Makar dan adu domba menjadi ancaman terhadap keutuhan NKRI dalam belakangan ini. Yang paling mengancam adalah dugaan terorisme yang berhasil diungkap aparat hukum. Hingga saat ini, terorisme mengancam karena sulitnya mengungkap jaringan kejahatan ini. Dibutuhkan upaya serius untuk menangkal kejahatan terorisme berdasarkan perspektif pertahanan negara.
Salah satu motif kelompok teroris adalah balas dendam terhadap aparat. Misalnya, pelaku bom bunuh diri mengalami trauma personal pasca kehilangan anggota keluarga pada operasi terorisme. Motif balas dendam ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di manca negara.
Di Rusia, dua peneliti terorisme, Anne Speckhard dan Khapta Akhmedova menemukan adanya motif balas dendam bagi pelaku bom bunuh diri yang dilakukan sejumlah perempuan. Pelaku kehilangan keluarga mereka karena dibantai oleh sejumlah pasukan. Kematian tragis kemudian memicu kemarahan yang berakhir dengan bom bunuh diri.
Perempuan pelaku bom bunuh diri dinamai Black Widows oleh masyarakat Rusia dan media internasional karena mereka bertindak dengan dilandaskan pada balas dendam atas kematian suami, anak, dan saudara-saudara mereka. Hal serupa dikemukakan oleh Amanda J. Alcott pada penelitian tesis yang ditulisnya.
Media Rusia menamai mereka Black Widows setelah serangan bom bunuh diri pada awal tahun 2000-an dan istilah tersebut dikenal secara internasional setelah adanya berita tentang serangan teror di Teater Dubrovka tahun 2002. Pada penelitian tersebut, menurut Gabrielle Giroday dalam artikel “Russia’s Black Widows”, anggapan media-media lokal didasarkan pada citra perempuan Chechen yang memakai cadar hitam serta pinggang dan dada mereka dipasangi bom. Anggapan ini gencar di tengah-tengah pemberitaan media selama 3 hari krisis tersebut terjadi dan menewaskan 129 orang meninggal dunia.
Penelitian yang ditulis oleh Amanda menjabarkan permasalahan mengenai persepsi atau anggapan masyarakat publik dan elit lokal maupun internasional mengenai aksi terorisme yang dilakukan Black Widows di wilayah Kaukasus Utara. Persepsi ini dinilai berkaitan dengan masalah gender yang termunculkan pada kasus terorisme dan kekerasan yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Penelitian ini masih sebatas mengkaji persepsi yang dikaitkan dengan masalah gender dan aksi terorisme antara negara Barat dan negara-negara Kaukasus.
Perspektif gender tidak secara utuh menjadi alat (tools) untuk menganalisis permasalahan dalam penelitiannya. Di sisi lain, kembali pada analisis Speckhard dan Akhmedova yang menyebutkan bahwa trauma memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk memeluk keyakinan, yaitu islam radikal (radicalised islam). Islam seperti ini terbentuk dari eksistensi bangsa Arab melalui jaringan Al-Qaeda yang aktif membangun mesjid dan madrasah di Chechnya.
Sementara itu terorisme yang dilakukan oleh etnis Chechen dinyatakan terikat dengan ideologi Wahabi seperti pemaparan pada penelitian Weinberg dan Eubank sebelumnya yang menyebut bahwa gerakan nasionalis Chechen dipengaruhi oleh militan berideologi Wahabi. Di Chechnya, ideologi teroris aliran Wahabi memberikan kejayaan bagi martir (pelaku bom bunuh diri) dalam melakukan jihad atas nama penciptaan kekhalifahan islam secara global. Persepsi mengenai pengorbanan diri (self-sacrifice/istishad) yang dimiliki Al-Qaeda menginspirasi dan mempengaruhi etnis Chechen dalam melawan Rusia dimana pemimpin mereka mendeklarasikan diri sebagai bagian dari jihadis global.
Secara keseluruhan, ideologi jihadis Wahabi digunakan dalam menjustifikasi aksi terorisme sebagai sebuah cara untuk balas dendam dan menegakkan keadilan sosial atas nama gerakan nasionalis separatis. Perempuan Chechen yang telah mengalami radikalisasi oleh ideologi jihad Wahabi cenderung melibatkan diri dalam aksi bom bunuh diri untuk balas dendam dan bersandar pada keyakinan akan kembali bersatu dengan keluarga dan suaminya di surga setelah melakukan jihad tersebut.
Merujuk pada penjelasan di atas, dapat dikategorikan bahwa kelompok perempuan Chechen yang disebut Black Widows memeluk keyakinan Islam radikal yang memuat ideologi jihadis global dan menggunakan bom bunuh diri sebagai metode aksi terorisme untuk balas dendam. Berdasarkan hal tersebut, Black Widows dapat dikatakan sebagai kelompok terorisme yang bergerak dengan dilandaskan motif balas dendam dan berorientasi agama. Peneliti melihat kelebihan pada penelitian Speckhard dan Akhmedova.
Penelitian tersebut memaparkan hasil wawancara langsung dengan perempuan Chechen dan analisis yang mendalam mengenai sebab atau alasan mereka melakukan aksi bom bunuh diri. Namun, penelitian ini hanya mengkategorikan gender sebagai salah satu motivasi dalam melakukan bom bunuh diri. Penelitian ini belum meninjau kasus Black Widows melalui perspektif gender secara menyeluruh.