PENDIDIKAN DI KEPULAUAN SAPEKEN
(Analisis Kritis Terhadap Pengelolaan SMPN 1 Sapeken)
SEKILAS TENTANG KEPULAUAN SAPEKEN
Secara geografis, kepulauan Sapeken terletak di sebelah timur pulau Madura dengan jarak 165 mil dan ditempuh sekitar 17 jam perjalanan via kapal laut. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan pulau Bali dengan jarak tempuh sekitar 10 jam. Secara administratif, kepulauan Sapeken termasuk bagian dari wilayah kabupaten Sumenep, provinsi Jawa Timur. Kepulauan Sapeken merupakan gugusan pulau yang terdiri dari pulau-pulau kecil. Meskipun menjadi bagian dari kabupaten Sumenep, namun masyarakat yang mendiami kepulauan Sapeken bukanlah berasal dari suku Madura, melainkan berasal dari Suku Bajo.
Suku Bajo dikenal juga sebagai Suku Laut atau Seanomade. Diyakini nenek monyang Suku Bajo berasal dari Sulawesi, sehingga baik secara kultur maupun secara psikologis, masyarakat kepulauan Sapeken lebih akrab dengan Sulawesi daripada Suku Madura. Suku Bajo yang masih memegang tradisi memilih untuk menetap di atas laut, tetapi Suku Bajo yang mendiami kepulauan Sapeken sudah menetap dan membuat rumah di daratan. Hal ini mungkin disebabkan oleh interaksi masyarakat dengan dunia luar, kemudian terjadi akulturasi dan asimilasi budaya, sehingga semakin lama mereka mengadopsi pola dan cara hidup masyrakat lain.
Mata pencaharian utama masyarakat Suku Bajo di kepulauan Sapeken adalah nelayan. Para nelayan menangkap ikan sepanjang tahun, kecuali musim angin. Komoditas ikan unggulan dari kepulauan Sapeken adalah ikan kerapu. Mereka menjual hasil tangkapan ikan mereka ke pulau Bali. Para pengusaha ikan lah yang menjadi perantara perdagangan hasil laut ini. Para nelayan memiliki keterikatan kepada para pengusaha ikan. Biasanya para pengusaha menyediakan segala keperluan nelayan, mulai dari perahu sampai perlengkapan menangkap ikan dan kebutuhan makanan selama berlayar. Jadi disni terjadi simbiosis mutualisme antara nelayan dengan pengusaha ikan.
Selain menangkap ikan, ada sebagian kecil masayarakat yang menjadi petani. Mereka umumnya tinggal di pulau-pulau yang bisa ditanami padi. Namun, petani tidak bisa menanam padi sepanjang tahun karena curah hujan di kepulauan Sapeken sangat rendah. Petani hanya bisa menanam padi sekali dalam setahun, setelah itu para petani menanam jagung, kacang hijau, dan singkong.
Sarana transportasi menjadi masalah tersendiri bagi masyarakat kepulauan Sapeken. Ketersediaan kapal dari dan ke kabupaten sangat terbatas, hanya ada 2 kapal penumpang yang beroperasi satu kali dalam seminggu, dengan kondisi kapal yang juga tidak layak, sehingga hal ini membatasi mobilitas masyarakat. Lain halnya dengan ke Bali, hampir setiap hari ada kapal yang mengangkut ikan dari pulau Sapeken ke pulau Bali.
PENGELOLAAN SEKOLAH DI SMP NEGERI 1 SAPEKEN
Kepala Sekolah (Merangkap Bendahara)
Kepala Sekolah di SMPN 1 Sapeken adalah Agus Sunaryono, S.Pd. Sejak tahun 2003 sampai sekarang beliau masih eksis memipin tanpa pernah dimutasi apalagi diganti.
Ketika pertama kali bertugas di SMPN 1 Sapeken, saya dihadapkan pada sebuah organisasi sekolah yang benar-benar membingungkan. Kepala Sekolah hanya datang ke sekolah tidak lebih dari tiga kali dalam setahun : saat ujian semester 1 dan 2 (kadang tidak datang), saat ujian Ujian Nasional, dan pada saat ada kunjungan inspektorat.
Secara de facto, kepala sekolah juga merangkap sebagai bendahara. Meskipun secara de jure kepala sekolah telah menunjuk bendahara, tapi semua pengelolaan keuangan sekolah dicairkan, disimpan, dan digunakan oleh kepala sekolah tanpa ada pertanggung jawaban kepada dewan guru atau pun kepada komite sekolah. Hal ini menimbulkan ketidak percayaan terhadap kepala sekolah baik dari pihak guru maupun masyarakat.
Aksi protes dari guru nyaris tidak ada, karena para guru PNS yang sebagian besar berasal dari Sumenep daratan memanfaatkan kondisi ini agar mereka bisa leluasa untuk tidak datang ke sekolah menunaikan kewajiban mereka. Sebagai imbal balik dari sikap “diam” guru-guru PNS tersebut, kepala sekolah melakukan pembiaran kepada mereka, simbiosis mutualisme.
Guru (antara ada dan tiada)
Guru berjumlah 29 orang, terdiri dari dari 20 guru PNS yang sebagian besar berasal dari Sumenep daratan, dan 9 orang GTT putera daerah. Dibantu 2 staf TU, dan 2 orang tukang kebun dan penjaga sekolah.
Status sebagai guru PNS menjadi dambaan setiap orang. Akan tetapi lain halnya dengan guru-guru PNS yang berasal dari Sumenep daratan yang ditugaskan di kepulauan Sapeken, mereka merasa seperti mendapat bencana ketika menerima SK. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang sampai menangis. Hal ini dapat dipahami, karena dengan bertugas di Pulau Sapeken berarti mereka harus jauh dari keluarga, dan tidak dalam waktu singkat. Mereka bisa saja menolak tugas tersebut, tetapi konsekuensinya adalah mereka harus mengundurkan diri sebagai PNS, status yang didambakan itu.
Dengan kondisi mental yang sudah down sejak awal, mereka terpaksa berangkat untuk menunaikan tugas, dan hasilnya juga bisa ditebak sejak awal, mereka tidak benar-benar maksimal dalam mengajar. Hal ini bisa dilihat dari angka kehadiran mereka di sekolah. Guru-guru PNS yang berasal dari Sumenep daratan hanya aktif mengajar antara 2-3 minggu, setelah itu mereka pulang dan tidak kembali ke sekolah selama 1 bulan bahkan ada yang sampai 1 semester, juga ada yg lebih dari 3 tahun bolos. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi sekolah yang ditinggal oleh guru-gurunya. Secara otomotis proses belajar mengajar terhambat. Hanya guru-guru PNS putera daerah yang ‘menghidupkan’ sekolah dengan sumber daya apa adanya.
Siswa
Data terakhir menunjukan jumlah siswa sebanyak 283 orang, dengan rombel 12 kelas. Siswa berasal dari pulau Sapeken dan pulau-pulau lain di sekitar pulau Sapeken.
Siswa-siswa lah yang menjadi korban dari kondisi pertama dan kedua yang saya uraikan di atas. Mereka ibarat anak ayam yang kehilangan induk, mereka melakukan apa saja yang mereka mau, ada yang main di halaman, kejar-kejaran di kelas, ada yang bertengkar, ada yang pulang sebelum jam sekolah berakhir, bahkan ada siswa-siswa yang melakukan pelanggaran-pelanggaran fatal di dalam kelas seperti merokok dan menonton film porno lewat HP.
SOLUSI YANG DITAWARKAN
Pada dasarnya masyarakat sudah tidak percaya dengan penyelenggaraan pendidikan di SMPN 1 Sapeken, terutama kepada Kepala Sekolah yang dianggap tidak mampu membawa perubahan dan perbaikan pada sekolah. Akan tetapi masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain menyekolahkan anak-anak mereka di SMPN 1 Sapeken, karena di pulau Sapeken hanya SMPN 1 Sapeken yang merupakan sekolah negeri, sementara banyak sekolah-sekolah swasta terutama Tsanawiyah yang kondisinya bahkan jauh lebih buruk. Ketidak percayaan masyarakat ini berangkat dari tidak adanya transparansi anggaran dana BOS oleh kepala sekolah. Selain itu, kepala sekolah juga dianggap tidak mampu membina guru-guru PNS yang berasal dari Sumenep daratan.
Berdasarkan masalah-masalah yang sudah dikemukakan di atas, ada beberapa hal yang saya rasa sangat urgen dan mendesak untuk dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep, guna memperbaiki kondisi pendidikan kepulauan Sapeken. Setidaknya ada empat hal yang perlu dilakukan, keempat hal itu sebagai berikut:
Regulasi Guru
Regulasi guru secara rutin perlu diterapkan oleh pemerintah daerah. Hal ini untuk memenuhi asas keadilan, setidaknya semua guru yang bertugas di seluruh kabupaten sumenep pernah ditugaskan di kepulauan. Selain itu, regulasi secara rutin juga akan memberikan harapan bagi guru-guru yang ditugaskan di kepulaun, karena dengan regulasi ini, ada peluang bagi mereka untuk bertugas di Sumenep daratan dan tidak jauh dari keluarga.
Reward
Menurut Abraham Maslow, kebutuhan manusia secara hierarkis semuanya laten dalam diri manusia, kebutuhan tersebut mencakup kebutuhan fisiologis, perasaan aman, kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri. Kelima hal itu merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Dari kelima kebutuhan yang diuraikan oleh Maslow itu, kita bisa melihat bahwa kebutuhan akan penghargaan juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Kaitannya dengan guru-guru yang ditugaskan di Kepulauan Sapeken, seharusnya mereka diberikan reward atau penghargaan untuk memompa sengat mereka melaksanakan tugas mereka.
Reward bentuknya bermacam-macam, bisa diberikan dalam bentuk tambahan pengahasilan. Beberapa waktu lalu pemberian tunjangan satu kali gaji pokok kepada guru yang bertugas di pulau sapeken sudah berjalan, tetapi sejauh ini hanya terbatas pada guru SMA, sedangkan guru SMP dan SD belum ada kejelasan. Ketidak jelasan ini kemudian justru menimbulkan kecemburuan dari guru-guru SMP dan SD.
Selain pemberian tunjangan, reward juga bisa diberikan melalui kemudahan dalam pengurusan administrasi kenaikan pangkat/golongan. Di beberapa daerah, seperti di Bojonegoro, diberikan kemudahan kepada guru-guru yang ditugaskan di daerah pelosok dalam mengurus kenaikan pangkat, dalam dua tahun mereka sudah bisa mengajukan kenaikan pangkat. Pemerintah Daerah Sumenep bisa meniru apa yang diterapkan di Bojonegoro dan daerah-daerah lain.
Beasiswa untuk putera daerah
Pemberian beasiswa kepada putera daerah yang berprestasi bisa jadi merupakan langkah yang mempunyai efek jangka panjang untuk perbaikan pendidikan di kepulauan Sapeken. Melalui pemetaan yang teliti, akan dapat diketahui jumlah kebutuhan guru di kepulauan sapeken. Dengan mengetahui jumlah kebutuhan guru terebut, pemerintahbisa menyediakan beasiswa kepada putera-putera daerah untuk mengambil program studi sesuai dengan kebutuhan tersebut. Setelah itu, penerima beasiswa dan pemerintah daerah mebuat semacam kontrak, dimana di dalam kontrak itu disepakati bahwa penerima beasiswa bersedia untuk mengabdikan diri mereka dan kembali ke pulau Sapeken setelah lulus nanti. Langkah ini selain akan memberikan motivasi bagi putera-puteri daerah, juga bisa memberikan efek positif terhadap pendidikan di kepulauan Sapeken.
Pengawasan
Sebaik apapun aturan yang dibuat, tanpa adanya pengawasan yang baik, potensi pelanggaran tetap saja ada. Selama ini pengawasan terhadap sekolah-sekolah di kepulauan Sapeken hanya sekedar seremonial belaka. Pengawas biasanya melakukan inspeksi sekali dalam setahun. Sebelum mereka datang, sekolah sudah dikondisikan sedemikian rupa sehingga tampak “cantik” luar dalam. Namun semua tetap saja berakhir dengan “amplop”.
Bentuk pengawasan seperti ini seharusnya dirubah. Jika alasan pemerintah adalah karena kurangnya tenaga dalam melakukan pengawasan, atau karena jarak tempuh yang jauh, maka sebaiknya pemerintah menggandeng stackholder untuk secara bersama-sama melakukan pengawasan terhadap sekolah. Logikanya, masyarakat yang sudah jenuh melihat kondisi pendidikan yang kacau tidak mungkin mau menerima ‘amplop’ dari kepala sekolah, karena mereka sudah sangat sadar dengan rendahnya kualitas pendidikan. Sementara jika pengawasan hanya dilakukan oleh petugas yang berwenang, potensi kecurangan masih sangat besar.
Oleh kareka itu, pengawasan yang melibatkan segenap stecholder sangat perlu. Disamping meminimalisir terjadinya potensi kecurangan, setidaknya masyarakat jauh lebih tahu tentang bentuk-bentuk penyelewengan yang dlakukan oleh pihak sekolah, utamanya dalam hal anggaran dan tingkat kehadiran guru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI