Senja sempurna di sudut barat. Secangkir kopi dan sebatang rokok berbicara tentang hari yang akan segera berganti. Pria itu. Ia membenarkan letak kacamata yang sedikit melorot dari posisinya. Nafasnya teratur dengan pelan. Menandakan ketenangan batinnya menikmati kesempurnaan senja. Lagi. Ia menghisap tembakau dalam racikan rokok berfilter itu. Sesekali ia menyeruput secangkir kopi yang masih saja berbicara tentang hari itu.
Matanya terpejam. Ia lama masuk dalam imaginernya. Menembus awan-awan kelabu yang tak pernah berarak meninggalkan jejak-jejak rintiknya. Jiwanya kuyup. Kuyup karena kisahnya. Jiwanya dingin. Dingin karena perjalanannya. Seluruh isi jiwanya mengkristal tanpa ada rasa ragu.
Kali ini ia membuka matanya. Kembali menikmati sempurna senja dalam frame. Ada warna-warna pelangi dalam frame itu. Yah. Hanya sekedar bias senja dalam frame. Bukan pelangi sugguhan. Tubuhnya melemah. Masih menikmati senja dalam frame yang perlahan kesempurnaanya memudar. Yah. Seperti itulah hidup. Kala mereka berusaha berdiri dan tertatih, lalu mereka mendapatkan kesempurnaan yang mereka impikan. Tidak. Tidak semua dari mereka yang mendapatkan kesempurnaan itu. Hanya mereka yang kuat lah yang akan mendapatkannya. Yah. Hanya mereka yang kuat. Dan setelah mereka mendapatkan kesempurnaan itu, mereka kembali tenggelam. Hanya ada sisa-sisa kesempurnaan mereka yang akan tersisa. Bukan. Bukan sempurna. Karena yang pria itu tau, sempurna itu hanya milik Tuhannya. Manusia hanya bisa mendapatkan masa gemilangnya
Ia kembali tersenyum dengan senja dalam frame itu. Dalam renungan menjelang malamnya, ia kembali tersenyum. Terlebih, saat potret Annisa kembali berkata. Yah. Annisa. Bukan penggalan kalimat dalam ayat-ayat indah dari Tuhan. Bukan. Bukan juga nyanyian sendu yang membuat dirinya terhanyut dalam alunan melodi. Bukan. Dia juga bukan nama bidadari dalam cerita-cerita kuno yang hanya ada di surga.
Yang pria itu tau.... Annisa. Dia hanyalah hasil dari setetes air hina yang masuk kedalam rahim seorang wanita lalu melebur bersama sel telur disana. Entahlah. Pria itu tak tau persis tentang proses terjadinya Annisa. Yang dia tau, Annisa sama seperti dirinya, dirimu, diriku, dan mereka. Hanya hasil dari air paling hina.
Ia masih tersenyum. Sedangkan senja mulai melemah dan gelap menyempurnakan malam. Ia masih dengan secangkir kopinya. Diambilnya lagi sebatang filter. Disulutnya api. Rokok berfilter itu terbakar. Aroma tembakaunya menelusup ke rongga hidung. Dihisapnya rokok berfilter itu. Asap memenuhi seluruh rongga mulutnya. Lalu masuk ke tenggorokan dan hinggap sejenak di paru-paru. Lalu asap itu pergi meninggalkan jejak-jejak lusuh kumuh.
Ia pandangi lagi potret Annisa. Senyuman wanita itu, membuat pria dengan sebatang filter itu merasa damai menyelinap dalam jiwanya. Yah. Meskipun hanya sebuah potret.
Masih lekat dibenaknya. Awal pertemuan pria itu dengan Annisa. Dalam sebuah ruang asa mereka bertemu. Tidak. Mereka tak lekas bercinta dalam ruang asa itu. Hanya lirikan-lirikan kecil yang mengikat.
Ia kembali tersenyum. Tentang Annisa. Tentang dirinya. Tentang Mereka. Saat angin berhembus mesra membelai jiwa-jiwa mereka dalam sebuah temu dihari itu. Saat pria itu berkata ia akan pergi. Pria itu memandang wajah Annisa. Diam. Tak bergeming. Wajahnya layu ketika mengetahui pria itu akan pergi.
"biarkan aku memeluk tubuh mu. Biarkan pelukan ini menjadi obat rindu yang mendalam selama kepergian mu"
Pria itu tersenyum. Ia masih memandangi wajah Annisa yang layu bagaikan melati yang menanti setetes embun membasahi kolopak-kelopaknya.
"aku tak akan lama"
"apakah kau mau berjanji kepada ku?"
"tentu". Pria itu menarik nafas dalam-dalam. "Jika Tuhan masih mengizinkan ku. Kita akan bertemu lagi disini"
"baiklah. Aku percaya kepada mu"
Pria itu kembali dengan adanya. Filter dengan asap yang mengepul itu masih tersisa beberapa inci. Ia hisab kembali hingga berkurang beberapa inci. Ia hembuskan asapnya. Ia mengingat kembali tentang Annisa. Ia mengingat tentang mentari yang turun hingga sinarnya berubah kuning ke-emasan. Senja. Yah, Senja. Sama seperti sempurna senja yang baru saja berlalu.
Dulu, ia juga pernah menikmati senja dalam rangkaian cerita. Dengan gagah mereka berujar tentang kata cinta. Annisa selalu tersenyum setiap kali kata cinta itu terbang menghampirinya. Matanya berbinar memancarkan cinta yang tak kalah dahsyat dari cinta pria itu kepada Annisa.
Masih lekat juga dalam benaknya. Ketika jemari pria itu mengisi setiap ruang-ruang pemisah jemari Annisa. Saat tangannya menggenggam erat tangan Annisa seolah genggaman itu berkata. "jangan pernah letih mencintai diri ini". Lalu Annisa menggenggam erat pula jemari pria itu. Seolah genggamannya pun ingin berujar tentang hal yang sama.
Kini. Pria itu tersenyum memandangi potret itu. Yah. Potret Annisa dan dirinya. Potret dimasa mereka dalam gemilangnya cinta. Saat ini, pria itu duduk sembari menikmati gelap yang menyempurnakan malam bersama wanita disisinya. Bukan. Wanita itu bukan wanita berbeda. Yah. Dialah Annisa. Mereka masih bersama menikmati sempurna senja yang tenggelam dan menjelma menjadi gelap yang menyempurnakan malam.
Masih seperti dahulu. Jemari mereka masih menggenggam erat satu sama lain. Jemari mereka masih berujar tentang hal yang sama.
"apakah aku boleh bertanya kepada mu?"
"tentu"
"saat ini, apakah cinta mu masih seperti dulu?"
Pria itu kembali tersenyum. Ia sudahi filternya. Ia buang sisa yang hanya beberapa inci itu jauh. Jauh sekali hingga tak terlihat oleh mata. Pria itu meletakkan potret mereka. Pandangannya tertuju pada wanita disampingnya. Yah. Annisa.
"apakah genggaman tangan ku berkata berbeda dari apa yang genggaman tangan ku katakan dahulu?"
Diam. Annisa kembali diam. Kali ini wajahnya tak layu seperti melati yang menanti embun yang membasahi kelopak-kelopaknya. Ia menggeleng pelan sembari tersenyum.
"kau tau?"
"tentang?"
"tentang..... tulang rusuk"
"kenapa dengan tulang rusuk mu?"
"bukan. Bukan tulang rusuk dalam tubuh ku"
"lalu? aku?"
"yah kau. Tentang dirimu. Tulang rusuk dalam jiwaku"
"ada apa dengan ku?"
"kau tau? dada ini akan terasa longgar tanpa tulang rusuk. Semuanya akan hampa. Namun, dada juga akan terasa terhimpit jika tulang rusuk tak mampu menahan desah nafas. Itulah tulang rusuk. Itulah dirimu"
Pria itu diam sejenak. Memandang gelap. Ia tersenyum kecil. Kembali ia pandangi wajah Annisa. Masih terlihat menunggu. Raut wajah Annisa masih terlihat menunggu. Bukan. Bukan menunggu kedatangan pria itu lagi. Ia menunggu apa yang akan diucapkan pria itu selanjutnya.
"kau juga pasti tau. Saat pertama kali manusia diciptakan. Adam. Ia kesepian. Lalu Tuhan mengambil tulang rusuk saat ia Adam tertidur dan menjadikan hawa sebagai pendampingnya. Dan dulu. Aku selalu mencari-cari tulang rusuk ku. Aku mencoba semua tulang rusuk pria-pria itu. Tak ada yang mampu menopang desah nafas ku. Dan tulang rusuk ku itu... kamu. Hanya diri mu yang mampu"
Mereka kembali diam. Genggaman tangan mereka semakin erat. Mereka memandangi gelap dalam malam.
"berjanjilah wahai Annisa ku. Kau akan selalu mendampingi tubuh ini menikmati gelap dalam malam. Mengingat sempurna senja ketika siang mulai bangkit dari letih. Dan tetap duduk disini menunggu hari bersama ku"
"tentu...."
Jawab Annisa dengan nada sayu. Senyumnya masih terukir indah. Matanya masih berbinar memancarkan cahaya cintanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H