Mohon tunggu...
Sudibyo P Wiyono
Sudibyo P Wiyono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I have a dream, I always believe and I try to make it happened.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kursi Taman

27 September 2012   19:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:34 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kursi taman itu, ia masih setia di sudutnya. Bukan. Itu bukan sudut. Itu hanyalah sisi dari taman. Ia tepat berada di titik tengah sisi itu. Terpaku sendiri dan jauh dari rindang pohon dan hiruk pikuk gemerlap perkotaan. Dikala malam ia terlalu sering terpaku menatapi langit dalam kesendian tak berteman. Bukan. Bukan terlalu sering. Hanya beberapa waktu saja ketika semangkuk langit terlihat meratapi kesedihannya atau sang pria yang letih mamandangi embun dalam setangkai kelopak melati. Terlebih saat sang melati pergi lalu mati meninggalkannya sendiri.
Embun itu tercipta dari butiran-butiran dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Entah apa yang membuat mereka dapat bercumbu lalu membentuk satu molekul baru. Embun dalam setangkai melati itu, ia menghilang. Bukan. Bukan sang embun yang menghilang. Hanya saja sang embun tak tau kepada siapa ia akan bercumbu.
Malam itu, angin bertiup dari sudut ke sudut dalam dinginnya malam yang kusut. Seorang wanita yang entah siapa dia duduk di sudut kiri kursi taman itu. Parasnya cantik jelita. Rambutnya sebahu lebih. Ia terlihat cantik sekali. Bahkan dalam gelap tak beratap ia akan selalu terlihat cantik.
Wanita itu, dia masih duduk dalam sudut kiri kursi taman. Matanya memandangi semangkuk sajian dari langit. Tak ada bintang, apalagi bulan yang memberikan remang cahayanya untuk sisi taman itu. Hanya gelap pekat tak beratap. Dingin angin yang menjadi selimut tubuh dalam malam itu.
Pada malam yang sama, sang pria rindu akan dingin angin yang menjadi selimutnya dalam mala itu. Ia merindukan kursi taman dalam remang. Bahkan ia sangat merindukan embun dalam kelopak melati. Saat semeebak wangi nya menyapu malam, saat indah parasnya membutakan siang. Ia berjalan. Terus berjalan. Berjalan dalam gelap tak beratap. Tubuhnya masih kaku dan beku karena sang melati mati meninggalkan pilu. Ia masih berjalan. Lalu duduk di sudut kanan kursi taman.
Pria itu melihat wanita itu. Ia seperti melati yang mati. Lebih indah dari itu bahkan.Pandangannya berubah. Bertumpu pada langit kusut tak bersudut. Hanya kusut. Tak ada yang lain. Pria itu, ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Angin kembali bertiup dari sudut ke sudut. Membelai malam dalam gelapnya taman.
"kau sering duduk disini?"
Wanita itu tak menghiraukan apa yang pria itu ucapkan. Ia masih duduk menikmati langit kusut. Pria itu, ia tersenyum dan masih dengan pandangannya tentang langit yang kusut.
"kau cantik. seperti melati yang menebarkan semerbak wanginya dalam malam di kursi taman ini beberapa waktu lalu"
"melati?"
"yah melati".
Jawab pria itu singkat. Wanita itu memandang pria dalam sudut kursi taman itu. Matanya sayu. Entahlah. Mungkin ia terlalu lelah dengan malam.
"kau tau?, dulu.... dan sangat dulu sekali. sekuntum melati pernah ada disini. Terlalu sering. hampir setiap hela nafas dalam malam, ia bersama ku"
"lalu, kemana ia sekarang? aku tak melihatnya"
Pria itu, ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Lagi, dalam gelap pekat tak beratap. Dalam dingin dan tubuh yang kaku karena pilu.
"ia mati. meninggalkan luka yang menyayat hati"
"maaf"
"sudahlah. tak apa"

Malam berganti. Langit tak bersudut tak lagi kusut. Angin yang bertiup dari sudut ke sudut pun tak lagi menjadi selimut. Pria itu datang lebih awal. Jauh sebelum wanita itu kembali duduk di sudut kiri kursi taman. Ia memandang di sekelilingnya. Tak ada siapapun disana kecuali dirinya, kursi taman, dan beberapa benda yang lain. Ia masuk dalam malam yang melebur bersama bayangan wanita itu dalam benaknya. Bayang wanita itu, ia masuk kedalam imaginer pria di sudut kanan kursi taman.

"sudah lama menunggu?"
Tanya wanita itu memecah khayalan pria nya dalam malam. Pria itu. Ia tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya. Sepasang kekasih?. Bukan!. Mereka baru saja bertemu kemarin malam ditempat yang sama.Mereka hanya sekuntum melati dan trembesi.
"kau benar-benar seperti melati yang pernah ada disini".
"kenapa?"
Pria itu, ia memejamkan matanya sejenak. Bercumbu bersama malam tanpa remang.
"karena kau cantik. bahakan kecantikan mu dapat membutakan siang. karena wangi semerbak mu. Semerbak mu masih seperti kemarin. mampu membius malam".
Wanita itu, hatinya menari-nari dalam pekatnya malam. Hatinya bernyanyi tanpa iringan melodi. Tanpa petikan accoustic, tanpa denting piano dan bahkan tanpa iringan orkestra. Hatinya benar-benar menari. Bahkan ia terbang tinggi. Lebih tinggi dari langit ketujuh. Bahkan seolah ia manapakkan jejak kakinya di surga.
"ku rasa, aku menyukaimu!"
Seru pria itu memecah malam. Membuat wanita itu terbang semakin tinggi dan sangat tinggi. Meluncur bersama khayalan yang tiba-tiba tercipta di sudut kursi taman itu.
Malam itu, mugkin akan menjadi malam terindah bagi dua insan itu. Gelap malam dalam dingin yang tak lagi membuat pria itu terselimuti karenanya. Yah. Tak lagi. Karena mungkin melati itu akan menggantikan malam menyelimuti dirinya. Menyelimuti disetiap derap langkahnya. Menyelimuti harinya. Meyatu barsama khayal pria itu.

Malam ketiga semenjak pertemuan melati dan trembesi. Mereka duduk di sudut yang tak berjauhan. Yah. hanya sudut kiri dan kanan kursi taman. Kembali bercumbu bersama malam tanpa remang. kali ini, malam terlihat sangat kusut. Jauh lebih kusut dari malam pertama pertemuan mereka.
Hanya diam. Beratus detik tak bergeming. Semuanya diam. Sunyi. Tak ada angin yang menyelimuti pria itu. Mungkin sang angin takut. Mungkin sang angin kecewa. Dan mungkin ini yang akan melati rasakan. Mungkin pula malam ini ia akan kecewa karena pria itu. Pria trembesi yang kaku dan beku. Tidak. Ia tak lagi beku. Tak lagi beku karena kepergian melati pertama yang meninggalkan pilu. Melati kedua jauh lebih indah dari melati pertama.
"maafkan aku"
Wanita itu mengerut. Tak mengerti. Tak paham. Tak terucap sepatah kata pun dari bibirnya. Apalagi jika harus sebait puisi indah. Ia hanya diam. Pria itu mengerti. Jauh lebih mengerti dari wanita itu mengerti pria itu. Ia mengerti wanita itu tak mengerti.
"hari ini, sekuntum mawar datang kepada ku. membawa segepok cinta. Yah, dia membawa cinta. sangat melimpah lagi mewah"
Wanita itu tertegun. Ingin menangis. Tapi ia malu. Ia tak menduga. Malam yang sunyi itu, berubah menjadi gaduh. Hati wanita itu bergejolak. Ia bertarung. Sengit. Sangat sengit. Ia melawan perasaannya. Sekuat ia bisa. Namun kata-kata pria itu. Bagaikan badik yang menyayat seluruh kulit lalu masuk menghunus jantung dan hatinya. Semuanya robek. Tercacah hingga menjadi potongan-potongan kecil danging gelonggongan. Ia hancur. Sangat hancur.
"ketahuilah wahai melati. rasa ini terlalu besar untuk mu. Aku tak mencintainya melebihi aku mencintaimu. Sangat jauh. Ia terlalu berduri untuk ku. Bahkan kau lebih kuat dibandingkan mawar itu. Kau lebih kuat menghadapi badai"
Kali ini, wanita itu tak lagi menahan air matanya yang menanti di ujung kelopak mata. Ia keluar dengan sendirinya. Membasahi kursi taman malam itu. Wanita itu. Ia sangat terluka meski ia tahu seharusnya ia menghargai pria trembesi itu.
Ia menghilang. Tertelan gelap tak beratap. Menangis dalam kesendirian yang tak seorang pun tau kecuali pria itu. Hanya diam. Tak banyak yang dapat pria itu lakukan. Tubuhnya kembali membeku karena melati kedua yang pergi. Yah, dia hanya pergi dan bukan mati seperti melati pertama.

Siang belum mampu menggeser malam. Malam ke-empat. Yah, malam ke-empat setelah pertemuan wanita melati dan pria trembesi di sudut kursi taman itu. Indah. Hanya awal. Saat ini resah gelisah melebur menjadi satu. Semuanya seolah sekumpulan atom yang terikat oleh ikatan rasa yang berubah menjadi molekul baru.
Pria itu masih duduk disanan. Ditempat yang sama. Menunggu kehadiran wanita itu. Resah gelisah. masih menjadi selimut pengganti. Hingga angin menggeser kusut menjadi kalut. Wanita melati itu tak kunjung datang. Pria itu sendiri. Kembali kursi taman itu hanya bertemankan pria itu. Pria trembesi yang kaku.
Masih seperti malam ke-emapat. Malam ke-lima, enam, tujuh dan seterusnya, seterusnya hingga malam ke-31. Pria itu tak datang lebih awal. Ia berjalan. Kemabali dalam pekat malam. Tubuhnnya kembali membeku sama seperti saat malam pertama pertemuannya dengan wanita melati itu. Wanita melati terindah, jauh lebih indah dari melati pertama.
Dari sisi yang jauh, matanya menerobos masuk bersama malam. Terpaku pada sosok di kursi taman itu. Ia tau. Siapa sosok itu. Yah. wanita melati terindah.
"sudah lama rasanya malam disini tak seindah malam ini"
Pria itu memecah hening lalu duduk di sudut kanan kursi taman. Wanita itu, ia tak menghiraukan akan kedatangan pria trembesi itu. Hening. Kembali hening seperti malam ke-tiga.Beratus detik tak bergeming. Bukan!. Bukan beratus detik. Beribu detik bahkan. Pria itu mencoba menarik nafas dalam-dalam.
"maafkan aku"
"untuk apa?
"untuk semua yang telah ku lakukan padamu"
Diam. Kembali diam. Beratus detik tak lagi bergeming. Semuanya ikut diam. Angin diam. Kursi diam. Bahkan langit pun diam. Bukan. Mereka memang selalu diam.
"ketahuilah. perasaan ku kepada mu ini lebih dari suka. Aku mencintaimu. Bahkan sangat mencintaimu. 27 malam aku mananti mu disini sendiri. berharap kau akan datang dan merengkuh semua yang pernah ada"
Pria itu kembali diam. Juga degan wanita melati itu. Mereka diam. Hanya sesaat. Tak lagi beratus menit yang tak bergeming. Hanya beberapa.
"yah. aku tau. Selama itu pula lah aku datang dan bersama mu".
Lagi. Kali ini pria trembesi itu yang tak paham. Ia tak mengerti.
"datang? kemari?"
"yah"
"kapan? aku tak pernah melihat mu. bahkan tak pernah mencium harum semerbak mu membius malam"
"dari sudut malam aku memanemani mu"
Diam. Semuanya kembali diam di sudut kursi taman itu. Kembali. Hanya sesaat saja. Tak begitu lama.
"jujur. Aku tak perduli mereka berkata aku bodoh. Yang ku tau, perasaan ku pada mu..... juga melebihi dari sekedar suka. aku pun mencintaimu"
Semua kembali diam. Tapi bukan sepi sunyi yang bernyanyi. Bukan juga pertarungan hati di sudut kursi taman itu. Bukan belati yang yang mencabik-cabik jantung dan hati. Tak lagi resah dan gelisah yang menjadi pengganti selimut hati pria itu. Bukan. Bukan hanya pria itu. Sesungguhnya wanita itu pulla merasakannya. Ia pun gelisah melihat pria itu gelisah. Ia resah ketika memandang dari jauh pria yang resah itu.
Kali ini, bukan lagi atom-atom resah gelisah yang melebur menjadi molekul baru. Cinta kasih mereka mengalahkan atom-atom itu. Atom-atom baru yang melebur dan terikat oleh ikatan ketulusan. Ikatan dalam kursi taman.

Melati itu... kamu. Wangi semerbak mu bahkan mampu membius malam. Paras mu bahkan mampu membutakan siang. Ketulusanmu, membuat aku terjatuh dalam genangan terindah yang pernah ada. Kesucian mu, menarik ku terbang tinggi memecah kusut dan kalut. Keanggunan mu, menjadikan aku trembesi yang berhati. Gerak mu, bahkan mampu melemahkan aku yang kaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun