Pukul 9 pagi, sampai di Citeureup.
Tujuanku berikutnya adalah Warnet si Dahlan. Aku ingin memposting cerita perjalananku yang kemarin. Sudah sekitar 1 tahun ini aku dengan rutin mengirimkan tulisan ke sebuah Yayasan yang menolak keras untuk disebutkan namanya di sini. Sebut saja namanya Yayasan Kenyot Popor (YKP). Mereka bersedia membayar tulisanku dengan jumlah yang cukup untuk membiayai kesukaanku keliling-keliling kesana-kemari serta untuk menambah uang saku.
Kadang aku heran juga kenapa mereka senang betul dengan tulisanku yang selalu menyorot sisi miris dari kehidupan, terutama mengenai para remaja, sementara beberapa tulisan senada yang kukirim ke surat kabar sampai sekarang belum ada yang dimuat. Apakah mereka punya standar lain? Entahlah. Aku tidak begitu peduli, selama aku masih bisa mendapat tambahan uang saku. Namun tak bisa dipungkiri, aku tetap saja bertanya-tanya... tapi, uang saku itu perlu.
Warnet si Dahlan masih sepi pagi ini, hanya ada 2 orang yang sedang asyik mengetuk-ngetuk keyboard dengan pandangan yang terpusat pada layar monitor sambil senyum-senyum sendiri. Tampaknya mereka sedang chatting. Aku langsung menuju ke ruang belakang. Di sana aku menjumpai temanku; lelaki tinggi-kurus, berpipi tirus, dengan kacamata minus berukuran serius, memakai kemeja flanel kotak-kotak coklat hangus, celana dari bahan denim halus; sedang duduk dan terfokus (hush! hush!) membaca buku Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq. Aku terkagum-kagum melihatnya. Bila kalian mengenal dia beberapa tahun yang lalu, kalian juga pasti akan merasakan hal yang sama...
Dahlan tergolong anak yang cerdas sejak kecil, tapi juga pemberontak secara alamiah. Telah mahir menggunakan komputer sejak kelas 3 SD, membuat program komputer dalam bahasa C waktu kelas 5 SD, serta diangkat sebagai anggota kehormatan sebuah Komunitas Hacker saat dia baru mengenakan seragam putih-biru. Sisi pemberontaknya mulai muncul ketika dia menjadi murid SMU. Demi merubah citra bahwa seorang jenius komputer itu tidak bisa gaul dan cenderung eksklusif. Dia memutuskan untuk sering nongkrong dan menjadi bagian dari anak-anak tongkrongan. Dengan bekal keberanian dan percaya diri yang tinggi, dia pun dengan mudah membaur dan diterima oleh para begundal Jalan Baru (salah satu tongkrongan utama di Citeureup.) Dia bercita-cita untuk mengajak teman-teman barunya itu untuk memiliki cita-cita (wow...) dan berusaha untuk membuka pintu-pintu kemungkinan baru ke hadapan mereka. Sungguh cita-cita yang mulia.
Namun kenyataan memang tak semudah angan-angan. Alih-alih membawa mereka pada sebuah perubahan, Dahlan justru terbawa semakin dalam ke dunia anak tongkrongan. Maka hadirlah dia dalam setiap acara nge-draft (pesta minuman beralkohol), pula ikut serta menghisap ganja dengan seksama. Sekali-dua untuk senang-senang dan sekedar ikut kompak, lama-lama jadilah sebuah kebiasaan. Meski tak bisa dipungkiri, nuraninya terus memberontak. Dunianya memang bukan di situ. Tapi tekanan kebersamaan dalam DAMAI sudah mulai mencengkeram kepalanya.
Sampai akhirnya pertolongan itu datang. Saat bulan Ramadhan tiba, sekolahnya mewajibkan para murid muslim untuk ikut dalam gelaran Pesantren Kilat (Sanlat). Dahlan tak terkecuali, juga harus mengikutinya. Setiap hari dia dipaparkan mengenai paradigma diri manusia dan keberadaannya di dunia yang fana, mengingat dosa, kematian, dan betapa kecil diri manusia sebagai bagian dari kemahasemestaan. Bahwa waktu terus berlalu, dan yang bisa ditinggalkan hanyalah sekumpulan penanda. Tanda macam apa? Bekas muntah di selokan hina? Kesenangan mencumbu maut di saat diri terbawa tinggi melayang? Bagaimana bila pada saat itu adalah waktu penerbangan yang terakhir? Melayang tinggi dan tidak turun-turun lagi... ditangisi orang tua yang kehilangan seorang anak yang meninggal saat mabuk... pandangan sinis para tetangga... ini bakti seorang anak untukmu, Mama... kandung anakmu selama 9 bulan dan meregang nyawa saat melahirkannya... besarkan dia dengan sepenuh cita... dan dia membalasnya dengan menjadi seorang pemabuk yang mati disebuah gubuk tanpa nama... terima kasih, Papa...
Betapa hidayah memang tak bisa diduga kapan dan siapa yang didatanginya. Dari ratusan murid yang mengikuti Sanlat, hanya Dahlan yang benar-benar terketuk untuk merubah diri. Pada malam renungan suci, dia menangis seperti Malin Kundang saat hendak dikutuk jadi batu. Setelah itu dia mulai kembali menata hidupnya. Tanpa sepenuhnya melepas persahabatan dengan teman-teman di tongkrongan, dia berusaha untuk lebih bijak dalam menakar kebersamaan. Syukurlah, dia belum terjerumus untuk mencoba zat adiktif yang dicampurkan ke dalam darah, sehingga proses pembersihan dirinya dari adiksi tidak terlalu merepotkan.
Setelah lulus SMU, Dahlan meminta kepada orangtuanya agar dana kuliahnya dialihkan saja untuk dana usaha. Orangtuanya setuju. Lalu dia menyewa sebuah lapak dan membuka usaha warnet, rental, dan servis komputer. Sesekali dia juga menjual program buatannya ke beberapa perusahaan. Dan selanjutnya adalah... sejarah.
Ayo anak-anak, ditutup buku sejarahnya. Mari kita kembali pada beberapa saat yang lalu...
Aku menepuk pundaknya. Dahlan tersenyum dan menonjok perutku (sial!) Lalu kami pun saling bertukar kabar. Sudah beberapa minggu ini aku tidak ikut kumpul-kumpul di jalan Baru. Ternyata ada beberapa hal penting yang telah terlewatkan. Ada si Nanu yang tertangkap basah dengan 5 Kg ganja kering di Surabaya; Ada si Ophie yang dihamili pacarnya dan terpaksa dinikahkan; ada juga si Agenk, yang pernah bersumpah untuk membaktikan diri pada whisky, 2 hari yang lalu mendapat panggilan untuk bekerja di sebuah kantor desain grafis. Memang benar adanya: Satu-satunya yang konstan dalam kehidupan adalah perubahan.
Setelah asyik bercakap-cakap, aku pun pamit untuk meneruskan rencana awal. "Okay coy, gua mau posting tulisan dulu ke YKP..."