Saya tidak tahu kopi apa yang diminum oleh Jonathan Latu sebelum menulis artikel berjudul “Strategi Grab ‘Menjilat’ Kemenhub untuk Monopoli Ojol di Indonesia”. Walaupun blog adalah tulisan populer, tetap saja artikel yang diunggah harus didasarkan pada pemahaman apa yang ditulis dan didukung data-data yang valid.
Ini penting untuk menjaga Kompasiana sebagai platform “public blogging” yang berisi tulisan-tulisan kredibel dan berbasis informasi yang akurat. Ada beberapa sesat pikir yang ditunjukkan di sana. Saya tergerak untuk mengomentarinya agar tulisannya ke-6, ke-7, dan seterusnya dapat lebih akurat dan tidak misleading.
Ketidakpahaman Jonathan langsung terlihat ketika ia membahas soal promo Rp 1. Dengan akal sehat saja orang bisa paham bahwa ini adalah gimmick. Perusahaan pasti sudah memikirkan suatu model keuangan sehingga promo ini menarik namun tidak merugikan pengemudi.
Yang terjadi di Grab, driver dapat penuh dari tarif tanpa potongan dan tidak mengurangi pendapatan. Pencairannya pun bisa dilakukan pada hari yang sama. Analoginya sama kalo GoFood promo gede-gedean di HARKULNAS kemarin. Memang restoran atau driver yang nanggung promonya? Yah GoFood lah yang nanggung biaya promonya.
Selanjutnya ia membahas apa yang terjadi pada Uber. Di tulisan itu ia menyebut bahwa “Uber jadi korban dan akhirnya menghilang dan dimerger oleh Grab”. Pertanyaan pertama: apakah ia mengikuti betul proses kolaborasi Grab dan Uber?
Kini, Uber memiliki 27,5% saham Grab dan CEO-nya menjadi salah satu anggota direksi Grab. Sederhananya, Uber dan Grab menjadi sister tech company yang saling memperkuat dan mengembangkan bisnis. Keberhasilan Grab tentunya jadi keberhasilan Uber juga.
Keterangan yang misleading disampaikan debutan Kompasiana ini dengan mengatakan bahwa “driver ex-Uber pindah ke Gojek karena sekali daftar langsung bisa ‘ngebid’ sedangkan jika ke Grab harus ribet proses mutasi perusahaan”.
Bisakah Jonathan memberikan data berapa dari driver ex-Uber yang pindah ke Go Jek dan berapa yang ke Grab? Berdasarkan Kumparan malah 75% driver Uber sudah pindah ke Grab. Jonathan juga tidak paham bahwa masing–masing perusahaan memiliki standar dalam rekrutmen dan validasi data calon driver.
Yang saya tahu, pendaftaran di Grab butuh waktu lebih lama karena harus ada Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sehingga calon driver tersebut diketahui rekam jejaknya, sementara di Go-Jek tidak ada proses itu. Apakah proses validasi itu membuat driver ex-Uber merasa ribet dan tidak mendaftar ke Grab?
Isu pelecehan seksual dan perilaku tidak sopan dan merugikan konsumen lainnya memang isu besar dalam industri transportasi online. Sekali lagi Jonathan asbun alias asal bunyi dengan mengatakan bahwa di Grab hampir tiap bulan terjadi serangan dan pelecehan seksual.
Dari mana datanya? Dalam pengamatan saya, Grab lebih maju dalam menyediakan fitur-fitur keselamatan daripada Gojek, baik itu tombol darurat, fitur share my ride, penyamaran nomor telepon hingga safety camera di dalam mobil GrabCar yang sudah ada sejak tahun lalu. Bahkan driver Grab sekarang mesti selfie dulu sebelum narik agar akun ga dipake driver lain.