Pada akhirnya seorang “penista” seperti Galileo Galilei pun bisa dimaafkan (bahkan secara formal) oleh pemimpin tertinggi agama tersebut pada 1992 setelah merasa Galileo Galilei telah dihukum dengan setimpal melalui pengadilan yang sah. Hal yang juga diharapkan kelak didapatkan seorang Ahok, entah kapan.
Walaupun sejarah telah menorehkan tinta merah penistaan yang dilakukan Galileo Galilei, sejarah juga telah banyak mencatat karya-karya mashyur dan peran besarnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini. Dunia pun menghormatinya atas sumbangsih yang telah diberikannya. Semoga kelak, sumbangsih dan upaya yang telah diberikan Ahok bagi kemajuan masyarakat mampu menyeimbangkan “dosa” yang telah dilakukannya sekaligus menjadi refleksi bagi semua orang dan Ahok sendiri, bahwa “Mulutmu Harimaumu”. Terlepas dari intrik-intrik politik yang sedang dimainkan.
Semoga para pendukung yang saling berseberangan pun tidak tenggelam dalam fanatisme kabur. Karena apapun itu, Galileo Galilei dan Ahok bukan Nabi atau Tuhan yang suci. Mereka hanyalah manusia biasa yang sedang menjalani hukum atas perbuatannya sendiri, terlebih lagi sudah melalui proses yang diyakini adil dan sesuai. Sepatutnya hukum telah diputuskan dan wajib untuk dihormati. Saatnya melepaskan cengkraman, melenturkan urat syaraf, dan reduksikan sikap fanatisme. Karena sesungguhnya “Fanatisme yang membabi buta itu mematikan Nalar”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H