Hijau, Sebuah Intermisi
Sudah lama Udo tidak mengamati bintang-bintang di langit seperti dulu. Keindahan yang terlalu jauh, tak tersentuh, membuat dia merasa tak terikutkan dalam keberadaannya. Dia putuskan untuk melepas semua kilau yang tak terjangkau kepada langit malam. Gugus bintang dan puisi dalam dirinya telah menyublim jadi ucapan syukur, hasil dari kepasrahan tanpa reservasi.
Hubungan Udo dengan Ayah semakin hari makin membaik. Kebencian telah dipapas oleh kerinduan. Mungkin memang diperlukan keterpisahan untuk menghargai sebuah kedekatan. Seperti sesuatu yang baru terasa nilainya ketika dia menghilang. Wajah sangar Ayah kini dihiasi senyuman, setiap kali Udo pulang ke rumah. Sebulan sekali. Membawa oleh-oleh sekedarnya.
Haru meruak di dada Udo. Melihat sang adik yang menyerobot martabak bawaannya dengan lahap, sambil bercerita tentang perkembangan terbaru di Citeureup. Memandangi Ibu yang dengan bangga menata sajian di meja makan. Bahkan saat Udo hanya datang membawa diri sahaja, selalu ada pisang-coklat dan kopi susu di sana. Selamat datang di Surga ke-tujuh.
Perhatian Udo beralih pada pemandangan yang meneduhkan. Dia jadi senang duduk-duduk di taman. Setiap hari Minggu, menjelang sore. Menikmati hijaunya rerumputan, memandangi beragam tanaman yang tertata rapi. Melihat anak-anak kecil yang bermain dengan riang, melihat para ibu tergopoh-gopoh berusaha menyuapi anaknya yang berlarian kesana-kemari. Sehabis lelah oleh rutinitas kerja selama sepekan, pemandangan seperti itu terasa teduh bagi mata dan hatinya.
Minggu kemarin Udo membeli tanaman air dan sebuah jambangan. Dia menaruhnya di teras depan kamar kost. Setiap kali hendak berangkat dan pulang kerja, dia selalu menyempatkan diri untuk memperhatikan tanamannya itu. Pesona hijau di atas air. Keindahan yang bisa disentuh dan dipelihara, membuat Udo merasa jadi bagian di dalamnya. Partisipasi, seperti sentuhan, merubah suatu gagasan menjadi satu bentuk nyata. Menjadi satu keberadaan yang... komplit.
Dari ruas jalan KMGS, ada satu pelajaran yang telah Udo petik: bahwa yang selama ini dia anggap sebagai kilau bintang, hanyalah pendar lampu neon.
Cerpen yang Urung Usai
Ini adalah tulisan di lembar terakhir buku catatan Novarino:
… rumusan itu mampir dan aku mencatatnya. Hasilnya kutulis, rumusnya kuhapus. Karya besar tercipta. Abadi, kerna tak bisa dibuat kembali… ( cuk! Aku masih harus mencari cara untuk meringkas kata dan memperluas makna! )
"…Meski mereka jadi gila mereka akan waras kembali,
Meski mereka tenggelam ke dalam laut mereka akan timbul kembali;
Meski para pecinta menghilang tapi cinta takkan pernah usai;
Dan kematian takkan pernah menguasai…"
------- Dylan Thomas.
cri de couer: aku mesti bisa hadir dalam jagad sastra. Tanpa perlu dipertanyakan, kenapa aku mesti ada?
Dan Udo pun tak bertanya-tanya. Ini adalah sebuah persembahan.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H