Hubungi P, untuk pembunuhan. Kalimat itu diucapkan oleh seorang lelaki beralis runcing dengan pandangan tajam, sembari menghisap rokoknya dalam-dalam.
Siapa P? Tanya seorang pemuda berkacamata.
Aku! Jawab lelaki beralis runcing.
Sebenarnya si Kacamata tidak menyukai kekerasan, apalagi pembunuhan. Dia hanya kesal. Wanita yang dicintainya telah memilih seorang pemuda yang lebih tampan dan bergelimang harta. Dia kesal. Sebegitu kesalnya sampai ingin membunuh. Bukan si pemuda tampan yang ingin dibunuhnya dan bukan pula si wanita. Dia ingin membunuh kedua orangtua mereka, karena dianggap telah meracuni pikiran anak-anaknya dengan pemujaan berlebih pada konsep materialistik. Padahal, wanita itu memang tidak mencintai si Kacamata.
Seorang teman mengenalkan si Kacamata pada si lelaki beralis runcing. Semua orang menyarankan hal yang sama: hubungi P, untuk pembunuhan.
Si Kacamata mengambil senapan angin milik bapaknya. Binggh! Trakk..! Sebutir mimis menembusi anak tekak. Tersangkut antara hidung dan mata.
Keesokan paginya, orang-orang pun ribut. Si Kacamata mati bunuh diri dengan senapan angin. Polisi datang. Bingung. Tak ada petunjuk jelas.
Si Kacamata(alm.) belum pernah mengenalkan dirinya pada si Wanita. Cinta yang belum terucapkan, benih rasa yang membusuk dalam kamar sunyi- pengap. Tak ada seorang pun yang tahu kecuali dirinya sendiri. Tak ada petunjuk jelas. Kecuali... sebuah surat di atas meja, di samping amplop bergambar Cupid. Dialamatkan kepada: Alfred Hitchcock.
Di dalam laci meja tulis milik si Kacamata(alm.), polisi menemukan segulung seluloid kosong dan tumpukan kertas berisi sketsa naskah untuk sebuah film horor.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H