Bertahun-tahun sudah ku coba mengubur dalam-dalam kisah ini. Kisah dari sudut kelam kehidupan masa itu. Saat mentari tak mampu bergeming, saat tubuh mengejang kaku karena nafsu, saat angin menampar tubuh ini jatuh kedalam pelukan mu. Saat waktu mengoyak jiwa dan iman mu. Heeeemmhh, aku tak mampu berucap tentang ini. Saat ini yang ada hanyalah penyesalan tentang bara cinta yang membawa mu ke dalam jurang kenistaan itu.
Aku tak tau harus bahagia karena telah mengoyak-ngoyak kehormatan mu malam itu, atau sekedar bahagia karena aku telah membalas dendam ku kepada kaum mu melalui tubuh indah mu. Atau mungkin aku harus bersedih karena telah membawa mu kedalam nista.
Mungkin masih lekat dalam ingatan mu tentang tetes peluh yang mengucur tak beraturan dalam dekap pipi mu. Yah, masih lekat sekali. Saat nafsu menjelma bak malaikat dari surga, lalu kau terhanyut dalam pelukan ku. Hingga dengan mudah kau berikan mutiara itu untuk ku hancurkan menjadi keping-keping kenikmatan.
Waktu itu...
Hujan turun membasahi tubuh kita. Angin menyapu seluruh gundah, sedih, ragu yang ada dalam diri mu. Kita sampai pada sebuah ruang kenistaan itu. Tubuh mu begetar hebat. Nafas mu sesekali tersendat. Pakaian yang kau kenakan pun tak mampu menutupi aurat yang seharusnya kau jaga. Kau kembali menggigil lalu beranjak meninggalkan ku dalam terpaan hujan sore itu.
"sudah" kata mu. Kau memaksa ku masuk dalam ruang nista dan jahanam itu.
Tubuh ku masih kuyup karena hujan tadi. Kau lalu mendekati ku dan memberikan beberapa potong pakaian mu, yang sungguh aku membencinya.
"ganti pakaian mu dengan ini!"
"ini?"
"yah, kenapa?"
"aku tak suka!"
Kau lalu memandang ku dengan kebencian hingga memaksa ku menerima semuanya.
"sekarang minumlah. Ini dapat menghangatkan tubuh mu"
"terimakasih"
Aku meneguknya perlahan. Sedangkan kau, sebelum kau meneguk kopi hangat itu, terlebih dahulu kau meniupinya.
Hujan sore itu semakin menjadi. Bahkan secangkir kopi pun nampaknya tak mampu menghangatkan tubuh mu. Aku memandangi mu. Dari setiap sudut tubuh indah mu. Mungkin kita memang belum resmi. Namun kau dan aku, memiliki satu perasaan: saling memiliki. Mungkin itu yang membuat mu tak pernah ragu membawa ku kedalam ruang nista ini.
Aku masih memandang mu dengan tajam. Setajam mata elang dalam terbangnya. Sedangkan kau, kau adalah itik kecil yang tak mengerti tentang dunia. Bahkan saat kau terancam pun, kau tak mampu berlari atau mungkin lebih tepat lagi jika kau tak mau berlari. Kau juga menginginkannya.
Pandangan kita bertemu dalam satu titik nista. Yang sungguh adzab Allah telah menunggu bersama bara cinta dalam dada mu dan dada ku. Syaitan menjelma bak malaikat. Nafsu berubah menjadi kenikmatan. Tubuh mu milik ku! Aku bahkan kembali tak mengerti. Haruskah aku bersedih? atau haruskah aku tertawa?.
Ah, masa bodoh dengan kehormatan mu. Bara cinta ini benar-benar telah membutakan mata hati kita. Menutup telinga kita. Mematikan segala indra dalam diri kita. Yang seharusnya mampu membisikkan kepada kita tentang adzab Allah yang sangat pedih.
Dalam ruang nista itu, ku dengar kau menangis lirih. Kau bahkan bersembunyi dalam sudut yang aku tak tau. Tubuh mu menggigil disana. Harapan mu hancur berkeping. Aku mencari mu saat itu. Hingga ku temukan kau meringkuk dalam sudut kumuh. Aku lalu memeluk mu. Menanamkan tongga-tongga penguat untuk hati mu.
"aaakk...aakku tak suci lagi...."
Kau menangis lirih dalam pelukan ku. Jemari ku membelai tubuh mu. Kau semakin menggigil. Kau terus menangis lirih dalam pelukan itu.
"maafkan aku!"
Tangis mu semakin menjadi. Kau memeluk ku semakin erat kau bisa. Saat itu, kita memang benar-benar terhanyut dalam bara cinta kita. Bara cinta yang ku harap tak akan terulang lagi. Bara cinta yang membawa mu masuk kedalam kenistaan bersama ku.
Sungguh semua itu sangat ku sesalkan. Seharusnya kau mampu berdiri tegak tanpa harus kau perduli kepada ku yang memang telah hidup dalam dunia hitam. Kau itu wanita terhormat. Anak tokoh agama. Hidup dalam dunia bersih dan suci. Tapi kenapa kau mau masuk bersama ku dalam dunia nista dan kejam itu? kenapa?. Apa cinta telah membuat mu buta akan semuanya. Hingga demi aku kau rela melakukannya?.
Aku tau jawabannya. Karena kau itik kecil yang tak mampu menolak takdir. Sedangkan aku elang jantan yang menciptakan takdir. Yang terbang dengan gagah. Dengan tatapan tajam mencekik tatapan mu. Membawa mu ke dalam dekapan ku. Karena kau pun mahluk ciptaanNya. Kau pun diberi nafsu olehNya. Kau pun memiliki hasrat ingin tau.
Dan sekarang. Semuanya sungguh sangat ku sesali tentang semua itu. Seharusnya aku tak melakukannya kepada mu. Seharusnya kau mampu menjaga kehormatan yang kau miliki. Hingga 'Hallal' kau menjadi milik ku. Tapi sudah lah. Jaga baik-baik kehormatan itu. Jangan biarkan elang seperti ku mencekik diri mu kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H