Membaca pernyataan ‘Buya’ Syafi’i Ma’arif di salah satu media yang namanya mencuat semenjak kasus Allan Nairm merupakan sesuatu yang sangat menarik dan penting untuk diulas. Dalam tulisan media tersebut, ‘Buya’ menjelaskan tentang fenomena intoleransi di kalangan masyarakat Indonesia yang sudah diambang batas. Dengan mengacu pada kasus ISIS yang dianggap manifestasi dari bangkrutnya peradaban Arab lantas justru ikut berimbas pada kondisi masyarakat Indonesia yang sejatinya berada jauh secara geografi maupun sosial budaya dari Jazirah Arab.
Menurut saya, masalah kemunculan ISIS ini tidak mutlak disebabkan oleh menurunnya kualitas peradaban di Timur Tengah saja, namun perlu ditelusuri lebih dalam tentang fenomena ini dari berbagai faktor. Salah satu faktor yang bisa menjadi fokus dalam bahasan ini adalah Sejarah dan Politik di Kawasan penghasil minyak tersebut, khususnya tempat berkuasanya ISIS secara de facto, yaitu Irak dan Suriah. Jika kita menarik timelinejauh kebelakang sebelum kelahiran ISIS, pangkal dari kemunculan kelompok ini kira-kira dimulai pada 2003, dimana saat itu AS melakukan Invasi ke Irak yang diumpamakan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld, bahwa AS paska 9/11 seperti sebuah Palu dan setiap negara bermasalah seperti Irak akan dilihat sebagai sebuah paku.
Setelah Saddam berhasil disingkirkan dari tampuk kekuasaan, entah itu sebuah strategi atau sekadar keteledoran AS saat itu melakukan kebijakan yang kontroversial. Paul Bremer, pimpinan perwakilan otoritas AS di Irak melakukan sebuah tindakan yang sangat fatal. Diplomat AS tersebut mulai melengserkan mayoritas Pejabat yang secara kebetulan atau tidak berlatar belakang Islam Sunni dan menggantinya dengan figur – figur berprofil syiah. Resuffletersebut terjadi hampir di seluruh level pemerintahan Irak bahkan hingga profesi guru juga tidak luput dari proses ini. Tindakan Bremer ini bisa diartikan sebagai sebuah hubungan terindikasi antara AS dan kalangan Syiah Irak yang selama pemerintahan Saddam merasa terintimidasi atau mungkin ini adalah Politik devide et impera ala AS, namun yang pasti kejadian ini telah menjerumuskan kalangan Sunni Irak ke dalam jurang kemiskinan, kelaparan dan tanpa pendidikan.
Kondisi buruk tersebut memicu rasa ketidakadilan dan kemarahan dalam masyarakat Sunni yeng memuncak pada pemberontakan golongan sunni terhadap Pemerintah Irak juga Koalisi AS. Setelah datangnya Abu Mushab Al Zarqawi atas utusan Pimpinan Al Qaeda, seluruh faksi yang memberontak di Irak melebur ke dalam AQI (Al Qaeda Irak) lantas melakukan serangkaian serangan dengan sasaran tentara Irak dan koalisinya. Setelah Zarqawi tewas dalam serangan udara Koalisi AS pada 2006, para loyalis Partai Ba’ath garis keras kemudian bergabung dengan AQI, dan meningkatkan tensi pemberontakan di Irak. Atas kondisi tersebut AS membentuk Koalisi dengan Arab Saudi dan beberapa kelompok Sunni Lokal yang bersebrangan dengan AQI melakukan joint operationyang dikenal dengan nama Al-Sahwa mulai bertujuan meredam AQI. Di sisi yang lain, Operasi ini bisa dibilang bibit-bibit perseteruan antara Monarki Teluk dan AS dengan Bashar Al Assad di Suriah, karena dalam kurun waktu 2006 sampai berlakunya Al SahwaOperation(2009), Assad membuka pintu perbatasan Suriah-Irak bahkan mempersenjatai orang-orang yang hendak bergabung dengan AQI melawan Koalisi AS.
Setelah AQI melemah, AS kemudian mulai menarik diri dari Irak pada 2011. Pada tahun yang sama PM Irak Nuri Al Maliki yang sudah mempunyai kuasa penuh lambat laut terksesan memberi keleluasaan kepada milisi Syiah dan aliansinya yaitu Iran yang berimbas pada serangkaian serangan brutal terhadap warga Irak yang dianggap mendukung dan bersimpati pada AQI. Serangan-serangan ini telah memakan korban jiwa bahkan paling tinggi angka sejak Al Sahwa Operation berlangsung. Dari Kondisi tersebut muncul seorang figur fenomenal yaitu Abubakar Al Baghadadi yang berusaha membangkitkan kembali AQI. Ia diketahui merupakan mantan tahanan Kamp Penahanan di Bucca, Irak yang mempunyai koneksi sangat kuat semasa di kamp dengan mantan pimpinan-pimpinan senior Partai Ba’ath Irak, sebuah partai sekuler yang mendominasi perpolitikan Irak semasa rezim Saddam Hussein. Hubungan erat ini terlihat dari banyaknya posisi kunci di AQI yang diduduki mantan-mantan jenderal Partai Ba’ath. Setelah mampu bangkit dan menguasai seluruh cabang Al Qaeda di Irak dan Suriah, mereka kemudian AQI dengan nama ISIS yang memicu kemarahan Pimpinan Pusat Al Qaeda yang langsung memutus tali komando dengan ISIS. Berawal dari Deir A Zour, kekuasaan ISIS berhasil meluas hingga merebut Kota Besar Raqqah dan Mosul. Tindakan ekspansi ini menyusul “Arab Spring” yang mulai menghinggapi Suriah dan melemahkan pemerintahannya. Sehingga bertepatan dengan direbutnya Mosul. Abubakar Al Baghdadi mencetuskan berdirinya Negara Khilafah Islamic State atau di Jalanan Arab umumnya disebut Daesh.
Di Suriah sendiri konflik ini bukan barang baru bagi Pemerintah Bashar Al Assad, karena Suriah di dalam sejarah perpolitikannya tidak terlepas dari beberapa keterlibatan AS viaCIA yang mencoba menintervensi Suriah sejak 1949. Pada saat itu presiden Suriah Shukri Al-Kuwaiti terkesan ragu-ragu dalam keputusannya menyetujui “Trans Arabian Pipeline”. Dalam bukunya Legacy of Ashes, CIA, Sejahrawan Tim Weiner memaparkan akibat keragu-raguan Al-Kuwaiti atas Proyek tersebut, CIA kemudian merekayasa sebuah kudeta dan mengganti Al-Kuwaiti dengan orang pilihan CIA, seorang figur bernama Husni Al-Zaim. Namun belum sempat membubarkan parlemen sebelumnya dan menyetujui Proyek “Trans Arabian Pipeline” tersebut, ia sudah dimakzulkan setelah hanya mampu memerintah selama 14 minggu saja.
Setelah Al Zaim Lengser, rakyat Suriah kembali memilih Al Kuwaiti untuk sekali lagi memimpin Suriah. Kuwaiti yang merasa tersakiti dengan tindakan AS sebelumnya akhirnya mengalihkan dan menjalin hubungan erat dengan Uni Soviet yang merupakan rival utama AS saat itu, hubungan itu terjalin hingga Uni Soviet runtuh dan dilanjutkan Rusia. Hal ini membuat AS berang dan mengirim dua ahli strategi kudeta yaitu Kim Roosevelt dan Rocky Stone ke Damaskus setelah berhasil melengserkan Ahmad Mossadegh di Iran. Dengan membawa 3 Juta Pound mereka berusaha menghasut dan mempersenjatai militan Islam serta menyuap perwira militer Suriah termasuk politisi untuk menggulingkan rezim Al Kuwaiti. Namun upaya tersebut gagal setelah dana tersebut dikorupsi perwira militer Suriah. Alih-alih menutupinya, Tentara Suriah justru melaporkan tentang adanya upaya CIA untuk menyuap beberapa tokoh untuk melakukan kudeta. Atas alasan itulah tentara Suriah menyerbu kedubes AS dan menangkap Stone yang akhirnya memaksa ia membuka aib peran CIA dalam kudeta di Iran dan kudeta gagal di Suriah. Setelah mengusir Stone dari Suriah, pemerintah Suriah kemudian “membersihkan” negaranya dari orang-orang yang bersimpati dan terlibat dengan AS atas dasar pengkhianatan negara. Tindakan pengusiran ini memicu kemarahan AS yang kemudian memindahkan Armada ke-6 menuju wilayah laut Mediterania, mengancam dan menghasut Turki untuk menginvasi Suriah. Turki yang sudah menyiapkan 50.000 tentaranya di perbatasan Turki-Suriah akhirnya mundur karena kecaman negara-negara Liga Arab yang geram dengan intervensi AS.
Setelah tindakan pengusiran itu, rupanya AS tidak kehabisan akal dan masih melakukan upaya kudeta kesekian kalinya. Setelah mendapatkan kesempatan, bersama MI6 Inggris membentuk “Free Syria Committe” dan mempersenjatai Kelompok Ikhwanul Muslimin dengan target membunuh tiga pejabat pemerintah Suriah. (Matthew Jones dalam ‘Preferred Plan’: Anglo-American Working Group Report Covert Action in Syria, 1957). Kelakuan CIA yang kesekian kalinya ini akhirnya membuat Suriah benar-benar berpaling dari AS dan menjadi aliansi utama Soviet dan Mesir.
Upaya Kudeta Gagal kesekian kalinya ini, Kerusuhan Anti-Amerika merebak di Timur Tengah dari Lebanon sampai Aljazair. Efek dari gelombang kerusuhan ini adalah terjadinya kudeta pada 1958, dimana para perwira Anti-Amerika mampu menggulingkan monarki Irak pro AS, Nuri Al-Said. Para perwira tersebut kemudian mempublikasikan dokumen rahasia pemerintah yang menunjukkan bahwa Nuri Al-Said adalah seorang agen CIA. Akibatnya Pemerintah Irak yang baru juga merubah aliansinya ke Soviet.
Terakhir, salah satu pangkal dari Konflik Suriah dibawah Pemerintahan Bashar Al Assad saat ini yang bisa ditilik adalah Sebuah telegram Rahasia serta Laporan Intelijen AS dan Israel menunjukkan bahwa segera setelah Assad menolak Pipa Qatar-Turki, militer dan perencana intelijen segera melakukan pertemuan untuk mengobarkan “Pemberontakan” Suriah. Dokumen yang dibocorkan Wikileaks ini menunjukkan bahwa tindakan ini dianggap sebagai “tujuan bersama” oleh sebagian negara-negara teluk, Turki dan negara yang terlibat mega proyek ini. Namun setelah melihat kesempatan akibat lemahnya militer di timur Suriah, ISIS yang sebelumnya hanya beroperasi di Irak, mulai berkekspansi ke Suriah dan berhasil merebut salah satu provinsi besar di Suriah yaitu Raqqah lantas mendirikan Khilafah IS pimpinan Abubakar Al Baghdadi. Berbekal catatan sejarah keterlibatan AS di Suriah, Kemunculan IS dan berkaca pada nasib buruk rezim Saddam Hussein dan Muammar Qhadafi yang pasukannya hancur oleh strategi “No Fly Zone”AS dan Koalisinya. Beberapa hari setelah Obama merencanakan strategi serupa di atas langit Suriah, Assad langsung mengundang sekutu lamanya Rusia secara resmi untuk “mengintervensi” Suriah. Kehadiran Russia tentu selain mendukung Aliansinya dengan dalih menggempur ISIS tentu saja Russia punya tujuan geopolitik dan persaingan ekonomi global. Seperti yang kita tahu bahwa Rusia adalah pemasok utama Gas Alam ke Eropa Barat yang tentu merasa terancam dengan kehadiran sebuah proyek yang bakal menjadi saingan beratnya.
Melihat runutan timeline fakta sejarah yang terjadi di Irak dan Suriah, kita seharusnya sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa konflik serta fenomena ISIS tidak semata-mata karena kebangkrutan peradaban Arab, namun ada faktor yang jauh lebih dalam dari sekedar konklusi merosotnya nilai peradaban. Disini bisa dilihat ada hukum kausalitas yang terjadi dimana kelompok-kelompok yang muncul seperti ISIS ini merupakan akibat dari ekses ketidakadilan yang dialami pada masa lalu. Hal yang cukup terang untuk dijabarkan adalah bagaimana pemberontak AQI yang sebelumnya hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi atas warga Sunni Irak kemudian berubah arah menjadi gerakan dengan nama ISIS yang bukan lagi menuntut hak-hak warga muslim sunni namun sudah menjadi sebuah organisasi ekspansionis. Belakangan justru turut memusuhi sesama oposisi di Suriah dan warga sipil yang sesama Sunni. Kehadiran mantan petinggi-petinggi partai Ba’ath yang pada dasarnya sekuler di jajaran inti ISIS tentu saja juga mengherankan sekaligus memberi titik terang penyebab arah gerakan ISIS. Di sisi lain ada faktor persaingan politik global yang turut menjadi pemicu konflik berkepanjangan dimana faktor campur tangan asing terlebih AS yang menjadi “Pendosa Besar” sehingga memunculkan polemik berkepanjangan di Timur Tengah selama ini.