Mohon tunggu...
Muhammad Hidayat
Muhammad Hidayat Mohon Tunggu... -

Lebih kurang empat tahun terakhir hidup di Beijing, melihat dan merasakan kemajuan di negeri Tiongkok ini. Menjadi pelajaran sangat berharga. Banyak hal, yang di negeri sendiri, negeri tercinta, cuma menjadi perdebatan antar kusir, tak ada ujung, di Tiongkok sini sudah dibikin tanpa banyak cing cong. Mungkin bisa sedikit share buat yang lain. Siapa tau bermanfaat. Smoga.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jangan Pidanakan Perdata (9)/Terakhir

12 Agustus 2012   03:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:54 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB V

KASUS MERPATI DALAM BERITA

“Injustice never rules forever”; Seneca, filsuf Romawi yang hidup dalam penindasan Kaisar Nero (4 BC – AD 65)

Perkara sewa pesawat Merpati yang melibatkan Hotasi Nababan ternyata cukup ramai diberitakan media-massa. Sejak perkara ini diadukan segelintir orang yang menamakan diri Solidaritas Pegawai Merpati (SPM) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Juni 2007, hingga penegasan kejaksaan agung yang akan melimpahkan perkara ini ke pengadilan, April 2012.

Yang menarik dari pemberitaan media selalu bersumber dari Kajakgung. Potongan berita yang disampaikan tidak memasukkan fakta bahwa Merpati sudah menggugat dan memenangkan di Pengadilan Columbia AS. Demikian juga fakta-fakta hukum lainnya. Berikut beberapa berita di media online dan cetak yang dihimpun oleh tim penyusun buku ini.

Selain itu, ditampilkan juga diskusi di grup milis “Simpati Hotasi Nababan” tentang perkara hukum ini. Grup milis ini digagas oleh Ikatan Alumni ITB.

SOLIDARITAS PEGAWAI TUNTUT KPK SEGERA USUT KORUPSI MERPATI

Arry Anggadha - detikNews

Senin, 04/06/2007 14:49 WIB

Jakarta- Pengusutan kasus yang menimpa PT Merpati Airlines masih belum menunjukkan kejelasan. Solidaritas Pegawai (SP) Merpati mendesak KPK segera mengusut kasus yang diduga merugikan negara US$ 1 juta itu. “kami sudah lama melaporkan kasus ini ke KPK, tapi hingga kini belum jelas statusnya. Kami minta KPK segera menindaklanjuti kasus kami,” kata Koordinator SP Merpati, I Wayan Suwarna, di Gedung KPK, Jl. Veteran III, Jakarta, Senin (4/6/2007). Wayan menjelaskan, pihaknya pun menyerahkan bukti-bukti baru tentang dugaan korupsi dalam kasus ini. “selama ini kan KPK hanya menyatakan bahwa kasus Merpati itu hanyalah kasus penipuan. Jadi kami serahkan bukti-bukti kalau kasus ini adalah kasus korupsi,” jelas dia.

Menurut dia, tindak pidana korupsi itu terjadi ketika Merpati menyerahkan transfer dana Hume Associates. Tidak langsung ke TALG, sebagai penyewa 2 unit pesawat ke Merpati. “Pembayaran yang dilakukan pihak manajemen tidak sesuai dengan prosedur dengan membayar US$ 1 juta ke Hume. Kenapa mereka tidak langsung membayarnya ke TALG,” jelasnya. Saat bertemu dengan SP, lanjut dia, KPK berjanji akan segera menyelidiki kasus ini. “Mereka berjanji akan segera menaikkan status kasus ini menjadi penyelidikan,” pungkasnya. Kasus ini terjadi sekitar 21 Desember, ketika Merpati menyewa 2 Boeing 737-400 dan 737-500. Merpati pun sudah mentransfer dana sebesar US$ 1 juta untuk segera mendapatkan pesawat itu. (ary/asy)

DIREKSI MERPATI BOHONGI DPR SOAL SEWA PESAWAT

www.kapanlagi.com,

Jumat, 8 Juni 2007 06:19:00

Kapanlagi.com - Sejumlah anggota Komisi V DPR menduga, Direksi PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati) telah melakukan kebohongan publik karena uang BUMN Penerbangan US$1 juta disetorkan ke pihak lain, Hume Associates, sebelum diterima TALG. “Indikasi itu (kebohongan publik) ada karena saat Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi V DPR pada 14 Mei lalu, Hotasi melaporkan uang deposit tersebut langsung diterima TALG,” kata anggota Komisi V DPR, Abdul Hakim saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

Thirstone Aircraft Leasing Group (TALG) adalah perusahaan pembiayaan yang wanprestasi karena tidak dapat menyerahkan dua pesawat (B737 400 dan 500) pesanan Merpati pada 5 Januari 2007 dan 20 Maret 2007. Padahal, Merpati, kata Hotasi saat hearing itu, telah menyetorkan refundable security deposit (uang tanda jadi/uang jaminan yang bersifat dapat dikembalikan) senilai satu juta dolar AS kepada TALG pada 18 Desember 2006.

Sebelumnya, Koordinator Solidaritas Pegawai Merpati (SPM), Wayan Suarna telah melaporkan hal itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diindikasikan

ada tindak pidana korupsi. “Transaksi itu jelas tidak wajar,” kata Wayan. Hume Associates, menurut Wayan, adalah semacam Law Firm dari TALG di Amerika Serikat. Menurut Hakim, pihaknya kaget karena dalam rapat pemaparan itu, Hotasi jelas-jelas sama sekali tak menyinggung soal transaksi “tak wajar” itu. “Oleh karena itu, saya mendesak agar BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) segera mengaudit Merpati terkait dengan transaksi itu,” katanya.

Jika hal itu benar adanya, lanjut Hakim dari FPKS ini, berarti, Hotasi telah melakukan kebohongan publik di depan parlemen dan jika ini benar, dia telah melanggar etika dan integritasnya diragukan sebagai CEO sebuah BUMN strategis. “Kita akan minta klarifikasi masalah ini secepatnya,” katanya. Senada dengan Abdul Hakim, anggota Komisi V DPR lainnya, Abdullah Azwar Anas juga kaget mendengar laporan dari SPM itu. “Saya kaget. Saya juga masih ingat hal itu tak disampaikan Hotasi saat hearing beberapa waktu lalu. Ini bisa diindikasikan, Hotasi telah melakukan kebohongan publik,” kata Anas.

(gambar: Acara temu karyawan Merpati--Maju Untuk Merdeka, 2003.)

Berdasarkan kejadian itu, Anas mempertanyakan penyelidikan kasus ini dihentikan untuk sementara oleh Kejaksaan Agung dan Mabes POLRI. “Ini indikasi transaksi tak wajar. Penyelidikan itu layak diteruskan. Ada aroma tak sedap,” katanya. Bahkan, anggota Komisi V DPR lainnya saat hearing tersebut, Abubakar Alhabsy, mengatakan, dalam kasus itu, Merpati telah melakukan kecerobohan mendasar karena Merpati tak gunakan pakem sewa-menyewa pesawat secara profesional. “Lazimnya, maskapai cari pesawat itu harus gunakan broker profesional, sementara TALG bukan broker tetapi perusahaan pembiayaan,” kata Abubakar.

Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Perusahaan Merpati Irvan Harijanto membantah penilaian bahwa transaksi dengan TALG melalui Hume Associates tersebut adalah tak wajar. “Hal itu sudah selazimnya terjadi pada transaksi internasional. Justru harus lewat `law firm` tak bisa langsung ke TALG. Ini berbeda dengan transaksi bisnis di Indonesia,” kata Irvan. Jika di Indonesia, katanya, pembayaran langsung ke penjual atau pemilik sebelumnya dan penasehat hukum hanya mendampingi atau mengetahui saja.

Soal tudingan bahwa Hotasi saat hearing pada 14 Mei dengan Komisi V DPR tak jelaskan soal itu, Irvan juga membantah. “Kan di sana tergantung pertanyaannya. Kalau soal sewa pesawat, penjelasannya seputar TALG,” kata Irvan. Padahal, kata Anas, hearing dimaksudkan agar Merpati menjelaskan secara rinci dan detail seputar transaksi US$1 juta dengan TALG yang diduga bermasalah dan berpotensi merugikan negara sekitar Rp9 miliar. (*/rsd)

KASUS PENGADAAN PESAWAT MERPATI

Kejagung: Kasus sewa pesawat Merpati rugikan negara US$ 1 juta

Oleh Dea Chadiza Syafina – www.kontan.co.id, Kamis, 07 Juli 2011 | 22:40 WIB

JAKARTA. Kejaksaan Agung mensinyalir adanya kerugian dalam proses penyewaan pesawat komersial MA-60 yang dilakukan untuk PT Merpati Nusantara Airlines. Kerugian tersebut, diindikasikan akibat tindak korupsi, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara hingga US$ 1 juta atau setara dengan Rp 9 miliar.

Keterangan ini diungkapkan oleh Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, M. Jasman Pandjaitan, kepada sejumlah media pada Kamis (7/7) di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Jasman menyebut bahwa tim penyelidik pada Jampidsus mengindikasikan kerugian yang mencapai US$ 1 juta itu, ditemukan dalam rentang waktu tahun 2007 hingga tahun 2011. “Kalau kerugian negara sudah jelas ada US$ 1 juta. Tapi untuk adanya tindak pidana atau belum, kami belum tahu. Karena harus mencari perbuatan melawan hukumnya,” tutur Jasman kepada sejumlah media di kantornya.

Lebih lanjut Jasman menyebut bahwa sebelumnya PT Merpati Nusantara Airlines sepakat untuk melakukan penyewaan terhadap dua unit pesawat, yang merupakan langkah fit and proper test sebelum melakukan pembelian atas pesawat MA-60 tersebut. Pesawat tersebut berasal dari Amerika, dengan harga sewa sebesar US$ 500.000 per unitnya, sehingga total harga sewa kedua pesawat itu adalah US$ 1 juta. Perusahaan penerbangan pelat merah tersebut kemudian membayar sewa kedua pesawat itu, dengan catatan, pihak Merpati harus sudah menerima pesawat tersebut pada 2007. Tapi ternyata, MA-60 itu belum juga diterima oleh Merpati bahkan hingga tahun 2011. “Dari laporan yang kami terima, sampai sekarang pesawat itu belum pernah dikirim. Uangnya sudah dibayarkan, tapi pesawat itu belum diperoleh,” imbuhnya.

Proses penyelidikan penyewaan dan pengadaan pesawat ini, hingga kini masih berlanjut. Penyelidik pun masih melakukan penyidikan, terkait dengan pertanggungjawaban dan izin mengucurnya uang sejumlah US$ 1 juta. Tim penyelidik juga tengah berupaya agar uang sebesar US$ 1 juta itu, dapat dikembalikan kepada negara, mengingat itu merupakan uang negara. “Ini masih dalam tahap penyelidikan, mengenai ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum. Kerugian negara sudah ada, sekarang bagaimana uang US$ 1 juta itu kembali,” tandasnya.

Senada dengan Jasman, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto menjelaskan bahwa hingga kini pihaknya masih terus melakukan upaya penyelidikan. Pihak Korps Adhyaksa masih menghimpun seluruh informasi yang menyangkut proses penyewaan maupun pengadaan pesawat yang mengalami kecelakaan di Kaimana, Papua tersebut. “Iya, semua informasi yang kita peroleh, kita tampung semua, supaya bahan penyelidikan lebih lengkap,” ujarnya.

Selanjutnya Andhi menyebut bahwa pihaknya telah meminta keterangan dari Direksi Merpati, terkait dengan kasus ini. Namun Andhi enggan untuk merinci, siapa saja Direksi Merpati lainnya yang telah diperiksa. Andhi pun mengaku masih belum mendapatkan laporan, perihal perhitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Belum ada laporan (dari BPKP), masih berlanjut,” pungkasnya.

KEJAKSAAN GELAR PERKARA KASUS PT MERPATI

www.vivanews.com,

Rabu, 3 Agustus 2011, 13:33 WIB

VIVAnews—

Kejaksaan Agung akan melakukan gelar perkara kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat B-737 oleh PT Merpati Nusantara Airlines. Gelar perkara dilakukan sebelum penetapan tersangka kasus dugaan korupsi senilai Rp9 miliar ini. “Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh JAM Pidsus nanti sebelum menentukan tersangkanya siapa, diharapkan dapat diekspos terlebih dahulu,” kata Wakil Jaksa Agung Darmono di Jakarta, Rabu, 3 Agustus 2011. Darmono mengatakan perkara PT Merpati Nusantara Airlines ini masih dalam tahap penyelidikan. “Nanti seterusnya akan kami informasikan, sebagai bentuk tranparasi kami terhadap masyarakat,” kata Darmono.

Darmono tidak mengungkapkan kapan gelar perkara akan dilakukan. Dia juga tak mau mengatakan siapa tersangka yang sudah dibidik oleh kejaksaan terkait kasus ini. “Nanti akan kami informasikan berdasarkan hasil penyelidikan secara menyeluruh. Siapa yang paling bertanggung jawab secara pidana, akan djadikan tersangka,” kata dia. Dia juga menolak menyebutkan siapa saja yang akan diperiksa terkait kasus ini. Alasannya, pemanggilan itu terlalu teknis untuk diungkapkan ke publik. “Kalau pemanggilan orang dan sebagainya tidak etis untuk diinformasikan. Siapa yang akan diperiksa, siapa yang jadi tersangka, tidak boleh,” katanya.

Kasus ini berawal pada tahun 2006, saat Direksi PT Merpati Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing 737 dari perusahaan TALG di Amerika Serikat. Biaya sewa untuk masing-masing pesawat seharga US$ 500 ribu. Uang sebesar US$1 juta sudah dibayarkan ke rekening Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri. Namun, hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT Merpati Nusantara Airlines.

Tim Jaksa Penyidik kemudian mengendus adanya indikasi tindak pidana korupsi sebesar satu juta dolar AS dalam kasus tersebut, sehingga meningkatkan status kasus tersebut dari penyelidikan ke penyidikan. Kejaksaan sendiri telah memeriksa mantan Dirut Merpati Cucuk Suryosuprojo dan Hotasi Nababan sebagai saksi. Selain itu, kejaksaan juga telah memeriksa Presiden Direktur Merpati, Sardjono Jhoni, sebagai saksi.

Kasus ini mencuat setelah Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu melaporkan adanya dugaan praktek penggelembungan harga pesawat Merpati tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain kasus penyewaan pesawat, Kejaksaan juga menangani dugaan penggelembungan harga pembelian pesawat MA60 di PT Merpati. Namun, belum diketahui sejauh mana perkembangan kasus ini. (kd)

DUA BEKAS BOS MERPATI JADI TERSANGKA KORUPSI

Penetapan tersangka dilakukan pada Selasa 16 Agustus 2011.

www.vivanews.com,

Kamis, 18 Agustus 2011, 09:03 WIB

VIVAnews -Dua bekas petinggi PT Merpati Nusantara Airlines ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 dari perusahaan TALG di Amerika Serikat. Mereka adalah Hotasi Nababan dan Guntur Aradea. “Ditetapkan per 16 Agustus 2011 kemarin,” kata Juru Bicara Kejaksaan Agung, Noor Rachmad saat dihubungi VIVAnews.com, 18 Agustus 2011. Hotasi Nababan adalah bekas direktur utama Merpati. Sedangkan Guntur Aradea adalah bekas direktur keuangan Merpati.

Kasus ini berawal pada tahun 2006, saat Direksi PT Merpati Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing 737 dari perusahaan TALG di Amerika Serikat. Biaya sewa untuk masing-masing pesawat seharga US$500 ribu. Uang sebesar US$1 juta sudah dibayarkan ke rekening Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri. Namun, hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT Merpati Nusantara Airlines.

Tim Jaksa Penyidik kemudian mengendus adanya indikasi tindak pidana korupsi sebesar satu juta dolar AS dalam kasus tersebut, sehingga meningkatkan status kasus tersebut dari penyelidikan ke penyidikan. Kejaksaan sendiri telah memeriksa mantan Dirut Merpati Cucuk Suryosuprojo dan Hotasi Nababan sebagai saksi. Selain itu, kejaksaan juga telah memeriksa Presiden Direktur Merpati, Sardjono Jhoni, sebagai saksi.

(gambar: Hotasi Nababan menyapa penumpang Merpati di Bandara Soekarno Hatta.)

Kasus ini mencuat setelah Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu melaporkan adanya dugaan praktek penggelembungan harga pesawat Merpati tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain kasus penyewaan pesawat, Kejaksaan juga menangani dugaan penggelembungan harga pembelian pesawat MA60 di PT Merpati. Namun, belum diketahui sejauh mana perkembangan kasus ini. (Eko Huda S, Nila Chrisna Yulika)

KUBU MANTAN BOS MERPATI:

Ini Kasus Perdata

www.vivanews.com,

Jum’at, 19 Agustus 2011, 12:19 WIB

VIVAnews—Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan bos PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan sebagai tersangka. Dia diduga telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar 1 juta dolar atas penyewaan pesawat tipe Boeing 737-400 dan 737-500 oleh perusahaan TALG USA. Hotasi tak sendiri, Guntur Aradea, mantan direktur keuangan Merpati, juga dinyatakan terlibat.

Kejaksaan Agung mengaku telah memiliki cukup bukti untuk memidanakan keduanya. Namun, Kuasa Hukum eks Dirut Merpati, Lawrance mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah memaksakan diri untuk memidanakan kasus perdata. “Sebab itu murni perdata,” kata Lawrance TP Siburian saat dihubungi VIVAnews.com, Jumat 19 Agustus 2011. Selain itu, kata Lawrance kasus ini bukanlah perbuatan tindak pidana korupsi. Hal ini karena kasus ini tak memenuhi tiga unsur yang diperlukan untuk menjerat seseorang dalam tindak pidana korupsi. Ketiga syarat itu adalah adanya perbuatan melawan hukum, adanya kerugian negara dan ada yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “Ketiga hal tersebut harus terpenuhi, tidak bisa hanya satu saja. Kalau dia bilang ada kerugian negara, dimana kerugian negaranya,” kata dia.

Lawrance menceritakan, dalam perjanjian penyewaan pesawat boeing 737-400 dan 737-500 antara Merpati dan TALG disebutkan bahwa dari masing-masingnya pesawat harus menaruh security deposite sebesar USD 500.000. Uang Itu disimpan di Hume & Associates. Kantor pengacara yang ditunjuk oleh TALG untuk menyimpan uang itu. Oleh karena itu, Merpati mentransfer uang sebesar 1 Juta USD ke rekening Hume & Associates melalui Bank Mandiri. Uang itu disimpan hingga Merpati mendapatkan pesawat tersebut.

Itu berarti, kata Lawrance uang itu harus dikembalikan setelah masa akhir penyewaan. Berbeda dengan uang cicilan atau uang muka. “Jadi perjanjian itu, kalau pesawat nggak ada, uang ini harus dikembalikan,” ungkap Lawrance. Ternyata, TALG tak mengirim pesawatnya padahal dalam perjanjian pesawat itu sampai ke Indonesia pada Januari untuk Boeing 737-500 dan Maret untuk Boeing 737-400.

TALG dinilai wan prestasi. Tak ada pesawat yang datang, tapi uangnya tidak dikembalikan. Karena itu, Lawrance mengatakan Merpati menggugat di pengadilan distrik Washington DC. Kemudian pengadilan distrik Washington DC memutus perkara ini dan menyatakan bahwa TALG telah melakukan wanprestasi dan karena itu dia diwajibkan mengembalikan uang security deposite Merpati sebesar US$1 juta beserta bunganya.

Namun Hume & Associates tak mau mengembalikan uang itu kepada Merpati dengan alasan belum mendapatkan ijin dari TALG. “Nah ketika putusan ini kami eksekusi, yang bersangkutan mengajukan kepailitan di Chicago dan kami intervensi di dalam permohonan ke pailitan itu,” kata dia. Namun pengadilan kepailitan Chicago memutuskan untuk menolak permohonan TALG untuk mengesampingkan putusan Washington DC. Artinya, kata Lawrance, TALG tetap harus mengembalikan uang Merpati sebesar US$1 juta sebagaimana putusan distrik Washington DC. “Setelah ada putusan itu, kami kejar eksekusinya. Mereka sudah bayar 1 kali sebesar USD 4.793. Dengan itu, artinya ini murni perdata utang piutang,” kata dia.

Namun, kata Lawrance pembayaran itu tak dilanjutkan karena kuasa untuk menagih pembayaran itu dicabut oleh direksi yang baru. “Kalau dicabut, berati kita tidak bisa kejar eksekusi lagi dong,” tuturnya. Alasan dicabut itu, karena biaya pengacaranya terlalu tinggi. Semua rangkaian ini, kata Lawrance adalah rangkaian peristiwa perdata apalagi sudah ada pembayaran. “Berarti murni perdata, kenapa dibawa ke pidana, ada apa sih di Kejaksaan Agung,” kata dia.

Lawrance juga mengatakan, pihaknya telah berusaha memberikan data-data hasil pengadilan di Wasington DC, Namun penyidik Kejaksaan Agung menolak. “Padahal putusan pengadilan itu akta otentik dan akta otentik itu adalah alat bukti menurut KUHP. Penyidik tidak boleh mengesampingkan fakta otentik berupa putusan pengadilan ini,” tambahnya. Kemudian kata Lawrance, Mabes Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan bahwa kasus ini tidak ditingkatkan ke penyidikan karena ranah perdata. “Tapi kenapa Kejaksaan tetap menyatakan ini perbuatan korupsi. Kalau menurut saya ini sebuah rekayasa yang luar biasa,” kata dia.

Selain itu, kata Lawrance hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2007 menyatakan adanya potensi kerugian negara. “Ini baru potensi, bukan kerugian negara,” kata dia. Lagi-lagi, bukti dari audit BPK ini tak digubris oleh Kejaksaan Agung. Jika kasus ini tetap dibawa ke ranah pidana korupsi, kata Lawrance maka, pihaknya akan mengajukan gugatan kepada Kejaksaan Agung dan penyidiknya dengan menggunakan Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang Kepegawaian. “Bagaimana sih sebenarnya kerja mereka?” kata dia. (umi)

KASUS SEWA MERPATI

Hotasi Nababan: Ini Risiko Bisnis

www.kompas.com

Jumat, 19 Agustus 2011 | 13:02 WIB

M Fajar Marta | Marcus Suprihadi

JAKARTA, KOMPAS.com Tersangka kasus penyewaan pesawat Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan meminta Kejaksaan Agung tidak mengkesampingkan fakta hukum yang terkait dengan perkara ini, terutama putusan pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat. “Pengadilan Distrik Washington menerima gugatan Merpati dan mewajibkan TALG sebagai penyewa pesawat mengembalikan uang milik Merpati. Upaya kami menggugat TALG menunjukkan tidak ada kongkalikong antara Merpati dan TALG. Ini murni persoalan wanprestasi. Dan bagi Merpati ini merupakan risiko bisnis,” kata Hotasi, Kamis (18/8/2011) di Jakarta.

Kasus ini bermula saat Merpati berencana menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirstone Aircraft Leasing Group (TALG) senilai satu juta dollar AS pada 2006. Sesuai perjanjian, dua pesawat seharusnya diserahkan ke Merpati pada awal 2007. Namun ternyata pesawat tidak diserahkan, sementara uang sewa sebesar satu juta dollar AS sudah dibayar Merpati. Karena merasa dirugikan, Merpati menggugat TALG di Pengadilan Distrik Washington DC yang kemudian memenangkan Merpati dan mewajibkan TALG mengembalikan uang Merpati sebesar satu juta dollar AS. Menurut Hotasi, fakta hukum berupa putusan pengadilan Distrik Washington sangat penting karena itu menunjukkan tidak ada upaya melawan hukum maupun kerugian negara dalam kasus Merpati. “Jadi perkara ini tidak seharusnya dipidanakan. Polisi dan KPK sebelumnya juga menyatakan kasus ini murni perdata,” kata Hotasi.

Sementara itu, Lawrence TP Siburian, penasihat hukum Hotasi mendesak Kejaksaan Agung melakukan gelar perkara terhadap kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines. Hal itu diperlukan untuk menguji apakah kasus tersebut masuk ranah perdata atau pidana. Lawrence juga menyangkal ada upaya melawan hukum yang dilakukan Hotasi dan jajaran manajemen lainnya.Berdasarkan anggaran dasar perusahaan, sewa operasional pesawat tidak perlu meminta persetujuan pemegang saham. “Izin pemegang saham baru diperlukan kalau kita ingin membeli pesawat. Nah ini kan menyewa, jadi tidak diperlukan izin,” kata Lawrence.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad sebelumnya mengatakan, tim penyidik Kejagung telah menetapkan mantan Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan dan mantan Direktur Keuangan Merpati GA sebagai tersangka. Tim penyidik Kejagung menilai terdapat indikasi pidana korupsi dalam perkara penyewaan pesawat Merpati. Pasalnya, ditemukan bukti adanya upaya melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, serta merugikan keuangan negara.

KORUPSI PENYEWAAN PESAWAT

Jadi Tersangka, Eks Dirut Merpati Sebut Ada Dimensi Lain dalam Kasusnya

www.detik.com/M. Rizki Maulana,

Senin, 22/08/2011 18:22 WIB

Dua orang eks anggota Direksi PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi. Salah satu tersangka, Hotasi Nababan, pejabat Direktur Utama (Dirut) MNA tahun 2002-2007, menyatakan kekecewaan atas statusnya saat ini. Menurutnya, kebijakan yang telah diambilnya sudah dikriminalisasi, dan hal ini bisa saja terjadi pada Direksi BUMN lain.

“Saya melihat ada dimensi lain dari kasus ini. Ini terbukti bahwa kebijakan yang diambil oleh Dewan Direksi PT MNA bisa saja dikriminalisasikan, dan tidak menutup kemungkinan direksi BUMN lain, tidak hanya Merpati, bisa terkena masalah yang sama. Jadi hati-hati, kebijakan bisa dikriminalisasi,” ujar Hotasi Nababan dalam jumpa pers yang digelar di FPOD no 9, FX, Jakarta Selatan, Senin (22/8/2011). Lebih jauh Hotasi menegaskan, keputusan yang ia ambil adalah kegiatan korporasi, bukan individu. “Ini murni kegiatan korporasi untuk perusahaan bukan keputusan individu,”

Hotasi juga menunjukkan kekecewaannya terhadap institusi Kejaksaan Agung (Kejagung) yang dianggapnya tidak konsisten dalam melaksanakan keputusan. Menurutnya, sebelumnya pada 2007 Kejagung telah melakukan pemeriksaan dan tidak menemukan adanya perbuatan melawan hukum. “Saya sangat kecewa sekali, kenapa lembaga yang sama tidak mau mengacu pada file-file lama. File-file lama itu seharusnya kan bisa menjadi acuan dalam mengambil keputusan. Jika lembaga hukumnya saja inkonsisten, gimana rakyat mau taat hukum,” terangnya.

Sementara itu, penasihat hukum Hotasi Nababan sebelumnya menyatakan keberatan atas penetapan tersangka kliennya. Kejagung justru dinilai memaksakan diri dengan mempidanakan kasus perdata. “Kejagung terlalu memaksakan diri untuk mempidanakan kasus perdata, sebab itu murni perdata,” ujar penasihat hukum eks Dirut Merpati Hotasi Nababan, Lawrens TP Siburian, beberapa waktu lalu.

Lawrens menegaskan, kasus penyewaan pesawat ini seharusnya masuk ranah perdata. Sebab, yang terjadi adalah wanprestasi dalam penyewaan dua pesawat tipe Boeing 737-400 dan 737-500 oleh perusahaan TALG USA, bukannya kerugian negara. “Kalau dibilang ada kerugian negara, dimana kerugian negaranya. Itu kan belum kerugian negara, karena itu kan leasing, sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500. Itu dari masing-masingnya Merpati harus menaruh security deposit sebesar US$ 500 ribu dan perjanjiannya itu security deposit, bukan uang muka, artinya itu harus dikembalikan setelah masa akhir penyewaan, berbeda dengan uang cicilan atau uang muka. Jadi perjanjian itu, kalau pesawat tidak ada, uang ini harus dikembalikan. Nah ternyata, dia itu, TALG wanprestasi. Pesawatnya tidak ada, tapi uangnya tidak dikembalikan sama dia,” jelasnya.

Kasus ini terjadi pada 2006 ketika Direksi PT MNA memutuskan menyewa dua pesawat Boeing 737 dari perusahaan TALG di AS, senilai US$ 500 ribu untuk setiap pesawat. Uang sewa sebesar US$ 1 juta telah ditransfer ke rekening Hume Associates, lawyer yang ditunjuk TALG, melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut, tak kunjung diterima PT MNA. Diduga ada penyimpangan dalam proses penyewaannya. Kejagung melakukan penyelidikan dan memeriksa sejumlah mantan anggota Direksi PT MNA. Mereka adalah Hotasi Nababan (Dirut MNA 2002-2007), Cucuk Suryo Suprojo (pelaksana tugas Dirut MNA 2008) dan Sardjono Jhoni Tjitrokusumo (Presdir MNA 2010).

Selain Hotasi, ada eks Direktur Keuangan PT MNA berinisial GA yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Jampidsus Kejagung pada 16 Agustus lalu. (nvc/nvc)

KEJAGUNG CEKAL MANTAN DIRUT MERPATI

www.kompas.com, Selasa,

13 September 2011 | 08:38 WIB

M Fajar Marta | Robert Adhi Ksp

JAKARTA, KOMPAS.com—Tersangka kasus korupsi penyewaan pesawat PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, meminta agar Kejaksaan Agung berlaku adil dan mempertimbangkan seluruh fakta hukum yang ada.

”Saya yakin mayoritas jaksa profesional yang memiliki hati nurani menilai bahwa kasus ini perdata murni. Karena itu, kami memohon kesempatan untuk memberi penjelasan kepada semua tim penyidik karena pemeriksaan sebelumnya hanya satu kali dan tidak dalam,” kata Hotasi, Selasa (13/9/2011), di Jakarta, menanggapi langkah cegah tangkal yang dikeluarkan kejaksaan terhadap dirinya.

Kejaksaan Agung mencegah Hotasi Nababan, tersangka kasus korupsi penyewaan pesawat PT Merpati Nusantara Airlines, pergi ke luar negeri hingga enam bulan ke depan. Pencegahan dilakukan untuk memudahkan proses penyidikan. ”Jamintel sudah menandatangani surat cekal atas nama tersangka HN,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad. Sesuai surat cekal bernomor 233/D/DSP.3/09/2011 tanggal 12 September 2011 tersebut, Hotasi dicegah selama enam bulan. Menurut Noor, pencekalan dilakukan untuk memudahkan proses penyidikan. ”Agar proses penyidikan tidak terhambat,” kata Noor. Kejagung sejauh ini telah menetapkan dua tersangka dalam kasus Merpati, yakni mantan Dirut Merpati Hotasi Nababan dan mantan Direktur Keuangan Merpati Guntur Aradea. Kejagung baru mencekal Hotasi, sementara Guntur belum.

Kasus ini bermula saat Merpati tahun 2006 berencana menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirstone Aircraft Leasing Group (TALG), perusahaan Amerika Serikat, senilai 1 juta dollar AS. Saat itu Dirut Merpati dijabat oleh Hotasi Nababan dan Direktur Keuangan oleh Guntur Aradea. Sesuai kontrak, TALG akan menyerahkan dua pesawat tersebut kepada Merpati pada awal 2007.

Namun, ternyata pesawat tidak juga dikirim, sementara uang sewa sudah dibayar oleh Merpati. Tim penyidik Kejagung menilai terdapat indikasi pidana korupsi dalam perkara ini. Pasalnya, ditemukan bukti adanya upaya melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, serta merugikan keuangan negara. Penyidik menemukan fakta penyewaan pesawat dilakukan tanpa meminta persetujuan pemegang saham. Selain itu, manajemen Merpati yang lama dinilai kurang prudent karena tim penyidik menemukan bukti bahwa pesawat yang akan disewa Merpati ternyata telah disewakan terlebih dahulu ke pihak lain.

Hotasi mengatakan, perkara ini seharusnya digolongkan sebagai perkara perdata, yakni wanprestasi oleh TALG yang tidak mampu memenuhi kontrak penyerahan pesawat kepada Merpati. Pihak Merpati pun, kata Hotasi, sudah mengajukan gugatan hukum kepada pihak TALG melalui Pengadilan Distrik Washington DC Amerika Serikat. Hasilnya, Merpati dimenangkan dan TALG wajib mengembalikan uang milik Merpati. Sejauh ini TALG baru membayar ganti rugi sebesar 4.794 dollar AS.

MANTAN DIRUT MERPATI MINTA PENCEKALAN DICABUT

Hotasi Nababan dilarang bepergian ke luar negeri selama 6 bulan.

www.vivanews.com

Kamis, 15 September 2011, 19:13 WIB

VIVAnews - Kejaksaan Agung saat ini sudah mencegah mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, ke luar negeri terkait penyidikan kasus korupsi. Namun, Hotasi meminta agar kejaksaan mencabut cegah tersebut. “Kami akan mengajukan permohonan, karena yang bersangkutan dengan jabatan yang sekarang ini mengharuskan dia sering bepergian ke luar negeri,” kata pengacara Hotasi, Kamaru, saat dihubungi VIVAnews.com, Kamis 15 September 2011.

Menurut Kamaru, saat ini Hotasi bekerja pada sebuah perusahaan penerbangan asing, sehingga kliennya harus bolak-balik luar negeri untuk mengurus pekerjaannya. Pihak pengacara dan keluarga, lanjut Kamaru, siap menjamin Hotasi tetap kooperatif dengan kejaksaan dan tidak melarikan diri. “Kami siap memberikan jaminan, jika sewaktu-waktu diperlukan, maka dia akan datang ke kejaksaan,” ujarnya. Seperti diketahui, kejaksaan sudah mencegah Hotasi untuk jangka waktu enam bulan. Pencegahan dilakukan terkait status Hotasi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi sewa pesawat Boeing 737 TALG USA.

“Sudah ada permintaan dari Pidsus (Pidana Khusus), sedang kita proses,” kata Jaksa Agung Muda Intelijen, Edwin P Situmorang, di Jakarta, Jumat 9 September 2011.Sedangkan tersangka lainnya Guntur Aradea selaku Direktur Keuangan PT Merpati Nusantara Airlines, Kejaksaan Agung belum mencekal. “Guntur belum,” kata Edwin.

Jadi Tersangka

Sebelumnya, dua bekas petinggi PT Merpati Nusantara Airlines ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 dari perusahaan TALG di Amerika Serikat.Kasus ini berawal pada tahun 2006, saat Direksi PT Merpati Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing 737 dari perusahaan TALG di Amerika Serikat. Biaya sewa untuk masing-masing pesawat seharga US$500 ribu.

Uang sebesar US$1 juta sudah dibayarkan ke rekening Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri. Namun, hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT Merpati Nusantara Airlines. Tim Jaksa Penyidik kemudian mengendus adanya indikasi tindak pidana korupsi sebesar satu juta dolar AS dalam kasus tersebut, sehingga meningkatkan status kasus tersebut dari penyelidikan ke penyidikan.

Kejaksaan sendiri telah memeriksa mantan Dirut Merpati Cucuk Suryosuprojo dan Hotasi Nababan sebagai saksi. Selain itu, kejaksaan juga telah memeriksa Presiden Direktur Merpati, Sardjono Jhoni, sebagai saksi. Kasus ini mencuat setelah Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu melaporkan adanya dugaan praktek penggelembungan harga pesawat Merpati tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

KASUS MERPATI

Hotasi Nababan Akan Diperiksa Kembali

www.kompas.com

Rabu, 21 September 2011 | 17:44 WIB

M Fajar Marta | Agus Mulyadi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung akan kembali memeriksa mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, yang menjadi tersangka dalam kasus penyewaan pesawat Merpati. Pemeriksaan rencananya dilakukan Jumat (23/9/2011).

Demikian diungkapkan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad Rabu (21/9/2011) di Jakarta. Selain Hotasi, tim penyidik Kejagung juga akan memeriksa tersangka lainnya dalam kasus ini yakni mantan Direktur Keuangan Merpati Guntur Aradea. Sejauh ini, Hotasi baru menjalani pemeriksaan satu kali dengan status sebagai saksi. Dengan demikian, pemeriksaan pada Jumat mendatang merupakan pemeriksaan perdana dirinya sebagai tersangka.

Kejagung sebelumnya juga telah mencekal Hotasi. Pencekalan dilakukan untuk memudahkan proses penyidikan. Kasus ini bermula saat Merpati pada 2006 berencana menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirstone Aircraft Leasing Group (TALG), perusahaan Amerika Serikat, senilai satu juta dollar AS. Saat itu, Dirut Merpati dijabat Hotasi Nababan dan direktur keuangan oleh Guntur Aradea.

Sesuai dengan kontrak, TALG akan menyerahkan dua pesawat tersebut kepada Merpati pada awal 2007. Namun ternyata pesawat tidak juga dikirim, sementara uang sewa sudah dibayar oleh Merpati. Tim penyidik Kejagung menilai, terdapat indikasi pidana korupsi dalam perkara ini. Ditemukan bukti adanya upaya melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, serta merugikan keuangan negara. Penyidik menemukan fakta penyewaan pesawat dilakukan tanpa meminta persetujuan pemegang saham.

Selain itu, manajemen Merpati yang lama dinilai kurang prudent karena tim penyidik menemukan bukti bahwa pesawat yang akan disewa Merpati ternyata telah disewakan terlebih dahulu ke pihak lain. Hotasi mengatakan, perkara ini seharusnya digolongkan sebagai perkara perdata yakni wanprestasi oleh TALG yang tidak mampu memenuhi kontrak penyerahan pesawat kepada Merpati.Pihak Merpati pun, kata Hotasi, sudah mengajukan gugatan hukum kepada pihak TALG melalui Pengadilan Distrik Washington DC Amerika Serikat. Hasilnya, Merpati dimenangkan dan TALG wajib mengembalikan uang milik Merpati. Sejauh ini, TALG baru membayar ganti rugi sebesar US $ 4.794.

PENDUKUNG HOTASI DATANGI KEJAKSAAN AGUNG

www.tempo.co

Jumat, 23 September 2011 | 15:39 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga, teman kuliah, dan anak buah bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, mendatangi Kejaksaan Agung. Mereka ingin menyaksikan pemeriksaan Hotasi sebagai tersangka. “Mereka mau melihat pemeriksaan, tapi saya bilang menunggu saja,” kata Sukarto, bagian Keamanan Dalam (Kamdal) yang berjaga di gedung Bundar Kejagung, Jumat, 23 September.

Mereka yang berjumlah sekitar 15 orang hanya duduk di ruang tunggu gedung Bundar. Mereka datang dengan mengendarai sejumlah mobil pribadi. Salah seorang di antaranya mengaku berasal dari Kampus Institut Teknologi Bandung. “Saya memang teman kuliah beliau,” kata pria tersebut tanpa mau menyebutkan identitasnya.

Hotasi terseret dalam kasus penyewaan Merpati bersama bekas Direktur Keuangan, Guntur Aradea. Keduanya diduga terlibat kebijakan PT Merpati menyewa dua pesawat dari Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) pada 19 Desember 2006. Kebijakan itu belakangan dinilai merugikan negara. Kerugian itu berawal saat Merpati menempatkan duit US$ 1 juta setara dengan Rp 9 miliar ke perusahaan penyewaan asal Amerika itu sebagai biaya sewa pesawat. Namun hingga tenggat waktu yang disepakati, yakni Januari 2007, pesawat yang dipesan tak kunjung datang. Duit Merpati juga lenyap.

Pengacara Hotasi, Lawrenca Siburian, membantah dirinya sengaja menghadirkan mereka di Kejagung. Ia berdalih tidak tahu-menahu tentang kehadiran mereka. “Saya tidak tahu,” katanya singkat. Hal senada juga diungkapkan Imam Turidi, juru bicara Merpati. Menurutnya, kedatangan para pegawai itu tanpa sepengetahuan manajemen maskapai pelat merah tersebut. “Kami juga baru tahu infonya dari Anda,” ujar dia.

KASUS SEWA MERPATI

Hotasi: Sewa Merpati Sudah Sesuai Prosedur

www.pelitaonline.com,

Jumat, 23 September 2011

Jakarta, PelitaOnline—Kejaksaan Agung (Kejagung),

Jumat (23/9), memeriksa mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan sebagai tersangka dalam kasus penyewaan dua pesawat yang diduga merugikan negara US$ 1 juta. Hotasi dalam pemeriksaan perdananya ini tiba di Gedung Bundar Kejagung sekitar pukul 10.45 WIB menggunakan Kijang Inova Hitam. Ia menuturkan bahwa kedatangannya hari ini untuk menjelaskan kasus yang tengah menjeratnya secara menyeluruh. “Dipaparkan kembali semua,” ujarnya.

Dia bersikeras bahwa perjanjian sewa pesawat tersebut sudah sesuai prosedur, kalaupun ada masalah ia menilai hal itu merupakan resiko bisnis. “Semua sudah memenuhi prosedur,” katanya. Sebelumnya, penyidik pidsus Kejagung menetapkan dua orang mantan pejabat PT Merpati Nusantara Airlines menjadi tersangka. Mereka adalah mantan Dirut Merpati Hotasi Nababan dan mantan Direktur Keuangan Guntur Aradea. Mereka terkait dugaan kasus korupsi penyewaan dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 milik Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) oleh PT Merpati Nusantara Airlines.

HOTASI DIPATUK MERPATI

Majalah Tempo, Edisi 19-25 September 2011

Kejaksaan Agung kini mencekal Hotasi Nababan setelah bekas Direktur Utama PT Merpati itu jadi tersangka. Buntut dari sewa pesawat lima tahun silam.

Telepon seluler milik bekas Direktur Utama Merpati Nusantara Air Lines Hotasi Nababan berdering berkali-kali. Beberapa pesan pendek masuk serempak ke telepon itu. Pengirimnya jurnalis dari berbagai media. Mereka menanyakan hal yang sama : Sikap Hotasi menghadapi pencekalan yang ditetapkan Kejaksaan Agung. Dahi Hotasi pun berkerut, ia sama sekali tak tahu pencekalan itu. Kendati demikian, ia tetap melayani pertanyaan wartawan. “Yang saya tahu, saya sudah tersangka. Itu saja, ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ia kemudian tahu perihal pencekalan itu setelah mengethaui running text di televisi

Senin pekan lalu, Kejaksaan Agung mencekal Hotasi. Sebelumnya, pada 16 Agustus silam. Kejaksaan sudah mengumumkan Hotasi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyewaan dua pesawat jet Boeing seri B 737-500 dan B 737-400 pada 2006. Selain Hotasi, Guntur Aradea, Direktur Keuangan Merpati di masa Hotasi, ikut jadi tersangka. Hotasi pertama kali diperiksa Kejaksaan pada 4 Juli silam. Saat itu ia diperiksa penyidik tanpa didampingi pengacara. “saya di periksa sekali, langsung jadi tersangka”, katanya.

Kejaksaan menuduh kedua tersangka itu telah membuat rugi Negara lantaran memesan pesawat yang tak kunjung datang. Penyidik kejaksaan menilai ada indikasi tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut lantaran tidak kembalinya uang secutity deposit US$ 1 juta (sekitar Rp 9 milyar pada kurs 2006) yang disetorkan Merpati. Kejaksaan sudah memeriksa bekas direktur Merpati lainya, Cucuk Suryosuprojo, sebagai saksi. Presiden Direktur Merpati yang sekarang, Sardjono Jhoni, juga sudah didengar kesaksianya. Kasus ini mencuat setelah Federasi Serikat Pekerja BUMN bersatu melaporkan soal itu ke berbagai instansi penegak Hukum, termasuk kejaksaan.

Hotasi menegaskan, ia tak akan berkelit dari kasus ini. Ia sendiri meminta kejaksaan mencabut pencekalan atas dirinya. “Saya masih ada tanggung jawab pekerjaan yang mengharuskan saya pergi keluar negeri,“ katanya. Pencekalan itu memang membuat Hotasi tak bisa meninggalkan Indonesia, sedikitnya sampai enam bulan kedepan.

Perkara yang membelit Hotasi bermula ketika jajaran direksi Merpati pada 2006 memutuskan melakukan pengadaan pesawat itu mereka mengumumkan di situs perusahaan. Pada Desember 2006, perusahaan Amerika, Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), melakukan penawaran. Perusahaan penyewaan pesawat komersial ini baru berdiri pada 2004.

Sebelum menerima pinangan TALG, Merpati menelisik perusahaan yang baru dua tahun itu. Pemiliknya Alan Messnerk, sosok yang dinilai kredibel di dunia aviasi. Merpati pun menerima tawaran TALG. Pada 18 desember 2006, kesepakatan sewa pesawat ini diteken. Disana ditetapkan, harga sewa pesawat US$ 150 ribu perbulan yang harus dibayar di muka setiap bulannya. Merpati akan menyewa dua pesawat itu selama 60 bulan.

Klausul lain yang disepakati, opsi yang mewajibkan penyewa menyimpan security deposit US$ 1 juta. TALG sendiri ogah dibayar dalam bentuk bank garansi atau escrow account. Ini yang membuat Merpati membayar dengan uang cash.

Untuk menjaga terjadinya risiko, Merpati meminta duit itu tidak langsung diserahkan ke TALG, tapi ke lembaga independen sebagai penjaga deposit (custodian). TALG menyetujui dan mengajukan Hume And Associates untuk menjadi custodian. Setelah Merpati melakukan verifikasi dan disimpulkan custodian ini tak fiktif, pada 20 Desember 2006 duit security deposit ini pun digelontorkan

Pada 5 Januari 207, pesawat Boeing pertama yang dijanjikan ternyata tidak datang. Tak hanya ingkar janji, TALG menyatakan ada perubahan harga. Melihat gelagat itu, Merpati meminta pengembalian deposit. Permintaan ini tidak pernah digubris. Kejadian berulang pada 20 Maret, yang merupakan tenggat penyerahan pesawat Boeing yang kedua. Alih-alih datang. TALG malah sulit dihubungi dan belakangan raib.

Sejak itu, Merpati memperkarakan perusahaan Alan Messner sekaligus custodian yang menyebabkan melayangnya duit mereka ke Federal Court Washington, DC. Upaya hukum Merpati ini juga didukung Kejaksaan Agung yang saat itu diwakili jaksa Yoseph Suardi Sabda. “Putusan pengadilan Washington memenangkan Merpati dan menghukum TALG mengembalikan uang Deposit,“ kata Yoseph. Pengembalian deposit akhirnya terealisasi. Hanya, jumlahnya minim. Baru US$ 4.793. duit itu dikirim ke rekening Merpati di Bank Mandiri.

Namun, apa pun hasilnya, kejaksaan tetap menilai Direksi Merpati ceroboh. Menurut juru bicara Kejaksaan Agung Noor Rahmad, tim penyidik Kejaksaan Agung yakin, akibat perbuatan direksi Merpati itulah Negara kini menderita kerugian. Karena perbuatan mereka mengarah ke korupsi, kata Noor, para direktur itu dijerat dengan pasal korupsi. “itu temua dari hasil pemeriksaan yang panjang.” Kata Noor.

Sampai kini sedikitnya sudah 20 orang yang dimintai keterangan oleh Kejaksaan mengenai perkara ini. Kamis pekan ini Kejaksaan akan kembali memeriksa Hotasi. Menurut Noor, kejaksaan tidak sembarangan dalam menelisik perkara ini. Setidaknya tim pemeriksa sudah melakukan dua kali gelar perkara untuk kasus ini di depan para petinggi Kejaksaan Agung.

Hotasi tetap berkukuh dirinya tidak melakukan kesalahan seperti dituduhkan Kejaksaan. Ia menyatakan yang dilakukannya dalam proses sewa pesawat itu sudah melalui semua prosedur. Tentang tidak adanya izin dari pemegang saham, Hotasi menyatakan tidak bersalah. Pasalnya, dalam anggaran dasar perusahaan, untuk menyewa pesawat, izin pemegang saham tidak dibutuhkan. Adapun tentang tuduhan telah berbuat ceroboh, ia menyatakan tak melakukannya karena yang dilakukan semua sesuai dengan prosedur, yang menekankan kehati-hatian. Termasuk dengan cara menyimpan duit Merpati di lembaga independen.

(gambar: Kunjungan ke Dapur Redaksi Detik.Com, 2007)

Pengacara Merpati, Lawrence T.P. Siburian, mengatakan kasus sewa pesawat itu sebenarnya sudah lama selesai dan tidak lagi dipermasalahkan. Buktinya, ujar Lawrence, ada surat dari tiga lembaga penegak hokum yang menghentikan penyelidikan ini. Ketiga surat itu adalah dari Direktorat III tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri tertanggal 27 September 2007, dari Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Surat keputusan penghentian sementara dari Kejaksan Agung Muda Intelijen pada 22 Mei 2008. “ini sebenarnya kasus perdata. Karena itu, kami mengharap penyidikan kasus ini dihentikan,“ ujarnya.

Perkara Hotasi ini juga menyedot perhatian sejumlah petinggi maskapai penerbangan. Inilah untuk pertama kalinya seorang petinggi maskapai penerbangan nasional dijadikan tersangka korupsi karena tindakannya mengupayakan pesawat untuk perusahaannya. Kepada Tempo, Sekretaris jenderal Indonsia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanudin menyatakan yang dilakukan oleh Merpati pada 2006 itu sebenarnya lumrah. Menyimpan dana terlebih dulu sebagai security deposit atau jaminan, ujar Tengku Burhanudin, memang biasa disyaratkan perusahaan penyewaan pesawat.

Menurut dia, banyak maskapai nasional melakukan hal itu. “yang terpenting sebenarnya ada upaya proteksi terhadap kerugian apabila terjadi masalah dalam proses transaksi,” katanya.

Soal masalah yang dihadapi Merpati, INACA menilai yang dialami perusahaan penerbangan plat merah itu merupakan resiko bisnis. Menurut Burhanudin, dari runtutan kejadiannya, juga dengan keluarnya putusan pengadilan di Amerika Serikat, kasus Merpati ini sebenarnya masuk ranah perdata, karena masalah utang-piutang.

Namun kejaksaan tetap keukeuh bahwa kasus sewa peswat merupakan ranah kasus ranah korupsi. Tak hanya dengan tanda-tanda menmgeluarkan surat pencekalan, Wakil Jaksa Agung Darmono juga mengisyaratkan perkara ini akan maju terus. “Kami optimis, kasus Merpati akan selesai,” katanya.

KEJAKSAAN AGUNG PERIKSA SOFYAN DJALIL

www.kompas.com,

Senin, 12 Maret 2012 | 20:40 WIB

Maria Natalia | I Made Asdhiana

JAKARTA, Kompas.com — Tim penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Senin (12/3/2012) ini, memeriksa mantan Menteri Negara (Menneg) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil. Ia diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Merpati Nusantara dalam penyewaan dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500. “Saya jadi saksi ahli saja untuk kasus Merpati,” kata Sofyan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin.

Sementara itu, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, Sofyan dimintai keterangan sebagai saksi yang meringankan atas permintaan salah satu tersangka kasus tersebut, mantan Direktur Utama PT MNA, Hotasi Nababan. “Kehadiran Pak Sofyan Djalil di gedung Bundar pada hari ini dalam rangka dimintai keterangan atau diperiksa sebagai saksi. Karena itu, permintaan dari tersangka sebagai saksi yang meringankan tentunya kita melakukan pemeriksaan,” tutur Adi.

Seperti yang diketahui, kasus ini berawal dari perjanjian antara PT Merpati dan perusahaan penyewaan pesawat Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) ditandatangani pada 19 Desember 2006. Dalam perjanjian itu, Merpati berencana menyewa dua pesawat dari Thirdstone, yaitu Boeing 737 seri 400 dan 500. Saat itu, posisi Menneg BUMN dipegang oleh Soegiharto. Berdasarkan perjanjian itu, Merpati membayar Thirdstone 1 juta dollar AS atau sekitar Rp 9 miliar sebagai jaminan. Pesawat yang disewa tersebut tak kunjung dikirimkan kepada Merpati sampai tenggat waktu yang disepakati, yaitu Januari 2007. Sementara uang jaminan yang telah dibayarkan tidak bisa ditarik kembali. Kejaksaan menduga, dalam tindakan Merpati tersebut terdapat unsur tindak pidana korupsi.

Setelah kasus itu bergulir, Sofyan Djalil menjabat sebagai Menneg BUMN dari 9 Mei 2007 hingga 22 Oktober 2009 menggantikan Soegiharto sehingga ia pun diminta sebagai saksi ahli dalam kasus itu. Dalam kasus tersebut, selain Hotasi, Kejaksaan juga telah menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu General Manager Air Craft Procurement PT Merpati Nusantara Airlines Tony Sudjiarto dan mantan Direktur Keuangan PT MNA, Guntur Aradea.

KASUS HOTASI NABABAN DITINGKATKAN KE PENUNTUTAN

Penulis : Fario Untung

www.mediaindonesia.com

Rabu, 18 April 2012 14:46 WIB

JAKARTA--MICOM Kejaksaan Agung (Kejagung) telah meningkatkan dugaan kasus korupsi penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA) milik perusahaan Thirdstone Aircraft Leasing Group Inc (TALG) USA dengan tersangka Hotasi Nababan ke tingkat penuntutan.

Informasi itu disampaikan oleh Direktur Penyidikan pada Pidana Khusus, Arnold Angkouw ketika ditemui di Jakarta, Rabu (18/4). Namun, Arnold belum mengetahui sejak kapan kasus tersebut sudah ditingkatkan ke penuntutan. “Merpati kan sudah, sudah ditingkatkan ke penuntutan atas nama tersangka Hotasi Nababan,” ujar Arnold ketika dikonfirmasi. Sementara itu, Arnold juga menjelaskan jika dua tersangka lainnya yakni Direktur keuangan PT MNA Guntur Aradea dan Mantan General Manager (GM) Pengadaan pada PT MNA tahun 2006, Tony Sudjiarto. “Belum, baru Hotasi,” jelasnya.

Seperti yang diketahui, dalam penyewaan dua unit pesawat Boeing ini, diduga negara dirugikan hingga US$1 juta. Menurut perjanjian, dua pesawat akan diserahkan kepada Merpati pada 2007. Namun, hingga saat ini kedua pesawat tidak kunjung diserahkan. Penyewaan pesawat juga diduga diputuskan sejumlah direksi dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan tanpa sepengetahuan Menteri Negara BUMN saat itu. (FA/X-12)

TERSANGKA MERASA TIDAK KONGKALIKONG

Harian Rakyat Merdeka, 28 April 2012

Kuasa hukum tersangka Hotasi Nababan, Lawrence TB Siburian, mengatakan bahwa penetapan klienya sebagai tersangka tidak tepat. Soalnya, menurut dia, kasus sewa pesawat ini murni perkara perdata, bukan kasus pidana. Lawrence menilai, perbuatan korupsi harus memiliki tiga unsur. Yakni, melawan hukum, ada kerugian negara yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi.” Ketiga hal tesebut yang harus terpenuhi, tidak bisa jika jika hanya satu,” katanya.

Sedangkan Hotasi meminta Kejaksaan Agung tidak mengesampingkan fakta hukum perkara ini, terutama putusan pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat. Menurutnya, pengadilan Distrik Washington menerima gugatan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan mewajibkan Thirdstone Aircraft Leasing Group Inc.( TALG) mengembalikan uang milik Merpati. “Upaya kami menggugat TALG menunujukkan tidak ada kongkalikong antara Merpati dan TALG. Ini murni persoalan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan risiko bisnis,” kata Hotasi.

Di tempat berbeda, Direktur Utama PT MNA, Sardjono Jhoni, menyatakan bahwa Merpati proaktif menyelesaikan persoalan tersebut. Sikap proaktif itu, menurutnya,, ditunjukan dengan kedatangan dirinya dan sejumlah pejabat Merpati ke Kejaksaan Agung. “Saya pernah datang ke Kejagung untuk mendampingi Direktur Keuangan dan Direktur Opersaional yang dimintai keterangan jaksa. Kedatangan saya bukan dalam kapasitas dipanggil, tapi diundang kejaksaan,” katanya, seraya membantah, kedatangannya ke kejaksaan dalam kapasitas sebagai saksi.

Menurutnya, yang patut dipahami dalam kasus ini adalah proses pengajuan penyewaan pesawat didasari kebutuhan Merpati yang saat itu tidak punya uang. “Kami butuh pesawat, tapi tidak punya uang, makanya diputuskan untuk menyewa. Merpati selalu merujuk pada kebijakan korporasi, bukan kebijakan perorangan. Karena itu, kami mengikuti saja proses hukum yang berjalan, “ ucapnya.

Kasus sewa pesawat ini terjadi pada tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari TALG di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar Amerika Serikat untuk setiap pesawat.

Tapi, setelah dilakukan pembayaran sebesar satu juta dolar AS, ke rekening lawyer yang dirujuk TALG, yakni Hume & Associates, melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima Merpati. Lantaran itu, Kejaksaan agung mencium indikasi korupsi sebesar satu juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 9 miliar dalam kasus tersebut. (JON/berbagai sumber).

YANG JADI TERSANGKA BELAKANGNYA MAU DI ADILI DULUAN

Dua Bekas Bos Merpati Tidak Kunjung Disidang

Harian Rakyat Merdeka, Sabtu, 19 Mei 2012

Kejaksaan Agung baru bisa menyelesaikan satu berkas tersangka kasus sewa pesawat fiktif Boeing 737-400 dan 7237-500 oleh PT Merpati Nusantara Airlines (MNA). Berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P21) itu atas nama tersangka Tony Sudjiarto, bekas General Manager Air Craft Procurement PT MNA. “ Baru satu berkas yang sudah P21, yakni untuk tersangka TS. Surat P21 nya telah keluar sejak 10 Mei lalu, “ kata kepala Pusat Penerapan Hukum Kejaksaan Agung, Adi Tegarisman, saat ditanya mengenai perkembangan penanganan kasus ini pada Rabu (16/5).

Berarti, masih ada dua tersangka yang berkasnya belum lengkap, yakni bekas Direktur Utama PT MNA Hotasi Nababan dan berkas Direktur Keuangan PT MNA Guntur Aradea. Padahal, Hotasi dan Guntur lebih dahuku ditetapkan sebagai tersangka disbanding Tony. Hotasi dan Guntur ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka pada Agustus 2011. Empat bulan kemudian, barulah Tony ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Print 196/F.2/Fd.1/12/2011 tanggal 22 Desember 2011. “Untuk TS, tinggal menunggu jadwal persidangan. Sedangkan dua tersangka lainnya belum rampung, masih dalam tahap penyidikan untuk melengkapi berkas.”ujar Adi.

Mulai melakukan penyidikan sejak Agustus 2011, Kejaksan Agung tidak melakukan upaya penahanan terhadap para tersangka. “Memang tidak dilakukan penahanan, sebab mereka kooperatif. Namun pencekalan telah dilakukan,” alasan Adi. Bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini pun belum bisa memastikan, kapan berkas dua tersangka lainya akan P21. “Tentu kami lengkapi dulu. Penyidik terus bekerja,” ujarnya.

Padahal, sebelumnya Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Arnold Angkow, telah menyampaikan berkas perkara atas nama tersangka Hotasi Nababan sudah lengkap, dan sedang dibuatkan rencana dakwaan (rendak) di Bagian Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Tapi belakangan, malah berkas atas nama tersangka Tony Sudjiarto yang dinyatakan lengkap oleh Kapuspen Kejagung.

Menurut Arnold, proses selanjutnya terhadap Hotasi berada pada Bidang Penuntutan. “Kapan dilimpahkan ke pengadilan, silakan tanya kepada (Bidang) Penuntutan dan Kapuspenkum,” ujarnya, di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanudin, Jakarta Selatan pada Rabu malam, 18 April lalu. Arnold menambahkan, berkas dua tersangka lain, yakni Guntur dan Tony masih dilengkapi. “Tentu kami menginginkan berkas dua tersangka itu secepatnya menyusul lengkap,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini.

Kasus ini bermula saat Direksi PT Merpati Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing dari Thirdstone Aircraft Leasing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, pada tahun 2006. Namun, sejak biaya sewa sebesar 500 ribu dolar AS per pesawat dibayarkan ke rekening kantor lawyer Hume And Associates melalui transfer Bank Mandiri, kedua pesawat itu tidak pernah dikirim ke Indonesia. Akibatnya, diduga terjadi kerugian Negara sebesar satu juta dolar AS atau sekitar Rp 9 miliar pada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.

Terkait penyidikan kasus ini, bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines lainnya, yakni Cucuk Suryosuprojo, juga sudah diperiksa sebagai saksi pada 16 Agustus 2011. Sedangkan bekas Dirut PT MNA Sardjono Jhoni dimintai keterangan sebagai saksi pada 25 Mei 2011.

(JON)

HAMPIR SATU TAHUN DI KEJAGUNG

Harian Rakyat Merdeka, Sabtu, 19 Mei 2012

Kasus sewa pesawat fiktif ini, sudah cukup lama ditangani Kejaksaan Agung. Hampir satu tahun. Bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), Hotasi Nababan, dan Direktur Keuangan MNA, Guntur Aradea, ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka pada Agustus 2011. Sedangkan General Manager Air Craft Procurement PT MNA Tony Sudjiarto ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Desembar 2011. Namun, hingga kemarin, para tersangka itu belum dibawa Kejagung ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Andhi Nirwanto, mengaku kasus korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 ini masih dikembangkan anak buahnya. Penyidik pidana khusus, menurut Andhi, masih mengorek keterangan para saksi untuk mendalami perkara yang di duga merugikan negara 1 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 9 miliar ini. Kejaksaan Agung, lanjutnya, juga meminta keterangan ahli hukum pidana dan ahli pengadaan barang dan jasa untuk mendalami perkara tersebut.

Kasus sewa pesawat ini terjadi pada tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirstone Aircraft Leasing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pesawat. Tapi, kata Andhi, setelah dilakukan pembayaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT Merpati Nusantara Airlines.

Kebijakan mengirim uang ke rekening lawyer itulah yang membuat Merpati sulit menarik kembali duit jaminan tersebut. Seharusnya, uang itu disimpan pada lembaga penjamin resmi. Makanya, kejagung menyangka ada keinginan sejumlah pihak untuk menyelewengkan dana itu. Kemudian, status perkara ini ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan.

Tapi, tersangka Hotasi Nababan meminta Kejaksaan Agung tidak mengesampingkan putusan Pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat, terkait pesawat yang tak kunjung datang meski sudah dibayar. Menurutnya, Pengadilan Distrik Washington menerima gugatan Merpati dan mewajibkan TALG mengembalikan uang milik Merpati. “Upaya kami menggugat TALG menunjukan tidak ada kongkalikong. Ini murni persoalan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan risiko bisnis,” katanya di Kejagung.

Kuasa hukum Hotasi, Lawrence TB Siburian, mengatakan penetapan kliennya sebagai tersangka tidak tepat. Soalnya menurut dia kasus sewa pesawat ini murni perkara perdata, bukan pidana. Lawrence menilai, Kejaksaan Agung terlalu memaksakan diri menetapkan korupsi harus memiliki tiga unsur. Yakni melawan hukum, ada kerugian negara ynag menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi. “Ketiga hal tersebut harus terpenuhi, tidak bisa jika hanya ada satu unsur, “ katanya. (JON)

GRUP MILIS: SIMPATI HOTASI NABABAN

Milis IA ITB, 22 Agustus 2011

Monday, August 22, 2011 15:54:58

Rekan-rekan, Siang ini saya hadir di acara Media briefing Hotasi untuk memberikan dukungan. Terlampir adalah foto Hotasi didampingi para pengacaranya pada saat media briefing. Dari penjelasan tadi jelas sekali bahwa kasus ini adalah kasus perdata, dimana Merpati melakukan perjanjian sewa pesawat ke TALG, perusahaan Amerika. Ternyata perusahaan tersebut wanprestasi, namun belum mengembalikan security deposit yang telah dibayarkan oleh MNA. Pengembalian security deposit tersebut masih diupayakan. Semoga Hotasi diberi kekuatan untuk menghadapi cobaan ini, dan semoga dia mendapatkan keadilan.

Salam hangat penuh semangat

BA

Pasti Hotasi kuat mbak, lihat aja penampilannya. Wong sekolah di MIT aja kuat. Jadi dirut merpati juga kuat. Proses hukum ini akan sangat bermanfaat utk ybs dan negeri ini,

khususnya utk para penegak hukum. Dengan landasan kebenaran dan memperjuangkan keadilan, Hotasi pasti akan lebih kuat.

RS®TA’82

Tambahan Mbak Betty, tuduhan tidak prudence dalam mengambil keputusan menyewa pesawat dari TALG dibuktikan oleh pengacaranya (yg mantan Jaksa juga) berupa cek fisik pesawat. Hotasi tadi juga menyatakan bahwa bila kasus Merpati ini dilanjutkan akan banyak direktur2 BUMN lain yg akan kena. Karena ternyata kebijakan dapat dipidanakan. Demikian tambahan singkat dari TKP...

LS TK85

Silakan lihat kronologis lengkapnya di twitter: #kronologismerpati

Dan ikuti terus :FB : Simpati Hotasi

Twitter : SimpatiHotasi

Tks Arya M

Kita galang dukungan untuk hotasi nababan, pak hotasi merupakan korban persekongkolan segelintir orang yang rakus.

Gatot Siswanto

Hasil cek physiknya gimana mbak laras? Bisa infonya lebih jelas, spesifik dan kalau bisa detail. Hasilnya berlembar-lembar paper Bang....sangat teknis sekali. Sebentar kalau Bang Ot (Hotasi) sudah masuk ke milis ini, mungkin dia akan menjelaskan panjang lebar.

Rgds, Laras TK85

Kalau mengacu pada info detik.com, kebijakan dalam kasus ini merugikan negara satu juta dollar USA. Kalau negara rugi berarti, yg rugi rakyat sepanjang dana itu digunakan utk kepentingan rakyat. Kebijakan century malah dapat bintang.

Ramli

Selain Hotasi, ada eks Direktur Keuangan PT MNA berinisial GA yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Jampidsus Kejagung pada 16 Agustus lalu.Thank You

RS®TA’82

Justru disitu yg aku bingung mbak. Kok pengacara yg mantan jaksa itu ngerti physik pesawat. Saya aja yg insinyur jebolan itb gak ngerti. Hebat kan dia itu. Jadi pingin laga mulut dengan ybs.

Thank You, RS®TA’82

Dimanapun kebijakan tidak perlu dipidanakan, termasuk kebijakan membayar jaminan simpanan kasus Century. Kebijakan bisa dipidanakan jika kebijakan itu secara langsung merugikan orang lain.

RM SI79

Dalam kasus ini yang merugikan adalah pihak yang ingkar janji bukan pihak Merpati, kecuali ada temuan lain.

RM SI79

Pihak merpati harus bertanggungjawab dengan kebijakannya itu. Kejar dong yg menilap itu. Masak ditilap diam saja. Gak benar itu

RS®TA’82

Kan sudah menang secara hukum di pengadilan Amerika.... (Katanya)

RM SI79

Untuk dapat dikategorikan sebagai korupsi 3 syarat harus terpenuhi, yaitu :

- negara dirugikan

- ada pelanggaran hukum

- ada pihak yang diuntungkan

Dalam kasus Hotasi, US 1 juta dollar statusnya dalam pembukuan MNA sampai saat ini adalah piutang, yang mestinya masih bisa dikejar untuk ditagih. MNA memenangkan perkara perdata lawan TALG di pengadilan distrik Washington DC. Pengadilan telah memerintahkan TALG untuk mengembalikan Security Deposit tersebut. Secara hukum negara belum dirugikan.

Tidak ada proses yang dilanggar dalam proses menyewa pesawat ini, sehingga syarat adanya pelanggaran hukum tidak terpenuhi.

Seharusnya kasus ini tidak memenuhi syarat untuk jadi kasus korupsi. Yang juga penting Hotasi tidak dapat uang apa- apa dari transaksi ini.

Salam hangat penuh semangat

BA

Betul mbak secara hukum negara belum dirugikan karena memang menang di pengadilan. Yg dipermasalahkan sekarang dana itu belum kembali dan ada kejelasan, jadi tetap negara di rugikan secara materi dan ini yg jadi persoalan. May I miss something !

RS®TA’82

Bang Ramli,

BUMN bisa saja punya piutang yang belum tertagih. Bisa juga ujungnya piutang tersebut tidak bisa ditagih. Dalam situasi inikan tidak serta merta CEO nya terus dijadikan tersamgka korupsi. Hanya bila 3 syarat terpenuhi, maka CEO nya bisa dijadikan tersangka.

Salam hangat penuh semangat

BA

Kalau dilihat dari sisi itu ada benarnya. Tetapi saya tetap yakin bahwa kejaksaan agung (catat : jaksa agung) berani mengangkat masalah usang ini dan menempatkan mantan2 direksinya sebagai tersangka tentu ada dasar hukumnya dan pasti punya bukti hukum dan temuan2 baru. Namun demikian, kita tunggu aja proses peradilannya. Jika memang tersangkanya tdk bersalah, tentu mereka tdk berhak di jebloskan ke hotel prodeo dan kita perlu kawal ini. Jika motifnya politis, ini bisa di lawan dengan proses dan bukti2 hukum. Yg terjadi sekarang ini adalah satu konsekwensi jadi pejabat, tiupan anginnya bisa kencang sekali.

RS®TA’82

Btw, Apakah bisa diinvestigasi pihak2 yg ada dibelakang deal tsb? Jangan2 pihak2 tsb sekarang menghilang dah risk ada di pejabat struktural, terutama direksi.

Adi Irianto

“@SimpatiHotasi: 2. Merpati ketika mengeksekusi putusan, TALG mgajukan kepailitan dirinya #kronologismerpati”. Kelihatannya uangnya sdh gak ada, TALG berusaha mempailitkan diri agar terhindar dari hutang. Kalau murni sebagaimana apa adanya seperti yg diatas, menurut saya kasus ini tdk ada kriminalnya.

Salam MDD I AR84

Tambahannya mbak Betti, makin tinggi posisi makin berat tanggungjawabnya. Bahwa negara dirugikan adalah fakta. Siapa yg harus dan paling bertanggungjawab! Sudah pasti pejabat tertinggi sebagai decision makernya. Entah itu karena kesalahan dimananya, tetap harus ada yg bertanggungjawab dan tentu mbak Betti pasti sudah lebih tau dan paham soal itu. Seorang big bos terkesan kerjanya ringan dan enak, hanya ngobrol2, ngerumpi, telp, bbm, sms, email, golf, ngopi2 dan sejenisnya. Tetapi kesalahan apapun yg terjadi di lingkungan kerjanya tetap dia yg harus paling bertanggungjawab. Begitu itu yg saya mengerti mbak.

Ramli

Apakah setiap usaha yang mengalami kerugian Pimpinannya harus dipidanakan ?

RM SI79

Mudah2an bro, itu yg kita harapkan karena kebetulan yg jadi pesakitannya adalah sahabat kita sesama cap gajah. Biarlah waktu dan proses hukum yg akan berbicara apa ujungnya ini. Jaksa agung, kpk. Dan sejenisnya bukan dewa yg bisa menjungkirbalikkan fakta2 hukum.

RS®TA’82

Menurutku, tergantung dari bagaimana proses kerugian itu terjadi. Kalau yg dipidanakan lebih bodoh dari yg mempidanakan ya resikolah.

RS®TA’82

Belum pernah ada hukuman bagi yg mempidanakan di negeri ini. Polisi salah tangkap, atau jaksa salah menuntut sampai hakim salah memutuskan tdk pernah dipenjarakan. Btw sesuai informasi yg diterima, utk mengeksekusi dana hasil keputusan pengadilanpun ternyata membutuhkan uang dgn memakai lawyer. Nah, apakah nanti kalau susah juga mengeksekusi, ntar dirut yg baru dihukum lagi krn telah mengeluarkan dana utk mengeksekusi hasil putusan pengadilan. Krn dianggap telah merugikan negara hehehe

Tks

Arya M

Bang Ramli,

Menjadi orang nomor satu memang suatu tanggung jawab yang besar. Dan Anda betul, apa pun yang terjadi dalam organisasi adalah tanggung jawab sang pemimpin. Tetapi memimpin perusahaan lalu mengalami kerugian yang diakibatkan oleh mitra kerja kita wan prestasi, mestinya bentuk tanggung jawabnya bukan di pidanakan. Di pecat sih boleh saja.

Salam hangat penuh semangat

BA

Ya deh mbak, aku menyerah. Sudah habis kamus soalnya. Terimakasih untuk pencerahannya.

Ramli

(gambar: Hotasi Nababan (paling kanan) bersama tim sepakbola Alumni ITB, 2001.)

(gambar: Bersama Alumni ITB Angkatan 1983 yang membentuk Yayasan Ganesha G83 untuk program beasiswa, kewirausahawan, dan sosial lainnya.)

(gambar: Reuni Akbar 25 Tahun Angkatan ITB 1983, Desember 1988.)

STIGMA “KORUPTOR”

Oleh Hotasi Nababan

SEGERA setelah berita merebak tentang penetapan saya sebagai “tersangka” korupsi, dukungan moril dari banyak orang datang mengalir melalui berbagai media, khususnya di jaringan alumni ITB dan kalangan profesional. Bahkan, banyak pendapat orang di twitter yang saya tidak kenal mempertanyakan dimana letak korupsinya perkara sewa pesawat Merpati tersebut.

Saya menyadari bahwa berita korupsi memberi rating tinggi bagi media. Rating tinggi tentu akan membawa pemasukan. Setiap ada penetapan tersangka korupsi, banyak sorotan media ke institusi yang mengumumkannya, termasuk kali ini kantor penerangan Kejaksaan Agung. Mungkin kasus ini sendiri, atau nama Merpati, atau nama saya cukup berarti untuk ditaruh di running text di beberapa stasiun televisi.

Tentu saja citra saya terganggu bagi publik yang tidak mengenal saya. Beberapa orang sering mendatangi saya bertanya tentang kasus ini, tapi dengan sudut kecurigaan bahwa saya mendapat bagian dari uang deposit itu. Sebagian lagi menganggap bahwa kejaksaan pasti punya bukti kuat bahwa saya merekayasa ini semua. Jika saya mendengar omongan orang tersebut, maka saya akan membenarkan itu.

Seperti halnya berita korupsi lain, pemberitaan tentang kasus ini telah mem-vonis saya bersalah (guilty by opinion). Inilah kekuatan media di jaman keterbukaan informasi seperti ini. Proses hukum tidak terjadi di dalam ruangan penyidikan, tetapi apa yang terjadi cepat menjalar dan diikuti publik melalui media apa saja. Publik berhak menyimpulkan apapun dari berita yang diterima. Di tengah kebencian luas atas korupsi, publik ingin cepat menuju kesimpulan karena tidak sabar akan proses mengurai suatu perkara.

Tidak heran saya mendapat pengalaman bahwa media lebih tahu hasil pemeriksaan kami daripada kami sendiri. Para penegak hukum ingin lebih dekat dengan media untuk mengangkat pamor dan mengatur temperatur politik pemberitaan. Media pun ingin selalu dekat dengan sumber media. Eksklusifitas berita memberi nilai lebih. Setiap potong informasi langsung ada di media on-line. Media harian mengacu pada media on-line itu. Kecepatan berita seperti ini sangat merugikan bagi pesakitan seperti saya.

Sadar bahwa media adalah elemen terpenting untuk menyampaikan kebenaran, maka saya dan teman-teman sepakat untuk melancarkan road-show ke beberapa media, baik cetak dan elektronik, untuk menyampaikan fakta apa adanya. Media dapat menjadi kekuatan yang menjamin keadilan. Setelah semua fakta dipaparkan secara sistematis, maka pertanyaan mereka sama, “mengapa kejaksaan memaksakan perkara ini menjadi pidana?”

Selain itu, atas saran teman-teman di LSM, saya mendatangi kantor ICW di Kalibata pada sore hari di bulan September 2011. Mereka menyambut kami dengan canggung, karena tidak pernah terjadi tersangka korupsi datang melaporkan kasusnya. Kami datang bukan meminta ICW membela saya, tapi agar ICW mau mempelajari kasus ini secara mendalam dan melihat bahwa gerakan anti-korupsi dapat disalahgunakan oleh penguasa (abuse of power).

Setelah mereka membaca dokumen yang kami bawa, mereka pun tidak dapat menangkap unsur pidananya. Namun, mereka tidak akan menyampaikan kesimpulan apapun karena ICW bertujuan untuk memberantas korupsi, bukan untuk memberi advokasi bagi korban salah tuduh. Kami memahami dan menghormati posisi mereka. Sebelum pergi, saya mengisi formulir pengaduan publik kepada ICW.

(gambar: Menerima ‘Best Marketing Executive Peugot Award 1997’).

Belakangan, pihak kejaksaan mengetahui kedatangan saya ke ICW. Saya mendengar rupanya mereka kecewa bahwa saya mengadukan hal ini ke ICW. Saya tidak menduga reaksi negatif ini. Setelah itu saya tidak meneruskan rencana saya keliling mengunjungi LSM-LSM anti korupsi karena masih ingin kooperatif dan tidak mengganggu jalannya penyidikan.

Selain itu, kejaksaan tidak suka adanya polemik kasus ini di media. Penjelasan kami di majalah Tempo, Gatra, dan konferensi pers di Agustus 2011 membuat kejaksaan gusar. Kami dianggap menantang. Padahal kami memberi tanggapan terhadap pernyataan kejaksaan yang berkali-kali tentang adanya pidana korupsi sejak mengumumkan di bulan Juni 2011.

Jika kami “diam” maka publik akan menganggap tuduhan itu benar, walaupun penyelidikan belum dimulai. Jika kami “bicara”, publik mendapat informasi sepadan dan dapat ikut dalam bagian proses hukum ini. Dalam era keterbukaan informasi, semakin banyak publik terlibat ke detil substansi perkara, maka semakin baik pertimbangan publik yang akhirnya dapat membantu penegak hukum membuat keputusan yang adil.

Namun, kemudian tim penyidik menghimbau agar kami tidak lagi ke media lagi. Jika kami tidak kooperatif, kejaksaan masih memiliki hak subyektif untuk menahan saya. Akhirnya, kami menghentikan semua komunikasi ke media dan LSM di bulan Oktober 2011 hingga sekarang.

Persepsi publik atas suatu perkara sangat mempengaruhi keputusan hukum. Perkara korupsi yang sudah di-expose besar ke publik bisa menggiring publik percaya bahwa ada sesuatu perbuatan tercela korupsi telah terjadi. Publik sudah gelap mata bahwa hukum selama ini direkayasa untuk kepentingan koruptor dengan uang dan kekuasaan. Tidak ada tersangka korupsi yang tidak salah. Jika ada yang bebas, berarti ada apa-apanya.

Akibatnya, begitu seseorang masuk ke labirin perkara korupsi, sangat sulit untuk keluar. Persepsi publik telah menjadi kunci gembok dari sebuah kamar gas yang disebut “pembasmian koruptor”.

Apakah Kejaksaan berani mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) apabila bukti pidana belum cukup?

Apakah para Hakim berani membebaskan Terdakwa apabila tidak terbukti?

Apakah para Hakim Agung di Mahkamah Agung berani menolak kasasi atas putusan bebas di pengadilan?

Jika jawaban semua pertanyaan itu “tidak”, kemanakah tertuduh korupsi seperti saya harus mencari keadilan lagi?

(gambar: Presiden Timor Leste Xanana Gusmao memberi tanada terima kasih ke Merpati, Oktober 2005.)

PENUTUP

JALAN kehidupan seringkali tak terduga. Penuh kelokan, bahkan tikungan tajam. Itulah yang dialami Hotasi Nababan dalam perjalanan hidupnya hari-hari ini. Integritas pribadi yang telah dijaga dan diperjuangkannya selama puluhan tahun, sejak ia menjadi aktivis mahasiswa ITB di tahun 1980-an, hari-hari ini sedang diuji sebuah tikungan tajam bernama “tersangka perkara korupsi”.

Berikut ini beberapa kesimpulan yang bisa disampaikan berkaitan dengan perkara yang membelit Hotasi Nababan dan dua pimpinan Merpati lainnya:

• Buku ini memperlihatkan bagaimana sebuah kebijakan yang diambil secara bisnis kemudian berujung pada pemidanaan. Padahal proses yang ditempuh Hotasi Nababan dan Direksi Merpati dalam melakukan sewa pesawat sudah memenuhi prosedur yang ada, mulai dari pemasangan iklan pencarian pesawat di situs internet, penandatanganan kesepakatan antara Merpati dan TALG, hingga verifikasi kantor Hume and Associates sebagai custodian, tempat penempatan refundable security deposit (RSD) Merpati sebesar US$ 1 juta.

• Bahkan, saat TALG ingkar janji tidak dapat menyediakan pesawat yang diminta, Direksi Merpati juga telah berupaya mengejar pengembalian dana deposit tersebut dengan menggugat TALG di pengadilan Distrik Washington DC. Putusan pengadilan yang memenangkan Merpati pada akhirnya mewajibkan pihak TALG mengembalikan dana deposit Merpati meski dengan cara menyicil.

• Para ahli hukum pidana, hukum perdata, tata kelola korporasi, dan industri airlines sendiri secara panjang lebar menjelaskan bahwa perkara ini tidak mengandung unsur pidana, karena sudah mengikuti prosedur perusahaan, sudah sesuai dengan kewenangannya, hal yang lazim di bisnis penerbangan, dan merupakan resiko bisnis.

• Banyak faktor yang terkait dengan pemidanaan perdata ini. Mulai dari inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kerugian negara, penafsiran perkara secara subyektif oleh Kejaksaan, hingga dugaan upaya penyingkiran Hotasi Nababan dari kursi Direktur Utama Merpati, banyak mewarnai kasus ini.

• Kejaksaan juga nampaknya amat memaksakan diri untuk meneruskan tuntutan pada diri Hotasi dan dua pimpinan Merpati lainnya. Ada kesan kejaksaan ingin menjaga pencitraan dengan mengejar target statistik perkara korupsi yang ditanganinya. Padahal, semua data yang ada dan saksi yang dihadirkan menunjukkan bahwa kasus ini merupakan wanprestasi yang dilakukan oleh TALG. Bukti yang paling kuat adalah keputusan pengadilan distrik Amerika Serikat yang memenangkan Merpati dan mengharuskan TALG membayar uang deposit yang telah disetorkan.

• Perkara ini sendiri telah dilaporkan berkali-kali ke semua penegak hukum. Namun Bareskrim Mabes Polri, KPK, dan Kejaksaan sendiri sebelumnya telah menyatakan bahwa kasus ini tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Pemidanaan yang dilakukan Kejaksaan kali ini akan membuat kerancuan dan ketidakpastian dalam penyelidikan suatu kasus korupsi.

• Jika perkara ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk bagi para Direksi BUMN. Suatu keputusan bisnis yang telah mengikuti prosedur dapat dipidanakan sebagai perkara korupsi. Walaupun niat Direksi BUMN itu bersih, dia bisa dituduh korupsi akibat keputusan yang merugikan perusahaan. Kerugian perusahaan dianggap kerugian negara. Akibatnya Direksi BUMN akan cenderung bermain aman, tidak mau mengambil resiko. Rekam jejak Hotasi menunjukkan bahwa sebaik apapun yang dia lakukan akan sia-sia dengan adanya ruang untuk mem-pidanakan suatu keputusan bisnis.

• Maka, melalui buku ini diharapkan agar terjadi perubahan, terutama dalam sistem peradilan di Indonesia agar tidak memidanakan sebuah keputusan bisnis, atau perkara yang sebenarnya bersifat perdata.

--- s e l e s a i ---

SALAM KEADILAN!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun