Oleh: Supianto
Dunia pendidikan di Indonesia tampaknya tidak pernah lepas dari masalah, ini tampaknya sebagai suatu keniscayaan yang harus kita lewati untuk membawa pendidikan ke arah yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing di kancah global. Masalah memang selalu ada, solusi pun juga harus selalu ada sebagai antitesis dari masalah-masalah tersebut. Kita hanya punya dua pilihan, berubah dengan cara evolusi, artinya kita hanya akan berjalan sementara orang lain telah terbang, atau kita akan berubah secara revolusi. Pilihan cara untuk berubah dan memecahkan masalah dalam bidang pendidikan akan menentukan apakah kita siap untuk menjadi penulis sejarah, atau kita tak akan pernah ditulis sejarah.
Dalam tulisan ini, saya hanya menyoroti dua hal yang saya anggap krusial dalam bidang pendidikan. Tentunya masih banyak lagi masalah-masalah yang mungkin lebih penting untuk dibahas di lain waktu.
Standarisasi
Standarisasi merupakan ironi dari desentralisasi. Di satu sisi, pemerintah telah mempercayakan pengelolaan pendidikan kepada daerah sebagai konsekuensi dari pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Tapi di sisi lain, pemerintah juga telah menetapkan standarisasi yang harus dicapai oleh setiap sekolah. Salah satu standarisasi yang cukup menimbulkan pro dan kontra adalah ujian nasional. Dalam terminologi pendidikan sendiri, sebenarnya ujian nasional tidak pernah ada, yang ada adalah evaluasi, assesment, dan measurnment. Terlepas dari ada tidaknya terminologi ujian dalam pendidikan, yang menjadi fokus masalah dalam tulisan ini bukan pada terminologinya, tapi pada tujuan dan pelaksanaan ujian nasional.
Beberapa waktu yang lalu ujian nasional di tingkat SMA dan SMP telah selesai dilaksanakan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan ujian nasional tahun ini juga diwarnai oleh berbagai bentuk pelanggaran, salah satunya adalah pembocoran kunci jawaban, bahkan sampai dikomersilkan. Awalanya, tujuan ujian nasional hanya untuk pemetaan kualitas pendidikan. Tapi setelah ujian nasional ditetapkan sebagai penentu kelulusan, situasi kemudian berubah seolah ujian nasional adalah goal utama dari pendidikan. Pelaksanaan ujian nasional pun akhirnya tidak lepas dari unsur politis pemerintah daerah. Setiap pemerintah daerah merasa perlu untuk turun tangan dalam kampanye pelulusan.
Evaluasi dalam pendidikan memang harus ada. Saya menganalogikan evaluasi seperti seorang dokter yang sedang mendiagnosa penyakit pasiennya. Dari hasil diagnosa tersebut, dokter kemudian membuatkan resep obat. Obat ini jelas untuk menyembuhkan penyakit pasien, biasanya penyakit hanya berhubungan dengan beberapa organ tubuh saja, bukan dengan keseluruhan tubuh. Hasil diagnosa juga bukan untuk memfonis bahwa pasien itu akan mati atau hidup. Begitu pula dengan evaluasi. Evaluasi harus ada sebagai cara yang ditempuh dalam dunia pendidikan untuk mengukur ketercapaian yang telah ditetapkan. Bukan untuk memfonis anak sebagai lulus dan tidak lulus. Hasil evaluasi ini kemudian dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan perbaikan (remedial).
Remedial tentunya hanya pada pelajaran dimana anak tidak memenuhi batas minimal nilai yang telah ditentukan, bukan pengulangan semua mata pelajaran selama satu tahun. Dalam skala yang lebih luas, hasil evaluasi ini dijadikan sebagai alat untuk melakukan pemetaan terhadap kualitas pendidikan di satu negara. Sehingga memudahkan untuk melakukan perbaikan, terutama di sekolah-sekolah yang kualitasnya rendah dari segi input, proces, dan output.
Sertifikasi
Dasar hukum pelaksanaan sertifikasi adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 8, disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan memenuhi syarat yang telah disebutkan itu, maka guru berhak mendapatkan tunjangan sebesar satu kali gaji pokok. Pada tahun ini, anggaran untuk sertifikasi guru sebesar 60,5 triliun rupiah.
Tujuan utama dari pelaksanaan sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus meningkatkan kesejahteraan guru. Akan tetapi, setelah beberapa tahun dilaksanakan, ada kesenjangan antara das sein dan das solen, antara harapan dan kenyataan. Bahwa kesejahteraan guru meningkat memang tidak dapat dipungkiri. Bahwa kualitas pendidikan juga meningkat, ini yang masih perlu dipertanyakan.
Kita memang harus mengakui ini secara bijak, bahwa kualitas pendidikan tidak berbanding lurus dengan sertifikasi. Pada awal pelaksanaannya memang sudah diwarnai oleh berbagai tindak ketidak jujuran, terutama oleh guru sendiri. Beberapa teman saya pernah mengakui hal ini, ketika sistem sertifikasi masih menggunakan portofolio, dokumen-dokumen yang mereka lampirkan sebagai syarat sertifikasi penuh dengan manipulasi. Pemerintah menyadari akan kekurangan dari sistem ini, lalu menggantinya dengan PLPG selama 10 hari, dengan harapan waktu 10 hari itu akan benar-benar efektif untuk menggembleng guru dalam meningkatkan kualitas mereka. Tapi apakah ini benar-benar efektif? Pertanyaan berikutnya, setelah PLPG apakah kualitas pendidikan juga meningkat? Pada tahun 2012, Programme for International Study Assessment (PISA) menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan peringkat terendah dalam pencapaian mutu pendidikan.
Menyadari akan hal ini, pemerintah kembali mewacakan perubahan dalam sistem sertifikasi guru, yaitu melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama 1 tahun. Saya menilai hal ini mungkin bisa menjadi terobosan baru dalam dunia pendidikan kita, khususnya pada peningatan mutu guru. Meskipun sebenarnya kebijakan PPG juga masih menyisakan beberapa pertanyaan. Bukankah selama ini perguruan tinggi keguruan telah membekali mahasiswa untuk memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional sebagaimana yang diamanatkan UU No 14 tahun 2005? Bukankah kebijakan PPG ini sebagai bentuk lain dari keraguan pemerintah akan kualitas perguruan tinggi keguruan? Jika pemerintah ragu dengan kualitas perguruan tinggi, toh penyelenggara PPG juga masih perguruan tinggi.
Menurut hemat saya, jika tujuan pemerintah adalah untuk meningatkan kompetensi guru, sebenarnya pelatihan-pelatihan dan workshop-workshop untuk guru sudah cukup, asal dikemas dalam bentuk yang lebih efektif dan efisien, serta ada kontinuitas, bukan sekali jadi. Atau dapat juga melalui peningkatan kualifikasi akademik guru melalui pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu jenjang magister (S2) di bidang kependidikan. Bukannya membuat satu kebijakan baru seperti PPG. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya memikirkan kembali kebijakan PPG ini sebelum pada akhirnya merombaknya kembali seperti program portofolio dan PLPG. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H