Indonesia beberapa waktu yang lalu sedang ramainya membahas Revolusi Industri 4.0, mulai dari kalangan pemerintah, akademisi, pengelola start up, hingga masyarakat tongkrongan di warung kopi pun tidak lepas dari isu yang hangat ini. Semakin berkembang luasnya diskusi tersebut, maka semakin dapat kita lihat di tengah masyarakat terjadi dualistis dalam memandang persoalan ini.
Kelompok pertama terdiri dari orang-orang yang berfikiran secara utopia terhadap teknologi cenderung mengedapankan pola pikir berbasis logika, sehingga fanatik terhadap teknologi. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari orang-orang yang berfikiran secara distopia terhadap teknologi cenderung mengedepankan sisi humanistis, sehingga dalam pemikiran dan perilaku bersifat hati-hati terhadap penggunaan teknologi.
Oleh karena itu pada suatu kondisi nanti di Indonesia, bisa saja persoalan ini menyentuh titik kritis dan mengakibatkan gejolak di antara kedua belah pihak ini. Maka komunikasi (baik interpersonal ataupun intrapersonal) lah yang akan memegang peran penting karena khalayak terhubung secara beragam.
Pada saat negara-negara lain sibuk membahas, menerapkan, hingga mengevaluasi Revolusi Industri 4.0 ini, di Jepang sudah memperkenalkan era Society 5.0 dimana teknologi digital diaplikasikan dan berpusat pada kehidupan manusia. Jika konsep Revolusi Industri 4.0 penerapannya berpusat pada kecerdasan buatan (artificial intelligence) maka Society 5.0 diklaim sebagai "solusi" dari dampak yang diakibatkan oleh Revolusi Industri 4.0.
Society 5.0 dianggap sebagai "solusi" dari Revolusi Industri 4.0 dikarenkan anggapan bahwa penggunaan mesin-mesin berteknologi canggih akan menekan jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, sehingga harapannya Society 5.0 bisa menciptakan nilai baru dalam perkembangan teknologi canggih yang mengurangi kesenjangan antara manusia dengan masalah ekonomi ke depannya. Sehingga sinergi manusia dan teknologi bisa terwujud agar masyarakat semakin sejahtera.
Namun jika kita lihat jauh ke belakang kembali, polemik antara majunya teknologi dan tergerusnya moral (humanistis) bukan persoalan baru teman-teman. Jauh sebelum majunya teknologi, para filsuf pun berdebat persolan antara teknologi dan etika, terutama agama yang paling gencar membahas persolan moral (selain filsafat moral). Teknologi dijadikan alat oleh kapitalis dalam meraup keuntungan sebesar-besarnya dan mengabaikan sisi moral.
Pada era digital saat ini dapat kita lihat bahwasanya dengan majunya teknologi informasi di bidang media, maka perusahaan teknologi internasional semakin masif memonopoli bidang informasi dan media, meski mereka tetap menganggap dirinya perusahaan berbasis teknologi (padahal teknologi tidak hanya persoalan media saja).Â
Hal ini dengan sangat menarik dan jelas disampaikan oleh Jeff Orlowski (alumnus Stanford) melalui film dokumenter nya yang sangat fenomenal pada tahun 2020 lalu dengan judul "The Social Dilemma". Jika teman-teman belum menonton film ini, maka saya sangat merekomendasikannya. Meskipun ini film dokumenter, namun penyajiannya sangat jauh dari kesan "membosankan" yang terlabel pada kebanyak film dokumenter.
Film ini menyelam jauh ke dalam sisi buruk teknologi seperti kecanduan media sosial, penyebaran informasi yang salah (hoaks), dampak negatifnya pada kesehatan mental kita, bahkan peran potensial dalam jatuhnya institusi demokrasi suatu negara.