Novarino: Seorang Penulis
Sewaktu di SMP, Udo mempunyai seorang sahabat karib bernama Novarino. Seorang remaja kerempeng berpenampilan lusuh dengan gigi depan berlubang; si kutu buku yang keracunan kertas. Temannya yang satu ini berambisi untuk menjadi seorang penulis terkenal, meski tidak ada usaha nyata yang pernah dia lakukan untuk mewujudkannya. Dia tak pernah mengirimkan tulisannya ke koran atau majalah, tak pernah ikut serta dalam lomba-lomba mengarang atau semacamnya. Tambah lagi, belum ada satu pun karya tulis yang pernah dia tuntaskan. Hanya ada potongan kata-kata atau beberapa paragraf yang masih penuh dengan coretan kasar, menghiasi buku 'ajaib' yang selalu dia bawa kemana-mana. Tapi dia begitu yakin bahwa dia memang ditakdirkan untuk menjadi seorang penulis. Tanpa kompromi, tanpa syarat.
Novarino sering bercerita pada Udo bahwa dia sedang menyiapkan satu proyek besar: memperkenalkan sebuah gaya baru dalam penulisan cerita pendek. Dan Sejarah pun harus mencatatnya! Gagasan ini selalu dia ulang-ulang dalam setiap obrolan. Di warung kopi, di perpustakaan, di toko buku, saat berjalan bersama. Satu obsesi yang bergema.
Sayang sungguh disayang. Cita-cita mulia itu tidak bisa dia wujudkan. Novarino meninggal pada usia 14 tahun, akibat sakit paru-paru yang dideritanya. Organ pengempa darah-udara dalam tubuhnya penuh dihiasi bercak-bercak hitam pemberian dari nikotin dan udara malam. Makan tidak teratur dan istirahat yang terlupa. Bapak penjudi dan ibu yang jarang di rumah. Novarino mengenal rokok semenjak di Sekolah Dasar. Terkadang dia ikut-ikutan mencekik botol bersama anak-anak tongkrongan. Awalan yang buruk, mengakibatkan akhir yang terlalu awal.
Jurnal Udo, Periode I: Harapan yang Hilang
Seusai mengamati bintang di langit dan memikirkan semua hal yang bisa terpikir, Udo mengurung diri di kamar dan menuangkan isi hatinya ke dalam buku catatan. Sebuah jurnal. Ada yang berupa catatan harian, ada juga beberapa puisi. Jika sedang ada waktu, puisi-puisi di buku jurnal dia salin ke dalam satu buku khusus. Sebuah koleksi pribadi. Berikut ini adalah beberapa petikan dari jurnal hariannya...
* * * * *
Tadi siang Novarino mampir ke rumah saat aku sedang mencuci seragam sekolah di belakang. Dia langsung masuk ke kamarku seperti biasa. Mencari-cari apa saja yang bisa dibaca. Si kutu buku. Aku lupa bahwa buku kumpulan puisiku masih tergeletak di atas meja belajar. Dia pun membacanya. Si Kutu!
Setelah membaca, Novarino langsung menghampiriku dan menyembah-nyembah. Kaget aku. Dia langsung mengoceh perihal puisi-puisiku yang telah membuat dia kembali percaya, bahwa dunia kepenyairan di Indonesia masih punya harapan. Ada beberapa kali kata 'Revolusioner' mampir dalam racauannya. Aku jadi tersanjung, tak jadi marah karena dia sembarangan saja membaca koleksi pribadiku.
* * * * *
Beberapa hari yang lalu kami bersama-sama memajang puisi-puisi karyaku di Majalah Dinding. Sambutannya: eksplosif. Aku mendadak didaulat sebagai 'Lord Byron of Bogor'. Dapat penggemar dan penghasilan tambahan: banyak teman-teman yang minta dibuatkan puisi, untuk pacar atau calon pacar. Imbalannya? Lumayan. Kuganjar Novarino dengan jatah bakso di kantin supaya badannya tidak terlalu kerempeng. Namun aku selalu menolak setiap kali dia minta dibelikan rokok. Aku ngeri melihat batuknya yang mulai berhias darah.
* * * * *
Cita-citaku berubah haluan. Aku tak lagi berminat menjadi supir truk, aku ingin jadi Penyair. Novarino mendukungku sepenuhnya. Yang kuperlukan selanjutnya adalah penerimaan yang lebih luas, penilaian dari para senior. Novar tidak setuju. Dia mengatakan bahwa yang terpenting adalah penerimaan dari diri sendiri. Benar juga. Tapi aku perlu...
* * * * *
Dari puisi-puisi yang ada, kukumpulkan beberapa yang kuanggap sebagai 'unggulan'. Tadi pagi aku ke Kantor Pos, mengirimkan karya-karya terpilihku itu ke sebuah Jurnal Sastra. Diam-diam, aku berharap banyak…
* * * * *
Hari demi hari, bulan tuntas berganti. Tidak ada jawaban. Penantian yang mengesalkan. Sebenarnya aku bisa maklum bila puisiku belum layak untuk dimuat, namanya juga karya pemula, yang membuatku gatal adalah ketiadaan tanggapan. Kosong. Didiamkan, blas!