Lagu ini merupakan salah satu lagu Coldplay dalam album “Viva La Vida or Death and All His Friend ” yang dirilis pada tahun 2008. Lagu ini memiliki arti yang sangat mendalam, banyak interpretasi yang dikemukakan oleh para penikmat musik di seluruh dunia atas lagu ini. Namun menurut Gay Berryman yang merupakan bassistdari Coldplay dalam Entertaiment Weekly, “Saat mendengarkan lagu ini, saya membayangkan London pada tahun 1850, yang identik dengan Hujan dan orang – orang yang memakai topi. Sejalan dengan Berryman, Chris Martin sang vokalis menjelaskan lagunya menceritakan tentang kondisi london yang penuh dengan penyihir.
Zaman yang dimaksud oleh kedua personel Grup Band terkenal ini adalah Victorian Era dimana era berkuasanya Ratu Victoria di Britania Raya (1837-1901). Era ini merupakan periode panjang Perdamaian, Kemakmuran dan Kejayaan Britania dalam percaturan dunia serta meningkatnya rasa percaya diri nasional warga Britania (John Wolffe, 1997. Religion in Victorian Britain : Culture and Empire).
Namun dari segi kebudayaan terjadi peralihan yang sangat jauh dari budaya rasionalisme era King George ke arah Romantisme dan Mistik yang dikaitkan dengan agama, dan nilai – nilai sosial. Era Victoria adalah era dimana banyak bermunculan perilaku aneh cenderung mistik seperti Komunikasi dengan Arwah, Trend fashion busana duka cita (hitam), dan ilmu hipnotis, sehingga tak heran banyak bermunculan orang – orang yang berperilaku seperti seorang “penyihir”. Di era ini masyarakat terkungkung di dalam ketakutan akibat dari perkembangan ilmu hitam yang sangat drastis.
Perilaku “Era Victoria” ini ternyata masih tergambar dalam budaya sebagian orang – orang Indonesia saat ini. Di saat Britania Raya sudah lepas dari zaman “takhayul” dan mulai berpacu dalam dunia rasionalisme dan teknologi, sebagian masyarakat kita masih berputar dalam lingkaran dunia “klenik” dan budaya – budaya yang secara akal sehat tidak bisa dicerna sama sekali. Kasus Aa Gatot Brajamusti dan Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah beberapa kasus terhangat saat ini yang menunjukkan secara gamblang dan jelas betapa masyarakat Indonesia masih mempunyai pola pikir yang mundur 4 abad ke belakang.
Sebelum kasus Gatot dan Dimas muncul ke permukaan, sebenarnya sudah banyak sekali kasus serupa yang pernah menjadi sorotan masyarakat seperti kasus Lia Eden yang mengaku nabi dan punya mukjizat, Gus Jari bin Supardi yang mengaku nabi terakhir setelah Nabi Muhammad Saw, serta Ponari dengan batu “ajaib” nya serta beberapa kasus – kasus anomali lainnya. Namun seakan hanya angin lalu, kejadian – kejadian tersebut bukannya menjadi bahan pembelajaran, justru budaya aneh seperti ini makin menjadi dan semakin beragam bentuknya. Yang sangat parah dan memprihatinkan adalah budaya semacam ini juga turut dijalani oleh para publik figur seperti artis, pejabat, bahkan figur – figur bertitel akademis yang setiap saat ditempa dengan pengetahuan ilmiah juga terkontaminasi budaya ini. Sangat kontras dan terlampau memalukan.
Kasus “Geger Dimas Kanjeng Taat Pribadi” adalah salah satu kasus yang paling hangat sekaligus paling memukul dalam dunia kebudayaan dan psikologis masyarakat Indonesia.
Berdasarkan informasi dari media yang berseliweran selama ini, Dimas Kanjeng didefenisikan sebagai seorang pemilik ilmu gaib yang bisa menggandakan uang, bahkan bisa berlipat – lipat ganda. Kemampuan ini menurut keterangan pengikutnya merupakan sebuah “Karomah” yang populer di dalam Islam biasa dimiliki oleh seorang Wali.
Jika dianalisis secara singkat. Penggandaan kuantitas uang tentu saja bertentangan dengan mekanisme ekonomi dan keuangan dalam suatu sistem peredaran uang. Menurut hukum dan literatur umum, Bank Indonesia adalah Bank Sentral yang mempunyai kewenangan mengatur, mengelola Sistem Pembayaran Nasional (SPN) demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah seperti yang diamantkan UUD No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Di Sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dari peredaran (bi.go.id). Dari penjelasan hukum diatas, dapat dipastikan kegiatan yang dilakukan (penggandaan uang) oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi menyalahi aturan dan hukum yang berlaku dan terancam dikenakan hukuman pidana berat. Jikapun ada beberapa pengikut Dimas Kanjeng yang berkilah bahwa Dimas Kanjeng tidak melakukan penggandaan namun “pengadaan”, Hal ini tetap saja menyalahi aturan karena secara logika, pengadaan suatu barang yang sudah ditentukan jumlahnya dalam suatu sistem akan melipir ke arah pemindahan uang. Hal ini bisa diartikan sebagai sebuah tindakan Pencurian yang juga bisa dipastikan melanggar hukum berikut hukumannya.
Menilik predikat pemilik “karomah” yang disematkan oleh pengikut Kanjeng Dimas pada dirinya. Hal ini juga bisa dikatakan tidak sejalan dengan kategori yang dipaparkan oleh para ulama – ulama Islam terdahulu tentang kriteria seorang pemilik Karomah tersebut. Menurut Imam Al Quthubi, “Pemilik Karomah biasanya menyembunyikan karomah itu dan tidak menampakkannya kecuali ada manfaat yang diketahui kebaikkannya”. Dari pendapat ulama tersebut terlihat ciri –ciri seorang berkaromah tidak melekat pada diri seorang Kanjeng Dimas Taat Pribadi. Jika kita melihat berbagai video yang merekam aksi Kanjeng Dimas ini, terlihat dia tidak merasa risih dengan keberadaan banyak sekali kamera yang merekamnya menunjukkan “karomah” nya, bahkan aksi ini terkesan disengaja karena dia sesekali melihat ke arah kamera dengan air muka yang sangat angkuh dan percaya diri. Perilaku yang sangat berbanding terbalik dengan ciri – ciri seorang Wali yang dijelaskan dalam Islam.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Takhayul masuk dalam kategori ilmu semu yang merupakan sebuah ilmu pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah tapi tidak mengikuti metode ilmiah. Takhayul sangat erat kaitannya dengan Ilmu yang bersifat mistik yang melekat pada masyarakat, khususnya masyarakat yang masih primitif. Mistik sendiri pada hakekatnya merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk dan pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran mutlak di dalam masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk perilaku dan menjadi suatu budaya dalam masyarakat, sementara budaya atau kebudayaan memberi pengaruh pada hukum sehingga proses ini menjadi suatu budaya hukum (Koentjaraningrat).