Mohon tunggu...
Sabaruddin Malik
Sabaruddin Malik Mohon Tunggu... profesional -

Pembelajar Kehidupan Dengan Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

NII dan Negara Kesejahteraan

13 Agustus 2013   18:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:21 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Islam Indonesia (NII) merupakan sebuah gerakan keislaman dengan tujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan ini pernah memproklamasikan berdirinya NKA - NII (Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia) pada tanggal 7 Agustus 1949. NKA NII disebut juga sebagai Darul Islam (rumah, wilayah, negara Islam). Komandan Tertinggi gerakan ini bernamaSekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, salah seorang tokoh Masyumi Jawa Barat. DI memiliki tentara sendiri yang disebut TII (Tentara Islam Indonesia) yang merupakan bentukan dari laskar Hizbullah (tentara Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah). Menurut Kartosoewirjo selaku Komandan Tertinggi TII dan para pengikutnya, bahwa NII yang diproklamasikan melalui revolusi Islam itu merupakan implementasi pesan-pesan Islam yang kaffah (totalitas).

Dari pendekatan sejarah, perkembangan NII dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama adalah periode gerakan bersenjata (1947-1962). Periode ini dimulai pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta serta penguasaan DI-TII terhadap Jawa Barat yang dianggapnya sebagai wilayah tanpa kekuasaan (vacuum of Power). Periode ini berakhir dengan eksekusi mati MS. Kartosoewirjo oleh pemerintah pada tanggal 5 September 1962. Periode kedua sekitar tahun 1963-1996 . Pimpinan NII pada waktu itu bersifat kolegial, kemudian NII dipimpin oleh Daud Beureuh. Periode ini berakhir dengan penyerahan tongkat imamah dari Adah Djaelani kepada Abu Toto Abdus Salam. Pada periode ini, NII terpecah-pecah menjadi beberapa faksi. Periode ketiga adalah periode Al-Kahfi (Gerakan bawah tanah) yakni ketika NII di bawah kepemimpinan Abu Toto Abdus Salam sampai sekarang. Karena Abu Toto merupakan komandan NII Komandemen Wilayah IX, NII yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan NII KW IX. NII KW IX ini ditengarai telah melakukan penyimpangan dalam menafsirkan ayat Al-Quran dengan tujuan untuk menjustifikasi pendapat-pendapat mereka dalam kerangka mendirikan Negara Islam. Selain itu, mereka pun melakukan gerakan bawah tanah, bersifat ekslusif, dan dinilai memeras anggotanya dengan infaq dalam jumlah yang sangat besar.

Adapun asas atau landasan perjuangan NII KW IX dalam mewujudkan cita-cita gerakannya adalah sejarah perjuangan Rasulullah SAW selama di Mekah dan di Madinah. Dalam hal ini perjuangan nabi diarahkan kepada terbentuknya negara Madinah yakni sebuah negara yang berkonstitusi Al-Quran. Mereka berpendapat sebagai berikut. Dalam ajaran Islam hanya ada satu kedaulatan yakni kedaulatan Allah SWT, mengaku dan menaati pemerintahan di luar kedaulatan Allah adalah kufur, Madinah merupakan prototipe negara Islam atau disebut Lembaga Kerasulan (LK), sebuah negara yang berkonstitusi Al-Quran.

Tujuan perjuangannya adalah setiap muslim harus bermuara pada pendirian Negara Islam. Satu-satunya cara memperjuangkan berdirinya Negara Islam adalah melalui pola hijrah, bukan dengan bekerja sama (kooperatif) ikut terlibat dalam sistem demokrasi. Perjuangannya dimulai dengan gerakan al-Kahfi (rahasia) kemudian disusul dengan proklamasi secara terang-terangan berdirinya negara Madinah, sebuah negara yang dipenuhi perasaan kasih dan sayang atau rahmatan lil ‘Alamin. Pedoman mewujudkan kedaulatan Allah adalah Al-Quran yang turun berangsur-angsur selama 23 tahun. Ini menandakan pembangunan barisan jundullah (tentara Allah) harus bertahap dari pembinaan Iman, melakukan hijrahkemudian Jihadfi sabilillah. Negara Lembaga Kerasulan diwujudkan dalam dua periode, yakni periode Mekah dan periode Madinah. Pada periode Mekah Legislatifnya adalah Allah dan Rasulnya sedangkan eksekutifnya adalah kaum muslimin. Yudikatif (lembaga hukum) baru muncul di Madinah sebab ayat-ayat hukum baru diturunkan dan baru berlaku di Madinah. Peristiwa futuh Mekah membuktikan bahwa Rasulullah mampu mengkonsolidasikan kekuatan sipil – militer secara terpadu, serta membuktikan pula bahwa prototipe negara Madinah sanggup mengalahkan negara yang berdasarkan falsafah produk akal dan nafsu manusia.

Berdasarkan pemikiran itu, semua gerakan NII KW IX diarahkan untuk mendirikan Negara Islam, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Al-Quran dan menolak Pancasila. Strategi pendirian Negara Islam itu adalah berpola hijrah atau nonkooperatif sebagaimana dilaksanakan oleh nabi. Mengapa harus berpola hijrah? Karena Islam harus dengan tegas memisahkan antara hak dan batil. Menurut NII KW IX ada beberapa prinsip yang harus dipegang dalam mewujudkan Negara Islam yakni berikut ini.

Prinsip al-bathil – al-haq, yakni pemisahan secara tegas antara salah dan benar. Dalam hal ini pemimpin NII berusaha meyakinkan anggota NII KW IX dalam semua level tentang eksistensi negara Madinah sebagai satu-satunya kekuasaan yang benar. Dalam ilmu apa pun dan bidang apa pun, kebaikan yang tercampur dengan kesalahan adalah kesalahan (bathil). Menurut NII KW IX, NKRI adalah bathil, salat di NKRI bagaikan siulan dan tepuk tangan, main-main, dan sia-sia, sedangkan beribadah di NII adalah ibadah yang sebenarnya. Merekapun menyatakan bahwa materi-materi ajaran Islam yang disampaikan oleh orang-orang luar NII atau ulama di luar NII adalah telah terkontaminasi oleh kebatilan sehingga harus dijauhi karena dapat merusak keimanan yang sebenarnya. Dengan doktrin itu pula, segala macam pembinaan yang mereka lakukan, mencukupkan diri dengan materi pembinaan yang diambil dari silabus dan pendapat NII KW IX karena hanya itulah yang dianggap haq.

Prinsip Ittiba‘ (mengikuti) yakni mewujudkan jemaah/ anggota NII yang benar-benar patuh kepada pemimpin dengan sikap sami’na wa atha’na(kami dengar dan kami taati). Kalimat sami’ná wa atha’na ini terus-menerus diucapkan dalam acara apel siaga serta diucapkan dengan sikap sempurna manakala imam datang. Cara ini dinilai efektif untuk menjauhkan jemaah dari sikap suka memprotes atau menganalisis terlalu jauh ketetapan-ketetapan pimpinan. Apabila ada jemaah banyak protes terhadap kebijakan Imam NII, mereka dinilai telah melanggar prinsip Ittiba‘. Biasanya mereka dicopot dari jabatan mas’ul (pimpinan) atau yang bersangkutan memilih keluar dari NII.

Prinsip Makiyah-Madinah. Periode Makiyah adalah periode perjuangan untuk mengubah NKRI menjadi NII. Pada periode ini pengamalan ibadah ritual seperti salat lima waktu, shaum dan haji dianggap belum wajib. Dengan prinsip ini maka anggota NII KW IX yang semula rajin salat lima waktu dan tahajud menjadi malas menunaikannya. Namun dalam ibadah yang mendatangkan uang atau menjadi sumber finansial justru digalakkan seperti zakat fitrah, zakat harta, qurban, dll. Oleh karena sikap mendua inilah NII KW IX dinilai inkonsisten. Mereka berdalih bahwa masa kini dapat dianggap sebagai masa Hudaibiyah.

Prinsip Furqon (pembeda), yakni mewujudkan anggota yang fanatik. Dalam pandangan mereka, anggota NII adalah mukmin, sedangkan orang Islam di luar NII dinilai kafir karena berada di bawah NKRI. Prinsip Thau’an au karhan(sukarela maupun terpaksa). Dengan prinsip ini anggota NII KW IX harus benar-benar berjihad dalam melaksanakan tugas-tugas dan komitmen-komitmen. Apabila waktu kegiatan NII telah tiba, kuliah atau pekerjaan apa pun wajib ditinggalkannya.

Sifat gerakan NII KW IX menyatakan bahwa di dalam surat Al-Kahfi dikisahkan bahwa ada sekelompok pemuda yang taat kepada ajaran Allah namun berhadapan dengan kaisar yang bengis dan zalim. Cara yang ditempuh oleh Ashab al-Kahfiadalah melaksanakan ajaran Allah dengan diam-diam, rahasia, tertutup, bahkan sampai lari ke sebuah gua. Menurut NII KW IX peristiwa tersebut identik dengan keadaan muslim dewasa ini yakni sama-sama menghadapi penguasa yang zalim sehingga di dalam harakah NII berlaku aturan merahasiakan segala macam hal yang berkaitan dengan NII KW IX, misalnya merahasiakan materi pembinaan tilawah, tazkiyyah, qira’at. Tujuannya adalah agar harakah NII KW IX tidak tercium dan tidak dimusnahkan oleh “penguasa” yang bengis yang bisa berakibat fatal yakni harakah hancur di tengah jalan sebelum negara Islam Indonesia terwujud. Dengan demikian, sikap al-Kahfi adalah untuk alasan security.

Adanya prinsip-prinsip dan gerakan NII tersebut memunculkan berbagai macam pertanyaan dari berbagai elemen masyarakat yang dapat diakomodir dan dikerucutkan kepada dua pertanyaan: apakah gerakan NII muncul merupakan hasil ijtihad untuk mewujudkan Negara yang aman, baik dan adanya rahmat dari Tuhan ataukah gerakan NII lahir berasal dari adanya ketimpangan perlakuan dari segi etika dan moral serta perlakuan yang tidak adil dan mensejahtrakan rakyat dari penguasa (pemerintah).

Apabila dicermati secara seksama bahwa persoalanmendasar yang mengakibatkan munculnya geraakan-gerakan yang mengatasnamakan agama menurut hemat penulis dapat dilihat dari dua teori yakni pertama teori tentang perubahan perilaku dari John F. Longres dan pembentukan kelompok manusia (human groups) dari James W. Vander Zanden. Menurut Longres, perubahan perilaku manusia merupakan akibat dari banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal maupun eksternal. Berkaitan dengan faktor internal, perilaku manusia dipengaruhi antara lain oleh norma dan nilai yang dianut atau yang diyakini seseorang, sedangkan eksternal dipengaruhi oleh sosial budaya yang dapat diketahui bahwa prilaku yang bertentangan dengan masyarakat akan melahirkan disharmonisasi dalam pergaulan ataupun hubungan sosial. Bahkan menurut Zanden pembentukan kelompok manusia (human groups) pun, di antaranya dipengaruhi kesamaan norma dan nilai yang dianut yang sekaligus membedakannya dari karakteristik kelompok yang lainnya. Kedua, teori tentang dikotomi corak pemikiran tokoh Islam dari Harun Nasution yang memilah pemikir Islam menjadi dua kelompok besar yakni pemikir Islam tradisional vs pemikir Islam rasional, serta pemikir Islam modernis vs pemikir Islam fundamentalis. Pemikir Islam trasional adalah pemikir yang terikat dengan teks al-Quran dan hadits-hadits Ahad serta kurang menggunakan rasio dalam penetapan hukum, sedangkan pemikir Islam rasional adalah mereka yang tidak terlalu terikat dengan teks ayat Al-Quran, tidak terikat dengan hadits Ahad, dan tidak terikat dengan pendapat ulama terdahulu yang sedemikian banyak jumlahnya. Pemikir Islam modernis mempertimbangkan perkembangan sosial budaya, sedangkan pemikir Islam fundamentalis menghendaki segala sesuatu termasuk dalam soal bernegara ingin apa adanya seperti pada zaman nabi.

Negara Kesejahteraan

Negara kesejahteraan adalah sebuah model pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada Negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker, misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan adalah “…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.”.

Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis.

Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai

“penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of sosial rights) kepada warganya. Semua perlindungan sosial yang dibangun dandidukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga.

Dapat dikatakan, negara kesejahteraan merupakan jalan tengah dari ideologi kapitalisme dan sosialisme. Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi “penawar racun” kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism). Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitali.

Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam pelayanan sosial, negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi negara. Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga negara.

Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006), ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak Negara kesejahteraan” (father of welfare states).

Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Sosial Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge menyebut want, squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai ‘the five giant evils’ yang harus diperangi. Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave).

Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke Negara-negara lain di Eropa dan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut. Sayangnya, sistem ini memiliki kekurangan. Karena berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial gagal merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja dan memperoleh pendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan dasar secara minimal.

Dalam konteks kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut negara. Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat sistem negara kesejahteraan sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara masyarakat kapitalis. Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan ekspresi material dari hak-hak warga negara dalam merespon konsekuensi-konsekuensi kapitalisme.

Potret Kesejahteraan di Indonesia

Belum lama ini, Media Indonesia menyajikan hasil survei Litbang Media Group, terhadap 480 responden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telefon enam kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar). Responden ditanya bagaimana pendapatannya sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apakah dirasakan semakin berat atau ringan? Mayoritas responden (73%) merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin berat; sebanyak 21% responden merasakan sama saja; dan hanya 6% yang merasakan semakin ringan. Ketika ditanyakan apakah sekarang ini mendapatkan pekerjaan baru dirasakan semakin sulit atau semakin mudah, sebagian besar responden (89%) merasakan sekarang makin sulit mencari pekerjaan baru; sebanyak 5% responden merasakan sama saja; 4% merasakan makin mudah; dan 2% tidak tahu.

Hasil survei ini tidak berbeda dengan laporan mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk tahun 2007/2008 dari United Nations Development Programme (UNDP). Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. Tanpa perbaikan strategi pembangunan ekonomi dan sosial secara mendasar, peringkat IPM Indonesia tidak menutup kemungkinan segera disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar (132) di tahun-tahun mendatang.

Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan. Indikator pokok IPM menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan manusia Indonesia. Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat, indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan dan indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah. Bahkan, karena indikator IPM pada hakekatnya merujuk pada konsep basic human capabilities, dapat dikatakan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar saja ternyata masih ketar-ketir. Dengan kata lain, alih-alih hidup berkecukupan, masyarakat Indonesia masih belum bisa terbebas dari lilitan kemiskinan.

Hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat mencemaskan. Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta). Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari. Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk.

Meski terkadang tumpang tindih, potret kesejahteraan ini akan lebih buram lagi jika dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang oleh Departemen Sosial diberi label Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Di dalam kelompok ini berbaris jutaan gelandangan, pengemis, Wanita Tuna Susila, Orang Dengan Kecacatan, Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), Komunitas Adat Terpencil (KAT), Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus atau Children in Need of Special Protection (CNSP) (anak jalanan, buruh anak, anak yang dilacurkan, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang terlibat konflik bersenjata), jompo telantar dan seterusnya. Mereka seringkali bukan saja mengalami kesulitan secara ekonomi, melainkan pula mengalami sosial exlusion – pengucilan sosial akibat diskriminasi, stigma, dan eksploitasi.

Model dan Pengalaman Praksis

Seperti halnya pendekatan pembangunan lainnya, sistem negara kesejahteraan tidaklah homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model negara kesejahteraan yang hingga kini masih beroperasi:

1.Model Universal

Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, Negara kesejahteraan di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Negara kesejahteraan di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia.

2.Model Korporasi atau Work Merit Welfare States

Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas,

namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman.

3.Model Residual

Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada tiga elemen yang menandai model ini di Inggris: (a) jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum, (b) perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko, dan (c) pemberian pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.

4.Model Minimal

Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan model ini.

Negara Kesejahteraan Dalam Pandangan Islam

Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century, menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan hanya memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Keruntuhan atau kelemahan negara telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak azasi manusia selama tahun 1990-an di Somalia, Haiti, Kamboja, Bosnia, Kosovo, dan Timor Timur.

Selain memperlihatkan kejujuran ilmiah Fukuyama, buku State-Building sekaligus menjelaskan bahwa dia telah “insyaf” dari “kekeliruan” pemikiran sebelumnya. Dalam bukunya yang terdahulu, The End of History and The Last Men (1992), Fukuyama dengan yakin menyatakan bahwa sejarah peradaban manusia (seakan) telah berakhir. Pertarungan antara komunisme dan kapitalisme juga telah usai dengan kemenangan kapitalisme (neoliberalisme). Mengapa kapitalisme menang. Jawabanya adalah karena sistem ini dianggap paling cocok untuk manusia abad ini. Dan kita tahu semua, kapitalisme sangat menganjurkan peran negara yang sangat minimal dalam pembangunan ekonomi, apalagi pembangunan sosial.

Sekarang, dalam bukunya State-Building dengan lantang Fukuyama berkata bahwa “negara harus diperkuat!”. Kesejahteraan, kata Fukuyama, tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat; yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya.

Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam kontek kebijakan sosial. Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orang pun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Globalisasi dan kegagalan pasar sering dicatat sebagai faktor penyebab mencuatnya persaingan yang tidak sehat, monopoli dan oligopoli, kesenjangan ekonomi di tingkat global dan nasional, kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang, serta ketidakmampuan dan keengganan perusahaan swasta mencukupi kebutuhan publik, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Mishra (2000) dalam bukunya Globalization and Welfare State menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan social kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.

Benar, negara bukan lah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, Negara memiliki kewajiban (obligation) dalam memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect) dan menghargai (to respect) hak-hak dasar, ekonomi dan budaya warganya. Mandat Negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha. Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat “wajib”. Sedangkan, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat “tanggungjawab” (responsibility).

Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal. Melainkan, dua posisi yang bersinergi. Bahkan di Indonesia, komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah, seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas. Pada era desentralisasi sekarang ini, penguatan negara mencakup juga pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah Daerah (Pemda) diharapkan memiliki agenda kebijakan sosial yang sesuai dengan kondisi daerahnya. Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pemda tidak hanya dimaknakan sekadar peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) secara ekonomi, tanpa kepedulian terhadap penanganan “PAD” (Permasalahan Asli Daerah) secara sosial.

Pertarungan ideologi pada Abad ke-20 antara kapitalisme dan sosialisme berdampak pada miliaran umat manusia. Meskipun kapitalisme dianggap lebih unggul, sesungguhnya ideologi ini telah gagal memberi kesejahteraan bagi kemanusiaan. Di Barat dan bahkan di negara muslim sendiri telah melupakan bahwa ada satu sistem yang bisa menjadi alternatif, yaitu sistem negara kesejahteraan Islami (Islamic welfare state). Islam bukan hanya sekadar agama. Ia mencakup pandangan dan cara hidup secara total. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peradaban dan harkat martabat kemanusiaan yang memadukan antara aspek material dan spiritual, keduniawian dan keukhrowian. Pada puncaknya, Islam bertujuan menciptakan sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada di atas keuntungan segelintir atau sekelompok orang.

Sistem ekonomi Islam, misalnya, memiliki dua tujuan: memerangi kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Implisit dalam pengertian ini adalah adanya pengakuan bahwa umat Islam akan dapat beribadah kepada Allah secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik. Negara melakukan hal ini melalui berbagai mekanisme sukarela maupun wajib. Sebagai contoh, zakat merupakan salah satu alat pendistribusian kekayaan yang bermakna, karena mampu mentransfer uang dari orang kaya ke orang miskin. Selain itu, penghapusan riba mencegah eksploitasi ekonomi yang merugikan kelompok lemah.

Sebagaimana sejarah menyaksikan, Islam mengajarkan keseimbangan antara kebebasan ekonomi individu dengan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, kehadiran negara diperlukan untuk menjamin setiap warganya mampu memenuhi kebutuhan hidup standar. Sebagaimana dipesankan Nabi Muhammad SAW, ”Setiap penguasa yang bertanggungjawab mengatur urusan-urusan Muslim, tetapi tidak berjuang dengan keras dan amanah bagi kesejahteraan mereka, tidak akan masuk surge bersama mereka.”

Sedikitnya ada dua mekanisme dengan mana sistem negara kesejahteraan Islam beroperasi, yakni melalui pajak dan jaminan sosial.

1.Pajak

Pajak adalah sumber dana pembangunan. Pajak atau zakat dalam Islam memiliki kedudukan istimewa. Bukan saja diwajibkan, melainkan merupakan salah satu Rukun Islam. Pajak adalah instrumen penting negara kesejahteraan. Diwajibkannya zakat mencerminkan kebijakan (sosial) negara. Sebagai kebijakan negara, alokasi pajak harus mengacu pada hajat hidup orang banyak. Negara harus adil, tegas dan transparan dalam mengelola pajak. Peruntukan pajak sejatinya untuk rakyat banyak, terutama yang lemah dan mengalami kesulitan. Negara harus berpihak pada kelompok ini, bukan pada segelintir kelompok kuat. Kaum elit biasanya jumlahnya sedikit, namun kuat dan kaya. Negara tidak perlu berpihak kepada mereka, karena mereka mampu mengurus dirinya sendiri.

Istilah zakat memiliki kesamaan dengan sedekah yang oleh sebagian ulama didefinisikan sebagai ”pajak negara terhadap muslim”, karena mencakup ”kontribusi” yang harus dibayar oleh muslim kepada pemerintah terkait dengan usaha pertanian, peternakan, pertambangan, perdagangan, industri, tabungan, dan profesi. ”Ibnu Taimiyah tegaskan zakat sama dengan pajak. Inti negara adalah pajak. Tanpa pajak negara ambruk. Artinya inti masyarakat muslim adalah zakat. Tanpa zakat, tanpa sedekah kebijakan dari pemimpin, kemiskinan di Indonesia terbukti terus meningkat. Al-Qur’an (9: 60) menjelaskan prinsip pengaturan penditribusian pengeluaran ”pajak” dalam Islam: ”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allha maha mengetahui. Allah maha bijaksana”

Dilihat dari sumber dananya, sedekah dalam Islam terdiri dari infak, zakat dan wakaf. Sedekah wajib adalah zakat, sedekah sunah adalah infak. Sebagai sumber dana, sedekah juga dapat berupa wakaf. Berdasarkan pemanfaatannya, ada persamaan mendasar antara wakaf dan zakat. Sebagaimana zakat tidak dapat digunakan selain untuk kepentingan mustahik, peruntukan wakaf juga tidak boleh disimpangkan. Antara nadzir (pengelola wakaf) dengan amil (pengelola zakat) keduanya harus sama-sama jujur dan amanah. Nadzir wakaf harus patuh menjalankan pesan dari ijab Kabul diwakafkannya sesuatu, sebagaimana amil zakat yang harus patuh pada 8 mustahik yang telah ditegaskan.

2.Jaminan sosial

Sementara negara-negara Eropa belum memiliki asuransi pengangguran (unemployment insurance) hingga akhir Abad ke-19, Dunia Islam telah memilikinya sejak awal. Ketika seseorang terluka atau kehilangan kemampuannya untuk bekerja, mereka kemudian menjadi tanggungan negara untuk memastikan bahwa kebutuhan dasarnya terpenuhi. Dia dan keluarganya memperoleh tunjangan dari dana publik. Hanya resiko-resiko yang berat saja yang menjadi objek asuransi dan inipun berbeda sesuai dengan waktu dan kondisi sosial. Semasa Islam mulai masuk di masyarakat Arab, penyakit-penyakit keseharian belum dikenal dan biaya perawatan medis hampir tidak pernah menjadi persoalan. Kebanyakan keluarga membangun rumahnya tanpa bantuan orang lain dan tidak memerlukan biaya bahkan untuk sebagian besar bahan bangunan. Karenanya, mudah dimengerti mengapa saat itu belum ada kebutuhan akan asuransi kesehatan, kebakaran dst.

Sementara itu, asuransi untuk penawanan dan pembunuhan merupakan kebutuhan bahkan semenjak pemerintahan Rasulullah SAW. Berbagai skema jaminan sosial juga sudah mulai dibuat, meskipun masih bersifat fleksibel dan terbuka bagi perkembangan dan penyesuaian. Dalam konstitusi Kota Madinah pada tahun awal hijrah, asuransi seperti ini dinamakan ma’aqil yang beroperasi seperti ini: jika seseorang menjadi tawanan perang, tebusan diperlukan untuk memperoleh kebebasannya. Serupa dengan itu, semua bentuk penyiksaan badan atau pembunuhan harus ditebus dengan pembayaran kerusakan/ kerugian atau uang darah.

Nabi sendiri mengorganisasi asuransi ini berdasarkan prinsip saling tolong-menolong. Para anggota suku dapat menunjuk kepala bendahara dari sukunya sendiri dan setiap orang harus memberikan kontribusi sesuai kemampuannya. Jika bendahara dari suatu suku dianggap kurang cakap, suku-suku yang bersaudara atau berdekatan memiliki kewajiban memberi bantuan. Hirarki juga disusun untuk mengatur unit-unit sehingga berjalan secara sinergis.

Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, mutualitas dan unit-unit asuransi diatur berdasarkan profesi, administrasi sipil atau militer, serta wilayah. Pemerintah pusat atau provinsi memberi bantuan dan dukungan dana terhadap unit-unit tersebut berdasarkan peraturan anggaran belanja negara yang telah ditetapkan. Asuransi pada masa itu sudah mencerminkan prinsip gotong-royong dalam meringankan resiko-resiko yang dihadapi anggota masyarakat seperti prinsip asuransi modern saat ini. Tetapi, berbeda dengan perusahaan asuransi kapitalistik, asuransi Islam mengatur mekanismenya berdasarkan prinsip kebersamaa dan kerja sama yang saling menguntungkan yang ditopang oleh gradasi piramida unit-unit asuransi yang kemudian memuncak di pemerintahan pusat. Lembaga sosial berhasil membentuk skema asuransi pension. Asuransi ini mencakup semua penduduk termasuk non-muslim. Semenjak seorang bayi dilahirkan, dia sudah memiliki hak untuk memperoleh asuransi pensiun. Orang dewasa memperoleh tunjangan minimum yang cukup untuk hidup.

Selain asuransi, jaminan sosial juga dapat berbentuk bantuan sosial, terutama bagi mereka yang dikategorikan miskin dan cacat yang tidak potensial. Khalifah Umar melakukan ini dengan menentukan standar hidup minimum yang kelak menjadi rujukan dalam membuat garis kemiskinan (poverty line). Saat itu, selain menerima tunjangan uang, orang miskin menerima sekitar 50 kg terigu setiap bulannya. Untuk menghindari ketergantungan, mengemis dan bermalas-malasan tidak diberi toleransi. Mereka yang menerima bantuan sosial pemerintah diupayakan untuk dapat memberi kontribusi kepada masyarakat.

Kesimpulan

Timbulnya gerakan-gerakan fundamentalis yang mengatasnamakan Islam dan apapun bentuknya gerakan tersebut merupakan suatu akibat yang ditimbulkan dikarenakan fungsi Negara dalam melindungi warga Negara, memberikan kesejahtraan, terbentuknya rasa keadilan serta peka terhadap orang-orang yang kekurangan sangatlah tidak dijalankan. Penjajahan dalam menyengsarakan rakyat seperti korupsi, make up, meminggirkan golongan marjinal dan munculnya aliran individualism merupakan landasan ideologis untuk melakukan maker dan kudeta terhadap Negara.

Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 2. Lihat pula Chaidar, Serial Musuh-Musuh Darul al-Islam, Sepak terjang KW IX Abu Toto Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M Kartososewiryo (Jakarta: Madani Press, 2000), vii

Di dalam NII gerakan al-Kahfi ini menjadi sangat prinsip. Implementasi dari prinsip tersebut di lapangan antara lain, setiap anggota NII tidak perlu mengetahui siapa imam tertinggi NII. Walaupun demikian, mereka tetap harus menaati imam tersebut. Logikanya seperti makmum yang mengikuti imam salat berjamaah di mesjid besar. Bagi makmum yang berdiri di barisan belakang tetap wajib mengikuti imam walaupun ia tidak melihat imam apalagi mengenalnya. Antar anggota NII yang berbeda level tidak perlu saling mengenal. Hal ini untuk keamanan semata-mata sebab orang kafir sangat berkepentingan mengidentifikasi musuh-musuhnya. Kepada siapa pun termasuk kepada keluarga harus merahasiakan kegiatan NII, baik mengenai kegiatan tilawah, infaq, nama-nama guru, ajaran, bahkan alamat malja pun harus dirahasiakan.

Umar Abduh, Membongkar Gerakan Sesat NII Di Balik Pesantren Mewah Az-Zaytun (Jakarta: Lembaga Penelitian & Pengkajian Islam (LPPI), 2001), 151

John F Longres, Human Behavior in the Social Environment (tt:tp) 16

James W Vander Zenden, Social Psychology (New York: Rondom House, 1983), 357-358

Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1997), 8

Paul Spicker, Social Policy: Themes and Approaches (London: Prentice Hall, 1995), 82

Gosta Esping-Andersen,”After the Golden Age? Walfare State Dilemmas in a Global Economy” dalam Gosta Esping-Andersen (ed) Walfare States in Transition: National Adaptations in Global Economic, 1-30

Siswono Yudo Husodo, “Membangun Negara Kesejahtraan”, makalah disampaikan pada seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan Melalui Desentralisasi-Otonom di Indonesia Wisma MM Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta 2006

Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (Bandung: Alfabeta, 2006),17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun