Kemana arah pendidikan Indonesia berjalan? Beda argumentasi itu sah-sah saja. Yang tak boleh terjadi, visi pendidikan nasional ’lupa’ dirumuskan. Kita boleh berseberangan pandangan, tapi visi pendidikan bangsa musti sama.
Maka, benturan pemikiran dan perbedaan pandangan mestinya menyatukan derap langkah kita dalam mewujudkan cita-cita bersama. Asal jangan mewakili rasa egois pribadi dan kepentingan kelompok dalam bingkai praktik politik kekuasaan. Karena jika semua hal itu bertahta, visi pendidikan nasional pasti bakal tergadai. Kesemerawutan di tataran implementasi pendidikan bakal terjadi pula akibat rusaknya tata kelola pendidikan oleh para penguasa.
Apakah pendidikan kita berada di jalur yang benar? Saya tak mau tergesa-gesa menetapkan keputusan untuk memberikan jawaban. Saya lebih tertarik untuk menelaah terlebih dulu data Third in International Mathematics Science and Study (TIMSS) dari tahun 1999 sampai 2011.
TIMSS adalah studi internasional untuk melihat prestasi matematika dan sains siswa sekolah lanjutan tingkat pertama yang dilakukan empat tahun sekali sejak tahun 1995. Hasil dari kajian internasional ini bisa merefleksikan dan memberikan pemahaman mendalam tentang praktik dan dampak penerapan kebijakan pendidikan yang berbeda di setiap negara yang turut berpartisipasi.
Menurut hasil TIMSS 2011, peringkat anak-anak Indonesia bertengger di posisi 38 dari 42 negara untuk prestasi matematika, dan menduduki posisi 40 dari 42 negara untuk prestasi sains. Rata-rata skor prestasi matematika dan sains berturut-turut adalah 386 dan 406, masih berada signifikan di bawah skor rata-rata internasional.
Lantas, apa yang terjadi dengan data prestasi matematika dan sains siswa Indonesia di tahun 1999, 2003, dan 2007? Apakah sempat ada keajaiban, tiba-tiba prestasi siswa Indonesia mampu menerobos ranking 10 terbaik?
Saya tergagap menyimak data TIMSS tahun 1999, 2003, dan 2007. Apa yang menarik dari data tersebut? Pada tahun 1999, 2003 dan 2007, posisi prestasi matematika siswa Indonesia secara berturut-turut bertengger di posisi 34 dari 38 negara (skor 403), 35 dari 46 negara (skor 411), 36 dari 49 negara (skor 397).
Sedangkan untuk prestasi sains siswa Indonesia bercokol di posisi 32 dari 38 negara (skor 435), 37 dari 46 negara (skor 420), dan 35 dari 49 negara (skor 427). Selama hampir lebih dari satu dekade, mengapa prestasi matematika dan sains siswa Indonesia tak pernah beranjak naik dan berubah jadi lebih baik? Pemerintah harus mau belajar, dimana titik lemah persoalan pendidikan kita? Darimana kita mulai berbenah?
Refleksi Hasil TIMSS 2003, Ada Apa dengan Indonesia?
Yang menarik, kita tak pernah yakin apakah pemerintah menggunakan hasil riset dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Misal, soal ujian nasional dan kurikulum 2013 yang paling kentara jadi bahan perbincangan publik.
Atas dasar apa ujian nasional dipertahankan? Menurut teori dan temuan penelitian yang mana, kurikulum 2013 kelewat pede diimplementasikan mulai tahun 2014? Cukup yakinkah dua kebijakan kontroversial ini meningkatkan kualitas siswa di level nasional bahkan berimbas pada pemeringkatan dalam studi internasional seperti TIMSS, PIRLS, dan PISA?
Tanpa riset yang objektif, sulit untuk mengatakan tak ada ’kepentingan’ pihak tertentu di balik lahirnya setiap kebijakan pendidikan. Pasti selalu ada apa-apanya di balik kebijakan tersebut.