Satu ujaran kebencian dibalas dengan kebencian lain, kata-kata kotor dengan kata-kata yang jauh lebih kotor dan seterusnya. Seolah tidak pernah ada ruang di masing-masing pihak untuk sejenak berfikir atau merenungkan kenapa mereka menyebut saya tolol, misalnya, atau mengapa mereka begitu marah dalam meresponse status kita?Â
Kebanyakan dari kita adalah reaktif, berupaya menyerang balik dengan intensitas yang lebih, pastinya. Lebih menyakitkan, merendahkan dan menghinakan. Sepertinya, kegembiraan, kebahagiaan dan kepuasan ketika kita berhasil melakukan serangan balik.
Dalam kasus dukung-mendukung pilpres, sepertinya, tidak ada lagi strata pendidikan menjadi pembeda, begitupun dengan status sosial atau posisi jabatan. Semuanya mendahulukan sisi ke-aku-annya. Mengapa ini bisa terjadi? kemana empati, saya yakin bahwa sebelumnya mereka mempunyainya bahkan dominan dalam pribadinya, larinya?
Apa benar masih disebut empati ketika kesantunan, kasih sayang dan sejenisnya berlaku hanya untuk mereka yang sefaham?
Saya, bisa jadi salah satu yang kehilangan empati dengan membahas masalah ini. Namun, saya perlu tegaskan, melalui tulisan  saya hanya ingin menyampaikan satu hal bahwa pembelajaran yang sudah kita lakukan begitu lama, sejak kita lahir bahkan ketika kita masih dalam rahim ibu, yaitu "listening lesson", akar dari empati, tidaklah menjamin kita menjadi seorang yang (tetap) empatik.
Benarlah quote komunikasi di atas... bahwa begawan komunikasi bukanlah orang yang jago atau pinter ngomong namun komunikator yang hebat adalah merekalah yang piawai dan tetap piawai dalam hal bersikap empatik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H