Mohon tunggu...
Indra Afriza
Indra Afriza Mohon Tunggu... wiraswasta -

penyair dari harapan yang lama hilang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Titik Balik 2

13 Agustus 2010   15:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:04 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pukul 3 dinihari. Aku memaksakan tidur dalam pelukan bus malam. Kembali pulang...

Ada suara panggilan di telepon genggamku. Layar kristal cair menampilkan sebuah nama: Yandre. Ah, akhirnya dia menelepon juga. Kupikir pesan pendekku tidak digubris olehnya. Ohiya, Yandre ini kakak dari Dietha Siwi, anak perempuan yang baru saja kukunjungi di Bandung tapi tidak jadi bertemu, kerna dia terburu mengiris nadinya sendiri.

"Gimana kondisi Dietha sekarang Do?" terdengar Yandre sedang mengatur nafas.

"Terakhir kali gua tinggal sih, udah mulai stabil.. Lu udah kabarin bokap-nyokap lu?"

"Iya, abis ini gua kabarin..." Terdengar suara lenguhan manja di belakang Yandre.

"Lu kapan ke Bandung?"

"Mungkin besok... sekarang gua masih di Lubuk Pakam," suara lenguhan itu terdengar lagi.

Ow, dia di Sumatera. Sepertinya aku tahu dengan siapa. "Sama Tante Elviera?"

"Elviera... gak pake Tante, sialan lu!" Dengan terburu-buru Yandre menyudahi percakapan.

Hmm, Yandre dan (Tante) Elviera... sebuah kisah untuk kubagi di lain kesempatan. Tanpa terasa bus malam yang kutumpangi sudah memasuki Terminal Baranang Siang, Bogor. Pukul 4:15 pagi. Mengayun langkah mengitari terminal yang belum ramai, aku putuskan untuk mampir dulu ke warung kopi si Kumis. Minum kopi untuk mengusir dingin, sambil mengamati aktivitas mahluk malam di sana, sebelum beristirahat di Musholla belakang terminal.

Di warung si Kumis hanya ada 4 manusia yang sedang duduk-duduk santai. Salah satunya adalah Kang Jubron, si penyair malam. Orang ini tampaknya betul-betul Batman sejati: jarang terlihat di siang hari, baru nampak setelah matahari terbenam. Pekerjaannya selepas senja adalah mengamen puisi dari bus ke bus. Kang Jubron memiliki tipe suara yang sangat pas untuk mendeklamasikan bait-bait sanjak: berat, dalam, dan menggeletar di udara. Aku menyebutnya tipe suara hipnosis, jenis vokal yang mampu membawa dan membius para pendengarnya. Puisi-puisi karyanya sendiri cenderung absurd dan terkesan asal-asalan, tapi bila keluar dari mulutnya, bahkan daftar absen TK Melati bisa dirubahnya menjadi balada yang mampu membuat bulu kuduk merinding. Nah, beliau tampaknya baru menyelesaikan sebuah karya dan hendak mendeklamasikannya untuk para pengunjung warung. Aku langsung terpaku, menantikan penampilannya dengan penuh konsentrasi.

Cinta,
aku ingin merondang dalam rondanganmu..
aku ingin merinding dalam rindinganmu..

Cinta,
aku ingin meronda bersamamu.

Tuh kan, bulu kudukku langsung merinding. Untuk menunjukkan apresiasi, aku membuat gerakan tangan ke arah si Kumis untuk mengatakan: Kopi dia biar aku yang bayar. Si Kumis mengangguk tanda paham, Kang Jubron tersenyum tanda terima kasih, aku mengedipkan mata untuk mengatakan: bila malam telah kotor, biar puisi yang membersihkannya.

Setelah gelas kopiku tandas, aku langsung menetap langkah menuju Musholla. Kantuk ini sudah tak bisa ditawar. Sesampainya di Musholla, kulihat lapak-lapak sudah hampir penuh terisi, sebagian besar oleh para backpackers. Tempat ibadah ini memang jadi pilihan utama kami untuk menginap dikala dana sudah tak mencukupi untuk menyewa wisma atau hostel. Aku pun membaringkan diri di salah satu sudut, merenungi hari yang telah terlalui, sambil menunggu si penabur pasir datang membawa pemberat mata.

***********************************

Mentari pagi datang, dengan teratur dan tanpa banyak tanya. Setelah mandi a la Kabayan di toilet umum, aku pergi mencari sarapan di luar Terminal. Soto Bogor jadi pilihan utama. Menikmati sajian khas kota ini sambil melihat pemandangan di pinggir jalannya, adalah pilihan yang ampuh untuk mengusir penat.

Sekumpulan pelajar putri melintas. Muda, ceria, dan kinyis-kinyis. Mereka dengan santai melenggang, bersenda-gurau, sembari memainkan jempol di atas telepon genggam. Satu hal yang cukup menarik perhatianku adalah kemampuan mereka untuk mengetik pesan pendek di ponsel tanpa harus melihat ponselnya. Pernah kulihat seorang siswi SMU yang sedang merenung di dalam angkot sambil memandangi langit sementara kedua jempolnya dengan stabil mengetikkan pesan pendek. Mungkin bila mereka ditanya apa sisi puitis dari tempat Chairil Anwar dimakamkan, atau mengapa Wikipedia masih disangsikan kesahihannya sebagai ensiklopedia acuan, sebagian besar masih akan termangu-mangu dan bingung akan menjawab apa; tapi coba ditanya letak huruf L di tombol ponsel dan berapa ketukkan yang diperlukan untuk memunculkannya, siswi yang tadi, akan dengan santai memberi jawaban sambil memandang lesu ke arah langit.

Setelah sarapan dan cuci mata, aku segera menaiki bus menuju desaku yang tercinta.

Pukul 9 pagi, sampai di Citeureup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun