Dian menjejakkan kakinya untuk pertama kali di kampus ternama, tempat yang selama ini hanya ada di mimpinya. Ia berdiri di depan gerbang megah itu, menatap tulisan besar dengan bangga, tetapi juga sedikit cemas. Ia berasal dari sebuah desa kecil yang jauh dari hingar-bingar kota. Masuk ke universitas bergengsi ini bukan hanya pencapaian pribadi, tetapi juga harapan besar keluarganya.
Hari itu adalah hari orientasi. Aula besar penuh dengan ratusan mahasiswa baru, wajah-wajah yang tampak bersemangat sekaligus canggung. Dian melangkah masuk, merasa dirinya hanya setitik kecil di lautan orang-orang berbakat. Ia mencari kursi kosong di barisan belakang, tetapi seseorang memanggilnya.
"Hey, duduk sini aja," seorang gadis dengan jilbab biru muda melambaikan tangan. Dian ragu sejenak, tetapi akhirnya mendekat.
"Namaku Maya," gadis itu memperkenalkan diri dengan senyuman ramah.
"Dian," jawabnya singkat sambil duduk.
Percakapan ringan mengalir di antara keduanya selama orientasi. Dian segera menyadari bahwa Maya adalah sosok yang mudah bergaul. Dia penuh semangat, banyak bicara, dan seolah tidak pernah kehabisan topik. Sebaliknya, Dian lebih banyak mendengarkan. Namun, Maya tidak keberatan.
Tugas pertama mereka sebagai mahasiswa baru datang tak lama setelah orientasi. Mereka diminta membuat video perkenalan kelompok. Dian dan Maya berada dalam satu kelompok bersama tiga orang lainnya. Saat yang lain bingung mulai dari mana, Dian dengan ragu mengusulkan ide.
"Kita bisa bikin konsep yang sederhana, tapi meaningful," katanya sambil menuliskan ide di buku kecilnya.
"Wah, kamu jago nulis ya?" Maya memperhatikan catatannya.
"Cuma hobi," jawab Dian sambil tersenyum kecil.
"Jangan cuma hobi. Kamu punya bakat. Aku yakin tulisanmu bisa menginspirasi banyak orang," kata Maya dengan penuh semangat.
Hari-hari di kampus berlalu dengan cepat. Dian mulai terbiasa dengan rutinitas kuliah, tugas, dan organisasi. Namun, ia tetap membawa rasa minder setiap kali berbicara tentang cita-citanya. Ia ingin menjadi penulis, tetapi keraguan selalu menghantui.
Suatu hari, dosen kelas menulis kreatif memberi tugas yang membuat Dian gelisah: setiap mahasiswa harus membaca tulisan mereka di depan kelas. Dian hampir ingin menyerah, tetapi Maya, seperti biasa, tidak membiarkannya mundur.
"Kamu harus percaya diri, Dian. Tulisannya bagus banget, masa nggak mau dibaca? Aku yang baca dulu deh kalau kamu malu," candanya.
Dian akhirnya menulis sebuah cerpen tentang seorang petani yang berjuang melawan kemiskinan untuk menghidupi keluarganya. Cerita itu sederhana, tetapi penuh emosi. Saat tiba gilirannya untuk membaca, tangannya gemetar.
Namun, saat ia mulai membaca, suasana kelas hening. Setiap kata yang keluar dari mulutnya berhasil menarik perhatian. Ketika ia selesai, tepuk tangan memenuhi ruangan.
"Karyamu jujur dan menyentuh. Lanjutkan menulis," kata dosen itu dengan senyum bangga.
Dian terus menulis, meskipun waktu semakin padat dengan tugas dan kegiatan organisasi. Setiap kali ia merasa lelah atau ragu, Maya selalu ada untuk memberinya dorongan.
"Kamu nggak pernah tahu seberapa besar dampak tulisanmu sebelum kamu membaginya dengan dunia," kata Maya suatu malam saat mereka bekerja di perpustakaan.
Kata-kata itu selalu terngiang di kepala Dian. Ia mulai memberanikan diri mengirimkan tulisannya ke berbagai lomba dan media. Beberapa karyanya dimuat di majalah kampus, bahkan memenangkan penghargaan di tingkat nasional.
Namun, perjuangan tidak selalu mulus. Ada saat-saat ketika Dian merasa lelah dan ingin menyerah. Ia pernah gagal masuk seleksi beasiswa menulis ke luar negeri. Kegagalan itu membuatnya merasa mimpinya terlalu tinggi.
"Kegagalan itu bukan akhir, Dian," kata Maya menenangkannya. "Itu cuma bukti kalau kamu sudah berani mencoba. Dan kamu pasti bisa mencoba lagi."
Empat tahun berlalu, Dian berdiri di podium wisuda dengan toga hitam dan senyum penuh kebanggaan. Ia terpilih menjadi salah satu wisudawan terbaik di jurusannya. Di tangan Dian, sebuah buku dengan namanya terpampang di sampul. Itu adalah kumpulan cerpen yang ia tulis selama empat tahun terakhir.
Setelah acara selesai, Maya mendekatinya dengan pelukan hangat.
"Aku nggak pernah meragukan kamu, Penulis Hebat!" katanya dengan tawa.
"Kamu sahabat terbaik. Kalau bukan karena kamu, aku mungkin nggak pernah berani mulai," balas Dian dengan tulus.
Momen itu adalah awal dari perjalanan baru bagi Dian. Ia tahu jalan ke depan tidak akan mudah, tetapi ia percaya bahwa dengan usaha dan dukungan orang-orang terkasih, tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk digapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H