Saya sudah beberapa kali berkunjung ke Singapura, bukan karena saya banyak duit, tapi karena urusan kerja dan dibayarin kantor. Â Saya tidak akan bercerita tentang urusan kerjaan saya di sana, pasti engga bakal ada yang mau dengar. Saya hanya akan bercerita bagaimana masyarakat di sana bersikap di jalan raya.
Jika kita berjalan di Orchard, misalnya, maka kita akan mendapati orang-orang dengan sabar menunggu lampu penyeberangan jalan menyala hijau  baru kemudian menyeberang. Taksi dan bis umum pun berhenti di tempat yang sudah disediakan. Orang-orang pun juga ramai-ramai menunggu di tempat tunggu yang sudah disediakan. Khusus buat taksi biasanya ada semacam antrian.
Pernah suatu ketika, setelah selesai dengan urusan kantor, saya memutuskan untuk kembali ke hotel menggunakan MRT dengan terlebih dahulu menyusuri beberapa pusat belanja yang saling terhubung. Seingat saya, stasiun terakhir yang dekat dengan hotel tempat saya menginap adalah Outram Park. Sesampainya di Outram Park, saya jadi bingung sendiri harus ke mana. Orang-orang yang ada di sana rata-rata menolak untuk memberikan jawaban. Akhirnya jalan kaki lah saya menerka-nerka di mana hotel saya, sambil mencoba memberhentikan taksi yang mungkin lewat. Sampai akhirnya saya dibohongi oleh 3 orang India yang mengarahkan saya ke arah berlawanan dengan hotel saya yang sebenarnya tinggal sedikit lagi jaraknya. Akhirnya  saya menyasar sampai di China Town. Yang ingin saya ceritakan di sini adalah untuk memberhentikan taksi tidak bisa di sembarang tempat. Saya harus menunggu di halte atau di tempat antrian taksi yang ada di depan mal. Malam sudah cukup larut, sementara antrian taksi masih panjang.
Gambaran di atas mungkin tidak riil menggambarkan situasi di negeri tetangga kita itu - yang bersama dengan Malaysia memutuskan untuk memilih waktu internasionalnya berbeda dengan kita -, tetapi bolehlah dibandingkan dengan situasi yang kita lihat di negeri tercinta kita.
Di negeri kita, khususnya Jakarta, mulai dari angkot, taksi, sampai bus kota, mereka mengenal istilah "setiap sisi jalan adalah halte". Sayangnya, itu juga diamini oleh para penumpangnya. Bagi calon penumpang, setiap sisi jalan adalah halte. Kapan saja dan di mana saja, mereka boleh untuk memberhentikan kendaraan umum yang ingin mereka tumpangi.
Kalau sudah begini, siapa yang salah? Apakah supir angkot, taksi, atau bus kota, akan berhenti di suatu sisi jalan jika tidak ada calon penumpang yang menunggu berdiri di sana atau jika tidak ada penumpang yang memaksa turun di mana saja? Bus kota tidak akan ngetem berlama-lama di pinggir jalan kalau calon penumpangnya tetap bertahan di halte. Hmm, jadi siapa sebenarnya yang bersalah?
Apakah sulit dan berat untuk melangkahkan kaki 5 - 10 langkah menuju halte untuk menunggu kendaraan umum? Apakah sulit juga untuk memberhentikan supir untuk turun di halte?
Jadi, kalau kendaraan umum berhenti di mana saja, siapa yang salah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H