada yang lain?" Artinya, jadi pemred cuma kebetulan saja. Hehehee...

Kami masuk Teknokra menjelang suksesi. Tidak berapa lama setelah rekrutmen, Teknokra punya pengurus baru periode 1991-1992. Pemimpin Umumnya Eddy Rifai, masih dosen FH Unila. Lalu, Pemimpin Redaksi/Usaha/Ketua UKM Budisantoso Budiman dengan wakilnya S. Muryono (Pelaksana Redaksi) dan Aldrin Jaya Hirpathano (Pelaksana Usaha).

Berikutnya periode 1992-1993, Pemimpin Umum Yoke Muelgini, Mas Budi digantikan Aldrin Jaya Hirpathano, dengan wakilnya S. Muryono (untuk kemudian diganti Rozali) dan Rully Aprinaldi. Lalu, periode 1993-1994 untuk pertama kalinya pemimpin umum dijabat mahasiswa, yaitu Rozali. Saya di redaksi dan Candra Kirana di usaha. Selanjutnya, regenerasi terus berlanjut di Teknokra secara bergulir teratur sampai sekarasng.

***

Sekarang saya agak serius sedikit tentang gerakan mahasiswa.

Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) menjadi momok bagi aktivis gerakan mahasiswa tahun 1980-an. Istilah tersebut mengacu pada kebijakan keras rezim Presiden Soeharto pada tahun 1978 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan kebijakan pemerintah saat itu.

NKK/BKK adalah kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang mahasiswa terjun ke dalam politik praktis. Lalu, dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dibentuklah organisasi kemahasiswaan pada tingkat perguruan tinggi bernama senat mahasiswa perguruan tinggi (SMPT).

Sebelum era NKK/BKK, simbol institusi perlawanan mahasiswa saat itu adalah Dewan Mahasiswa (Dema), organisasi intrakampus yang berkembang di semua kampus. Karena Dewan Mahasiswa menjadi pelopor gerakan mahasiswa dalam menolak pencalonan Soeharto pascapemilu 1977, kampus dianggap tidak normal saat itu dan dirasa perlu untuk dinormalkan.

Jadi, tahun 1990 itu di Universitas Lampung dibentuklah SMPT Unila. Inilah lembaga mahasiswa bentukan rezim Orde Baru. Tetapi, waktu itu saya masih terlalu awam untuk ikut-ikutan SMPT, Senat Mahasisa Fakultas (SMF), Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), Himpunan Mahasiswa Jurusan, dan lain-lain. Maka, tidak satu pun saya aktif di organisasi intrakampus itu, kecuali Teknokra dan majalah Republica FISIP Unila.

Tapi, Teknokra dan FISIP (kepanjangannya sering diplesetkan menjadi Fakultas Ilmu Santet dan Ilmu Pelet, hehee....) justru 'menyeret’ saya dalam tiga varian gerakan mahasiswa sekaligus: pers mahasiswa, kelompok studi, dan parlemen jalanan.

Di kalangan mahasiswa--dan tentu saja di Teknokra sendiri--gerakan mahasiswa disikapi dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang patuh dengan anjuran 'mahasiswa tidak boleh berpolitik', yang penting belajar baik-baik saja, biar cepat lulus, cepat kerja, dan.... cepat dapat jodoh. Ada yang bersikap ambigu, tidak jelas apa maunya. Ada juga yang tetap berlaku 'gila-gilaan' dalam menghayati keberadaan mahasiswa sebagai intelektual muda, penjaga moral bangsa, garda terdepan perubahan (agent of change, yang kalau keterusan menjadi agent of chengeng. Hehee...), dan seterusnya.

***

"Bagaimana dengan sepotong pena, kita merebut kekuasaan," itu kata-kata kita yang baru saja diajari konsep politik. Itu masih mending, ada yang lebih parah, "Bagaimana dengan sehelai daun, kita melakukan revolusi." Gombal betul-betul gombal mahasiswa awal tahun 1990-an. Tapi, biar gombal, kami juga romantis. Saya seperti juga--setidaknya yang saya ketahui--Rozali, Affan Zaldi Erya, dan Anton Bahtiar Rifa'imisalnya, suka puisi dan menulis sajak-sajak.

Kata orang, puisi efektif untuk merayu cewek. Kalau tidak percaya, tanya Anton. Cuma, saya waktu itu gagal menjadi penyair karena cinta saya ditolak justru karena sajak. Barangkali si cewek berpikir begini: "Hidup itu harus realistis. Mau apa dengan puisi? Memangnya bisa makan dari sajak-sajak?" Hehee... Habis ’dah gua. Semua sajak-sajak cinta saya musnahken (ingat gaya bicara Pak Harto).Nyesel juga sih. Sekarang saya baru sadar kalau teks-teks itu bagian dari sejarah yang tidak mungkin saya ulangi.

***

Tahun 1992. Liputan Teknokra tentang jual-beli nilai di Unila mendapatkan reaksi keras, terutama dari Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi. Petinggi Unila pun ribut. Ada tuntutan agar pengurus Teknokra diganti. Untungnya, waktu itu memang sudah dekat-dekat pergantian pengurus.

Maka, diadakankanlah Musyawarah Besar (Mubes) Teknokra untuk menggantikan pengurus secara lebih cepat dari waktu seharusnya. Yang sebenarnya, Eddy Rifai diberhentikan dengan hormat dari jabatan Pemimpin Umum, sedangkan Budisantoso Budiman diberhentikan dari jabatan Pemimpin Redaksi/Usaha/Ketua UKM. Ini jalan kompromi dari reaksi terhadap liputan Teknokra itu.

Mubes memutuskan, Aldrin Jaya Hirpathano menjadi Pemimpin Umum/Usaha/Ketua UKM yang baru, sedangkan Pemimpin Umum ditunjuk Yoke Muelgini.

***

Tahun 1994. PFISIP sudah sembilan bulan tidak jadi-jadi fakultas. Kedatangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Wardiman Djojonegoro ke Unila, 10 Mei 1994, dipergunakan mahasiswa FISIP menuntut kejelasan status fakultas mereka. Soalnya, huruf "P" (persiapan)-nya tidak copot-copot juga. Maka, setelah memberikan ceramah umum di GSG Unila, dan Mendikbud bersama rombongan hendak menuju Sekolah Teknologi Menengah (STM); di depan kampus FISIP, Wardiman dihadang aksi duduk mahasiswa FISIP lengkap dengan berbagai poster bertuliskan, antara lain "Sudah sembilan tahun lebih PFISIP hamil, kapan mau lahir?", dan lain-lain yang intinya meminta agar FISIP diresmikan menjadi fakultas.

Teknokra yang sebelumnya memang memproyeksikan akan menulis tema gerakan mahasiswa, seperti mendapat 'durian runtuh' untuk bahan reportasenya. Gerakan mahasiswa yang masih dalam angan-angan menjadi realitas, meskipun baru sebatas intrakampus; meskipun sebelumnya (saya lupa tanggalnya) sudah ada aksi protes yang dilakukan mahasiswa Fakultas Pertanian Unila yang dimotori Hartono 'Ome' Utomo, aktivis BPM Fakultas Pertanian yang juga wartawan Teknokra, membela seorang mahasiswa FP yang skripsinya dituduh memplagiat penelitian seorang dosen.

Jadilah, liputan utama tabloid Teknokra waktu itu mengenai gerakan mahasiswa pada umumnya, ditambah dengan liputan seputar aksi mahasiswa FISIP lengkap dengan gambar aksi demontrasi. Liputan dan foto menjadi lebih 'garang' karena Teknokra waktu itu merupakan edisi perdana yang berwarna dari sebelumnya yang hitam putih.

Hebohlah Unila. Sebenarnya yang ribut pimpinan universitas yang waktu itu Rektornya, Alhusniduki Hamim (alm). Teknokra pun 'disidang'. Liputan Teknokra dinilai terlalu keras dan tidak etis. "Masa Pak Wardiman dipampang di halaman depan Teknokra dalam kondisi seperti ini. Ini tidak sopan," kata Pak Duki waktu itu sambil menunjukkan cover Teknokra yang memuat foto-foto demonstrasi mahasiswa FISIP. Salah satu gambar memang memperlihatkan bagaimana roman muka Wardiman saat berhadapan dengan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa itu.

Situasi tambah panas, menyusul alumnus Teknokra yang menjadi wartawan Lampung Post membela Teknokra dengan menuliskan beritadi korannya, berjudul 'Memuat Foto Demo, Teknokra Ditegur' disertai foto cover Teknokra yang dipermasalahkan.

Syukurlah kondisi ini tidak sampai memakan 'korban' dan semua bisa diselesaikan dengan baik-baik. Bahkan, usul agar dilakukan sensor terhadap Teknokra sebelum naik cetak, ditolak para pembina/staf ahli Teknokra, sehingga tidak dilakukan. Hingga saat itu, tidak ada sensor untuk Teknokra, meski kadang-kadang atau malah sering dinilai bertentangan dengan kebijakan petinggi Unila.

***

Saya sendiri selain masih menulis di Teknokra, terkadang di koran umum,suka baca-baca, dan sesekali buat puisi; menjadi keranjingan dengan wacana, ikut diskusi di mana-mana, di dalam dan di luar kampus. Dari Teknokra, terkadang bersama Syafarudin (sekarang dosen FISIP Unila), M. Ridwan, atau Anton Bahtiar Rifai. Kalau soal soal sastra setahu saya di Teknokra selain Anton, ada Affan Zaldi Erya dan Sakwan Rejab.

Saya jadi ingat kalau soal buku, saya suka rebutan dengan M Fadoli (sekarang PNS di Tanggamus). Saya antara merasa dan tidak, ini menurut Anton, Fadoli ini menjadi orang yang menjadi 'penentang utama' hampir setiap kebijakan yang saya buat.

Saya coba juga mengingat teman-teman dan kakak-kakak Teknokra satu-satu yang sempat ketemu tapi belum disebut, di antaranya: Ratih Handayaningrat, Warsiman, Joni Widodo, Niswatun Hasanah, Candra Kirana, Armelia, Laila Yusro, Enyang Suandi, Djoko PH Waluyo, Yulia Kusuma Wardani, Amalia, Budi Hastadjo, Budi Hardiantoro,.... aduh, ternyata tidak bisa teringat semua.

***

Masih tahun 1994. Terbetik kabar SMPT Unila mendapatkan kiriman, maaf, bra dari teman-teman di Jawa. Sebuah provokasi. Provokasi berikutnya, beberapa warga Desa Way Hui, Lampung Selatan mendatangi Unila. Tidak tahu apa alasannya, mereka mendatangi mahasiswa FISIP. Meminta dukungan dalam memperjuangkan tanah mereka yang diganti rugi hanya dengan Rp5 per meter persegi.

Ini zaman Orde Baru. Kalau macam-macam, bisa berhadapan dengan aparat. Terlalu riskan untuk mengadakan aksi secara terbuka. Berdasarkan rapat gelap, sebenarnya tidak gelap karena masih ada lampu listrik, di Gedung F FISIP (sekarang tidak tahu gedung berapa) diputuskan untuk mengadakan renungan suci di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kedaton. Agak konyol juga gagasan ini. Alasannya, kalau berunjuk rasa ke pemerintah, aparat jelas akan bertindak. Karena itu, daripada mengadu kepada yang masih hidup, lebih baik melapor kepada arwah para pahlawan bahwa telah terjadi ketidakadilan di tanah yang mereka perjuangkan dulu.

Karena tidak ada catatan apa pun, tidak pula ada beritanya di koran kerena ini zaman serba represif, saya lupa tanggal kejadiannya. Saya hanya ingat suatu malam di tahun 1993, sembilan mahasiswa, yaitu delapan mahasiswa FISIP Unila dan satu mahasiswa FISIP Universitas Bandar Lampung. Satu di antaranya saya, diangkut dengan mobil tentara dari TMP Kedaton menuju Markas Kepolisian Resort (Polres)--(sekarang Poltabes)--Bandar Lampung.

Acara renungan suci belum lagi mulai. Tapi, polisi dan tentara sudah mengepung TMP lengkap dengan berbagai jenis senjata. Oohh... dari atas mobil tahanan yang membawa kami, saya menyaksikan wajah-wajah aparat keamanan yang tegang dengan senjata yang siap digunakan. Gila bener!

Di Polres, beberapa di antara kami--katanya sih sampel aja--diinterogasi satu-satu. Kemudian kami bersembilan, dikumpulkan dalam ruangan Kapolres. Di situ sudah lengkap ada Kapolres, Dandim, dan beberapa petinggi polisi dan tentara lain. Kami difoto satu per satu, lalu mendengarkan petuah mereka mengenai ketertiban dunia. Intinya, jangan lagi berdemo kalau tidak mau menerima akibatnya.

Ya, sudah mau gimana lagi. Siapa tidak takut dengan pistol dan senapan?

Saya sendiri bukan siapa-siapa. Pemimpin demo bukan. Orator ulung tidak. Ah, kebetulan ya cuma kebetulan, diam-diam saya waktu itu sedang menjadi Pemimpin Redaksi Teknokra. Tidak ada yang tahu, termasuk aparat itu pada waktu itu. Tapi, kemudian saya dengar mereka jadi tahu, siapa saya, sehingga nama saya termasuk papan atas orang yang masuk buku hitam Korem 043 Garuda Hitam Lampung dan karena itu harus diawasi.

Hehee... ada-ada saja. Masa lelaki kurus dengan pakaian tidak terurus dan bukan pengurus apa-apa, kok menjadi orang yang harus dicurigai.

Tapi, tidak lama kok. Saya kembali menjadi mahasiswa baik-baik yang justru malah patah hati karena putus cinta. Hahaaa.... Apalagi, setelah pekon (kampung) saya, Liwa, Lampung Barat dihajar gempa berkekuatan 6,5 skala Richter pada 15 Februari 1994 dini hari. Hampir semua bangunan permanen di Liwa rata dengan tanah. Tak kurang dari 196 jiwa dari beberapa desa dan kecamatan di Lampung Barat tewas. Jumlah yang terluka hampir mencapai 2.000 orang.

***

Manusia sisa gempa itu kini untuk sementara tinggal di Borneo—tapi beberapa tahun kemudian kembali lagi ke Lampung. Teknokra telah menyumpahinya menjadi jurnalis seumur-umur. Tidak ada jalan lain! Pernah coba-coba lari dari kenyataan, eh malah tersesat kembali ke dunia jurnalistik.

Ya, mau apa lagi? n

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun