Mohon tunggu...
Rudi Setiawan
Rudi Setiawan Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Hanya bila anda punya waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dunia yang Terlanjur Begini, Bagian II "Si Miskin Mensubsidi Si Kaya"

6 September 2019   10:47 Diperbarui: 6 September 2019   11:32 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Netizen sekalian, bertemu lagi dengan Saya Chaerudin Mahasiswa Perbankan Syariah STEI Sebi 

Kita lanjutkan cerita kemarin tentang dunia ini ya. Di akhir artikel saya menyebut tiga tokoh yang menjadi sebab utama dunia seperti yang sekarang kita alami. Tokoh-tokoh penemu atau pemikir yang membuat semuanya serba global. Memang banyak tokoh setelah mereka yang membawa perubahan, tapi ketiga tokoh ini adalah ibarat sebuah primitive dari mesin besar "globalisasi" yang terjadi sekarang. Ibarat operasi, mereka adalah operasi penjumlahan. 

Operasi penjumlahan adalah dasar dari matematika. Pengurangan adalah penjumlahan juga kan, kita belajar di SD, penjumlahan terhadap bilangan negatif. Perkalian adalah penjumlahan yang berulang. Penjumlahan adalan mesin dasar dari mesin besar yang bernama matematika. Tiga tokoh ini bisa dibilang begitu.

Pertama adalah Adam Smith. Orang menyebutnya Bapak Ekonomi dunia. Ya betul, sistem ekonomi sekarang ya seperti itu. Akal-akalan seperti dalam tulisan di bagian I. Semua dinilai dengan valuta. Bahkan kata ekonomi sendiri menjadi rancu. Paket ekonomis, artinya paket hemat, paket murah. 

Tapi pertumbuhan ekonomi salah satu indikatornya adalah meningkatnya konsumsi. Menurut saya, seharusnya Karl Marx adalah antithesis dari Adam Smith, sayang di Indonesia, Karl Marx lebih identik dengan anti-agama. 

Desain ekonomi yang berlaku sekarang, diakui bahkan oleh para ahli, memang akan selalu dalam sebuah kurun waktu mengalami krisis. Sudah terbukti, Indonesia beberapa kali mengalami krisis ini, bahkan Amerika dan Eropa Barat sekalipun. Jadi pertumbuhan ekonomi memang ada, tapi lalu inflasi juga ada. 

Jadi sama juga bohong kan, pendapatan meningkat, tapi biaya hidup naik. Terus buat apa ada angka-angka ini? Kenapa harus ada? Kenapa tidak tetap saja? Hayo kenapa... Yang jelas, sebagai akibatnya, pertumbuhan -semu- ini membuat yang miskin tambah miskin dan yang kaya semakin kaya. Karena pertumbuhan ekonomi -yang hanya angka itu- tidak merata, berkumpul di level atas saja. Sedangkan biaya hidup meningkat, bebannya dirasakan bersama. Hayo.

Lebih parah lagi adalah, biaya hidup orang miskin malah lebih tinggi dari orang kaya. Biaya hidup ya, bukan biaya senang-senang. Kenapa? Selain meningkatnya biaya hidup, ternyata ekonomi sekarang malah didesain bahwa orang miskin mensubsidi orang kaya. Dengan mudah bisa kita temukan beberapa contoh di masyarakat, tidak perlu pakar ekonomi kok untuk ini. Cukup seorang Bocah seperti saya. 

Contoh pertama. Sebut saja kenaikan BBM baru-baru ini. Apakah semua yang baca artikel ini tahu, supir taksi dengan metode setoran, juga menanggung biaya BBM mereka sendiri. Jadi kalau mereka "narik" dalam satu hari, harus dapat jumlah setoran dan uang bensin, kalau enggak ya nombok. Katakanlah setoran 250rb, lalu bensin rata-rata sebelum kenaikan BBM, misalnya 200rb sehari. Artinya kalau nilai argo mereka 450rb, maka mereka belum dapat apa-apa tuh. 

Nah, yang makin payah ketika kenaikan BBM kemarin, tarif taksi tidak langsung naik, tapi setoran tidak juga turun dan BBM tetap supir yang tanggung. Jadi, penarikan subsidi, beban supir taksi naik, karena dia harus beli bensin lebih mahal, yang biasa 200rb, katakanlah jadi 225rb. 

Sedangkan penumpang tetap dibebankan argo yang sama -- saat itu tidak langsung naik. Artinya apa? Supir mensubsidi penumpang. Yang kecil, mensubsidi yang lebih besar. Yang kurang mampu, mensubsidi yang lebih mampu. 1-0 (babak pertama).

Contoh kedua. Orang-orang yang kurang mampu, biasanya memiliki pendapatan harian, atau mingguan, atau kalau bulanan ya tetap saja kecil. Karena jumlah pendapatan mereka kecil, atau datangnya sedikit-sedikit, harian, maka mereka tidak bisa beli barang kebutuhan dalam kuantitas yang besar atau borongan. Pulsa beli yang 5rb, shampo beli ketengan, rokok beli ketengan. Kita tahu beli borongan atau dalam kuantitas yang besar harga lebih murah dari pada "ngeteng". 

Contoh saja pulsa 5rb, harga di pengecer bisa 7rb, tapi pulsa 100rb malah di bawah harga, bisa 98rb atau lebih murah lagi. Kalau terus-menerus beli pulsa 5rb, maka uang 98rb akan hanya dapat pulsa sebesar (98rb/7rb) x 5rb = 14 x 5rb = 70rb. Artinya dengan jumlah uang yang sama, orang yang kurang mampu hanya mendapat manfaat 70rb sedangkan yang mampu mendapat manfaat 100rb. Jadi artinya? Yang kurang mampu, mensubsidi yang lebih mampu. 2-0 (final result).

Yah, mau gimana, pertumbuhan ekonomi diagung-agungkan sih. Sosialisme dianggap jahat, ya memang kita kan sekutu Amerika. Sosialisasi selalu diidentikkan dengan Genosida dan radikalisme. Padahal itu kan ciri fasis, lalu fasis diterjemahkan menjadi komunis. Padahal negara seperti Cuba tidak ada -- kalau boleh dibilang tradisi -- genosida. Stalin itu ya fasis, kebetulan saja memimpin Soviet. 

Soviet runtuh, adalah runtuhnya fasis, jadi tulisan Fukuyama tentang The of history, pasca runtuhnya Soviet ya salah. Buktinya gerakan-gerakan anti perdagangan bebas juga kian marak, bahkan di negara-negara Eropa Barat. Hehe, mulai berasa juga tuh dampak globalisasi bahkan di negara seperti Swedia.

Sudah dulu ya Netizen sekalian. Nanti dua orang lagi yang kita minta pertanggungjawaban, James Watt dan Rockefeller. Kita saksikan di edisi berikutnya minggu depan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun