Aku benar-benar kehilangan akal sehat menghadapi perasaan takut serta kegundahan yang aku sedang alami, ingin rasanya aku berlari sekencang-kencangnya tanpa memikirkan tulisan finish serta benang halus yang telah tersedia diakhir pelarian. Aku sangat menyadari saat ini aku tidak akan bisa berlari, tapi hatiku terus berteriak, “larilah dan terus lari sampai engkau tak lagi bisa berlari”, bisiknya dengan tegas.
Aku mengalami dilema yang berkepanjangan, Bila aku terus mengikuti perasaan, akan ada kekecewaan dan kemarahan dari Ayah dan Ibuku. Bila aku harus mengikuti permintaan suci dari kedua orang tuaku, hati ini benar-benar memberontak, karena aku tidak bisa membohongi perasaan cintaku yang begitu besar pada pacarku. Aku ingin sekali berlari dari keduanya, tapi aku tidak sanggup melihat air mata tumpah dari mereka.
Saat aku memandangi cermin besar berbingkai biru yang menempel di dinding kamar, aku melihat sebuah bayangan samar, bayangan itu perlahan-lahan muncul dari tubuh ini, saat memandang wajahnya terlihat jelas mirip denganku. tapi wajahnya begitusuram dengan mata memerah seperti saga dansuara setengah berteriak ia berkata : "Lari sobat, ayo lari”, aku hanya terdiam dan membisu, "Hei, kenapa masih berdiri, ayo lari" Ia membentak lagi dengan suara lebih meninggi dari suara sebelumnya. Aku terus diam, beberapa detik kemudian dia berkata lagi,
“Masalah itu datang dari hati, kemanapun engkau pergi, masalah itu tetap mengikutimu, kamu harus berani, harus berani, hadapilah sobat!!!”Sambungnya dengan nada suara rendah sambil menunjuk muka dengan geram. Tak sepatah kata yang meluncur dari mulutku, aku hanya terus merenungi kata-katanya sambil memandangi cermin yang perlahan kabur oleh tetesan air mata penyesalan, ketakutan dan kegundahan, airmata ini terus mengalir di kedua mataku, Saat aku memandangi cermin, bayangan itu telah pergi.
*****------****
Tiga hari yang lalu, Adikku menelpon dan menyampaikan pesan dari Ibu agar aku segera pulang kerumah secepatnya, mendengar pesan itu, muncul pertanyaan dibenakku, apakah ini ada kaitan dengan pembicaraan kami sebelumnya. Saat aku pulang kerumah tiga bulan yang lalu, Ibu menyampaikan keinginannya untuk mempunyai cucu, aku hanya tersenyum saja mendengar permintaan tersebut. Dari pancaran matanya tergambar permintaan yang sungguh-sungguh. Walaupun saat itu aku hanya tersenyum, didalam hatiku terasa beban untuk mewukudkannya.
Karena pekerjaanku masih banyak yang belum diselesaikan dan ijin dari atasan belum juga turun, aku harus menunda kepulanganku selama 3 hari. Aku ingin cepat sekali pulang untuk menemui Ayah dan Ibuku karena rasa kangen juga menyelimuti jiwa ini. Selain itu aku penasaran dengan pesan Ibu yang berharap aku pulang lebih cepat, walau aku harus menempuh perjalanan selama 5 Jam, tetapi semangat tetap mendampingiku
Perjalananku yang panjang berakhir dengan langkahku saat memasuki rumah tua bercat warna kuning, terlihat warnanya terlihat kusam, di rumah ini pula tempat pula ruh ditiupkan ke jasadku. Rumah yang penuh kenangan indah, tempatku tertawa, menangis dan di nasehati oleh Ayah, masih tergambar jelas diingatankusaat aku dikurung didalam kamar selama berjam-jam sebagai hukuman atas kelakuan nakal yang aku pernah lakukan.
Hatiku begitu bahagia saat aku disambut dengan senyuman oleh Ayah dan Ibu, senyuman kegembiraan dan penuh kasih sayang yang menghiasi bibir mereka, dibalik senyum itu terlihat raut muka kesedihan, kesedihan itu, belum mampu aku menebaknya. Saat aku memandangi air muka keduanya, terlihat jelas bayangan ketuaan yang menghampiri mereka, kerutan-kerutan yang menghiasi wajah mereka menyadarkan akan perjuangan gigih mereka dalam memperjuangkan hidup anak-anaknya. Mereka tak kenal lelah dalam membiayaku sekolah hingga aku dan adikku menyelesaikan kuliah, walaupun mereka bekerha sebagai petani yang tidak memiliki lahan, mereka tetap percaya diri untuk menyekolah anaknya dikala datang bisikan serta ejekan dari orang lain.
Tatkala matahari membenamkan diri diufuk barat, hatiku mulai dilanda kegundahan, resah serta ketakukan akan kenyataan hidup yang harus aku tanggung. Kemudian aku bersimpuh diatas sajadah merah pembelian Ayah disaat aku menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP), tidak lama sesudah itu, aku mendengar suara pintu kamar diketuk dengan halus.
“Maz, ayo.. keluar sebentar, dipanggil Ayahmu”, suara halus Ibumemanggilku dengan lembut.
“Iya Bunda, saya keluar sekarang”
Sebelum keluar dari kamar hatiku bertanya-tanya, tidak seperti biasanya aku dipanggil ayahku seperti ini sebelumnya. Biasanya aku dan Ayahku akan berbincang-bincang setelah makan malam bersama, “ada yang aneh”pikirku. Saat aku telah duduk dihadapan mereka, Ayah memulai pembicaraan dengan suara yang begitu lembut.
“Maz...Ayah dan Ibumu sudah tua, kami berdua ingin sekali menimang cucu, apakah kamu tidak terpikir untuk berumah tangga”
Aku hanya terdiam dan menunduk mendengar pertanyaan Ayahku, aku sungguh tak mampu menjawabnya, aku melihat wajah harapan dan kesedihan diwajahnya.
“Maz, umurmu sudah cukup untuk menikah, kamu juga memiliki pekerjaan tetap, menurut Bunda kamu harus segera menikah nak” Kata Ibumenimpal pertanyaan Ayah sambil memandang kearahku.
“Kamu belum punya pacar nak” Tanya Ibuku lagi
“Ada bunda, Tapi....”aku tak sanggup meneruskannya lagi karena sungguh tidak ungkin kuceritakan tentang hubunganku, karena aku takut mereka kecewa setelah mendengar penjelasanku.
“Tapi apa nak” desak ibu sambil memandang wajah Ayah yang hanya diam tapi terus menunggu jawabanku. Aku hanya diam tanpa berani memandang wajah mereka. Lama terjadi kehingan diantara kami sampai Ayahku berkata,
“Sebenarnya kami telah mencarikan pasangan untukmu berumah tangga, dia gadis baik dan sudah selesai kuliah, kami rasa itu cocok denganmu nak”
Aku begitu kaget mendengar kata-katanya, kemudian aku memandang wajah mereka bergantian berusaha menebak siapakah gadis yang akan dijodohkan denganku.
“Siapa gadis itu Ayah”,tanyaku penuh selidik.
“Kamu pasti mengenalnya, dia itu anak Pak Rahmat teman ayah”
Aku hanya terhenyak mendengarnya, aku mengenal Lia anaknya Pak Rahmat, dulu ia sering main ke rumah ini untuk bermain dengan adikku, seingatku gadis itu memang cantik, kecantikanitu sudah terlihat saat dia masih kecil, tapi sedikitpun tak ada rasa cinta yang kumiliki padanya, selain itu Lia juga teman sekolah adik perempuanku.
“Besok Pak Rahmat datang kemari, Bunda berharap sekali kamu bisa menerimanya nak, karena keluarga kita banyak berhutang budi pada mereka, mereka juga banyak membantu biaya kuliah kamu”
Aku semakin terdiam mendengar penjelasan Ibuku, selain itu aku merasakan kesedihan mendengar penjelasan mereka dan juga ada perasaan bersalah yang menyelimuti, karena keinginanku untuk kuliah begitu besar, keluargaku harus meminta bantuan orang lain agar anaknya bisa tetap kuliah. Selama ini Ayah dan Ibu selalu memberikan uang tepat waktu, sungguh aku tidak tahu kejadian sebernya seperti ini, suatu kenyataan pahit yang harus aku terima.
*****------*****
Sungguh sulit aku memejamkan mata ini, rasa bergejolak dalam dada terus menghimpit dada, aku ingin menjelaskan semuanya, bahwa aku tidak bisa menerima perjodohan itu, tapi aku tak kuasa melakukannya, aku tidak ingin ada air mata yang tumpah di wajah Ibuku, bila air mata itu keluar akan sulit dihentikan, pengalamanku yang mengajarkan bahwa air mata itu jangan sampai keluar, dulu aku pernah menumpahkan air matanya, yang berujung pada sakitnya Ibuku.
Namun disisi lain, aku sangat mencintai pacarku, sedikitpun tak pernah terpikir olehku untuk menyakitinya, karena aku menjalani hubungan yang luar biasa. Kasih sayang diantara kami tidaklah mudah terjadi, perjuangan panjang telah kami lalui bersama untuk menggapai hubungan ini.
Bila aku ingat masalalu yang pernah aku alami, Aku begitu menyesal, marah dengan diriku sendiri, andaikan dulu aku bisa menjaga diri dari godaan, saat ini aku telah berumah tangga, mungkin juga saat ini aku sedang bersendah gurau dan menjadi kuda imitiasi anakku. Ketidakmampuanku menolak suatu ajakan karena harus membalas budi, akhirnya telah merubah segala sudut pandangku tentang arti hidup.
Aku tak kuasa lagi mengusap airmata, kubiarkan terus menetes sampai aku tak sanggup berdiri, kata-kata yang diucapkan bayangan tadi telah merasuki jiwa, Ya, aku harus berani menyampaikan ini, walaupun nanti cacian yang aku terima, aku harus siap menerimanya, karena aku tak ingin menyakiti hatiku sendiri serta hati kedua orangtuaku.
*****_____*****
Suara Adzan shubuh yang sangat merdu serta menyayat hati segera membangun aku dari tidur, setelah menjalankan ibadah shubuh, perlahan-lahan aku keluar dari kamar untuk menuju kamar orang tuaku, kemudian aku mulai mengetuknya, saat pintu terbuka aku mengajak Ayah dan Ibuku keluar untuk mendengarkan sesuatu yang inginaku sampaikan pada mereka.
“Ayah, Ibu maafkanlah saya, aku tidak bisa menerima Lia sebagai istriku”
“Kenapa nak?” tanya Ibu dengan nada terkejut, Aku terdiam sambil mempersiapkan jawaban tapi kemudian Ayah berkata
“Nak, Menolak memang hak kamu, tapi Ayah mohon kamu pikirkan dulu dengan matang, Ayah tak kuasa menolak permintaan Pak Rahmat”, Jelas Ayah dengan nada kecewa.
“Saat ini Dimaz ingin jujur, Dimaz bukannya tidak menyukai Lia, tapi Dimaz....”aku tak kuasa melanjutkan kata-kata lagi, perasaan cemas dan ragu mulai menggerogotiku.
“Tapi apa maz”
“Dimaz...Dimaz... Dimaz sudah punya pacar Bunda namanya Novi, dia seorang laki-laki”
“Apa.............. !!!!!!!” Aku melihat muka mereka pucat tanpa darah
“Maafkan Dimas Ayah, dalam hal ini Dimaz memang salah dan telah membuat kalian kecewa, Dimas mau menikah dengan Lia, Tapi Dimas tak menghancurkan persahabatan Ayah dengan Pak Rahmat dan Dimas tak mau kalian malu menanggung aib Dimas ”
Terlihat wajah ayah menaharan amarah kepadaku, sepertinya saat itu dia ingin sekali menamparku, disisi lain terlihat ibuku sangat shock mendengar penjelasanku tadi. Namun dimata keduanya terlihat butiran air mata yang mengalir membasahi pipi mereka, terlihat ada kemarahan, kekecewaan dan kesedihan yang mendalam diraut muka.
Pagi ini Aku benar-benar merasakan lega, tidak ada lagi beban yang selama ini menghimpit serta aku sembunyikan dari orangtua. Gerimispun pecah saat aku menceritakan mengapa aku lebih menyukai lelaki daripada perempuan. Pada pertengahan kuliah, aku berusaha meringankan beban orang tua dengan cara mencari tempat tinggal yang murah agar aku tetap bisa menjalani kuliah. Saat aku mendapat tawaran tempat tinggal gratis dari seorang senior, dengan senang hati aku menerimanya, tapi aku harus membayarnya dengan mahal. Aku tak kuasa menolak ajakannya untuk memenuhi nafsu bejatnya, hingga akhirnya akupun mulai menikmati semuanya itu.
Ditengah gerimis yang kian mereda, aku mendengar suara bisikan dari Ibu "Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu nak, Bunda akan selalu berdoa agar kamu bisa sembuh"
"Amien", bisikku didalam hati yang diiringi dengan menetesnya air dari kedua mataku. Saat itu aku tidak lagi mendengar suara gerimis yang memecah, aku melihat cahaya matahari pagi memasuki celah jendelah rumah kami.
Nomor 214, Salvatore Guiliano + Fajar Wibowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H