Jika ada super blok di Jakarta yang baru ketahuan wajah aslinya lebih dari satu dekade kemudian, dia adalah SCBD (Sudirman Central Business District). Di atas wilayah seluas 45 hektar ini, gedung-gedung jangkung terus berdiri dengan beragam fungsi. Mulai dari apartemen, ruang komersial, hingga pusat kuliner dan hiburan. Siapa tak kenal dengan Pacific Place dengan Kidzania-nya? Mall berstandar internasional yang telah beroperasi sejak Mei 2006 ini, mempertegas SCBD sebagai magnet baru bagi warga Jakarta khususnya kelompok menengah atas, dan tentu saja para ekspatriat yang tinggal di ibu kota.
Sebagai prominent place, SCBD yang dikelola oleh PT Danayasa Arthatama, salah satu anak usaha Grup Artha Graha, terus menggeliat sebagai pusat kegiatan bisnis dari korporasi-korporasi domestik maupun luar negeri yang membuka cabang di Jakarta. Setelah kehadiran Equity Tower, gedung jangkung yang baru dioperasikan adalah Office 8 dan Lot 18 Office Tower. Gedung-gedung ini melengkapi fasilitas perkantoran yang sebelumnya sudah berdiri megah, seperti Gedung Artha Graha dan BEJ.
Wajah SCBD yang sekarang tampil wah, sesungguhnya kontras dengan kondisi pada 2009 - 2012. Saat Indonesia masih belum pulih karena terjangan krisis dan ekonomi masyarakat morat-marit, SCBD yang saat itu masih dalam tahap pengembangan, rela menyediakan sebagian lahannya untuk dikelola para pengusaha dadakan. Sebagian diantaranya adalah pengelola cafe tenda yang terpaksa membuka bisnis makanan karena perusahaannya bangkrut digulung krisis.
[caption id="attachment_341748" align="alignright" width="365" caption="Bangkai bus tingkat PPD pernah jadi penghuni cafe tenda SCBD (Foto : www.gambar-gambarpilihan.blogspot.com)"][/caption]
Anda tentu masih ingat, kehadiran bus-bus tingkat (double decker) eks PPD yang saat itu dioperasikan sebagai café. Dengan tampilan yang unik, café bekas bus ini jelas menawarkan atmosfer uni. Ini adalah kreatifitas yang mungkin tak pernah kita temukan lagi, benar-benar ‘out of box’. Deretan café tenda itu, melengkapi pusat bisnis lain, seperti Butik Ponsel dan Automall.
Menariknya dari wajah SCBD yang terus berubah dan menuju proses “pendewasaan”, satu yang tetap bertahan adalah kehadiran Electronic City (EC). Tak salah jika salah satu ikon SCBD adalah EC.
Sebagai mantan punggawa EC (2002 – 2006), saya mengenal betul setiap jengkal dari wilayah EC berdiri. Tak ada yang berubah, kecuali gedung di lantai 2 yang difungsikan sebagai head office dan lay-out toko yang berganti wajah mengikuti dinamisnya jaman. Begitu pun dengan food court di lantai 2 yang kini juga bersalin rupa. Setahu saya, tak ada gerai stand alone yang menyediakan food courtselain EC. Inilah salah satu faktor pembeda EC dengan gerai elektronik modern lainnya.
Menengok ke belakang, EC yang telah menjadi bagian dari nafas SCBD, didirikan pada 2001. Gerai di SCBD itu merupakan yang pertama menandai kiprah sebagai sebagai retailer elektronik modern. EC memang bukan yang pertama. Incumbent-nya adalah Agis yang pertama beroperasi pada 1997.Namun nyatanya kehadiran EC langsung mengubah peta persaingan.
Tak hanya lewat penawaran harga yang kompetitif, EC juga unggul dari sisi kenyamanan berbelanja dan fasilitas penunjang lainnya termasuk jaminan purna. Jual. Imbasnya, masyarakat yang tinggal diperkotaan dan kelompok menengah atas, dengan cepat mengubah gaya belanja mereka. Pelan tapi pasti, Glodok dan Mangga Dua yang sebelumnya menjadi episentrum ritel elektronik nasional, mulai kehilangan pamor.EC sendiri menjadikankondisi tersebut sebagai momentum yang tepat untuk terus berlari.
Namun, memasuki 2006, EC dan Agis tak lagi melenggang berduaan. Datangnya dua raksasa baru, yakni Electronic Solution (ES) asal Singapura dan Best Denki dari Jepang pada 2006 lalu, mengubah landscape kompetisi. Apalagi hanya dalam tempo beberapa tahun, gerai keduanya makin meluas ke berbagai kota besar di Indonesia.
Berbeda dengan Agis yang malas berekspansi, manuver ES dan Best Denki justru menyentak EC. Imbasnya persaingan pun semakin ketat. Jakarta memang masih menjadi pasar yang seksi, namun medan pertempuran sudah meluas ke seluruh Indonesia. Namun dibandingkan Best Denki, sebagai follower, ES terbilang agresif. Anak perusahaan TT International Ltd Singapore ini, tak hanya rajin membuka gerai ibu kota provinsi namun juga kabupaten.
[caption id="attachment_341749" align="alignleft" width="300" caption="Persaingan yang keras membuat Electronic City terpacu untuk terus mempertahankan posisi sebagai market leader (Foto : www.bisnisaceh.com)"]
Tak ingin dipecundangi ES yang terus tancap gas, EC pun melakukan konsolidasi dan terus mengimbangi dengan pembukaan gerai-gerai di banyak kota. Rajin berekspansi membuat EC dan ES seolah dua kuda pacu yang terus berlari tanpa kenal lelah di medan pertempuran yang sama.
Hasilnya, hingga artikel ini ditulis, ES sebagai challenger sudah memiliki 59 gerai. Sedangkan EC sang market leader 64 gerai. Untuk mempertahankan posisi, hingga akhir 2014, EC berencana untuk menambah empat gerai baru, sehingga genap menjadi 70 gerai. Bagi EC, penambahan gerai ini tak sekedar memperluas pasar, namun juga mempertahankan kinerja positif pasca melantai di BEJ pada 2013. Tengok saja performa EC yang sukses membukukan laba bersih sebesar Rp 207 miliar pada 2013. Artinya, ada kenaikan sebesar 65,4 persen dari Rp 125 miliar dibanding 2012.
Kembali ke SCBD, ingatan saya seolah melayang kembali ke 2002, saat masih bergabung dengan EC. Ruang-ruang kantor yang sempit tak menjadi halangan karyawan untuk bekerja maksimal. Masa-masa awal pertumbuhan, justru memunculkan soliditas antar karyawan dan pimpinan yang terbangun dengan baik.
Saat saya bertandang ke EC pekan lalu, ditemani oleh Fery Wiraatmadja, Commercial and Investor Relations Director Electronic City, saya sempat diajak melongok wajah kantor yang kini berubah total. Desain modern dengan balutan warna coklat muda dan khaki, mendominasi hampir seluruh ruangan. Tak ada lagi deretan bangku dan meja yang saling berhadapan dan kabel-kabel yang berseliweran. Diganti partisi pendek yang menjadi penyekat antar karyawan, membuat suasana nyaman dan elok dipandang. Dengan bergurau, Ferry bilang biaya renovasi itu dimodali dari hasil IPO yang sukses meraup dana publik.
Oya, Ferry sendiri sebenarnya adalah orang lama. Sempat “menghilang”, ia seperti anak yang kembali. Menurut saya, keputusan Ferry untuk kembali berkiprah di EC sangat tepat. Selain momentumnya pas, kondisi makro ekonomi yang membaik, membuat jalan EC sebagai perusahaan publik terbuka luas. Cita-cita sebagai retailer modern terdepan di Indonesia bukan lagi sekedar mengawang-awang. Tak salah jika kelak kita memasukan EC sebagai salah satu perusahaan idaman milik bangsa sendiri.
Nah, kalau sudah menjurus kesana. sepertinya EC bukan lagi sekedar ikon SCBD, tapi sudah ikon nasional yang membanggakan.
Ditulis Oleh : Uday Rayana, CEO Tristar Kreasi (Mantan PR & Costumer Retention Manager Electronic City, 2002 – 2006)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H