Mohon tunggu...
Muhammad Hidayat
Muhammad Hidayat Mohon Tunggu... -

Lebih kurang empat tahun terakhir hidup di Beijing, melihat dan merasakan kemajuan di negeri Tiongkok ini. Menjadi pelajaran sangat berharga. Banyak hal, yang di negeri sendiri, negeri tercinta, cuma menjadi perdebatan antar kusir, tak ada ujung, di Tiongkok sini sudah dibikin tanpa banyak cing cong. Mungkin bisa sedikit share buat yang lain. Siapa tau bermanfaat. Smoga.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jangan Pidanakan Perdata (4)

7 Juli 2012   18:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya Risiko Bisnis

Urusan sewa-menyewa pesawat dengan pihak lain sebenarnya sudah sering dilakukan Merpati. Sejak tahun 1992 sampai 2008, misalnya, tercatat 15 kontrak sewa pesawat yang dilakukan Merpati. Dalam kontrak itu selalu tercantum klausul penempatan security deposit kepada pihak penyewa. Dari 15 kontrak sewa pesawat itu, sepuluh berlangsung lancar: pesawat yang disewa datang sesuai jadwal. Sedangkan 4 kontrak sewa lainnya gagal, tapi security deposit dikembalikan oleh pihak penyewa. Hanya kontrak dengan TALG saja yang gagal dan security deposit tidak dikembalikan. Hotasi Nababan dan Direksi Merpati sudah berupaya untuk membereskan perkara dengan TALG itu dengan upaya maksimal. Tapi, rupanya, perkara ini menjadi isu panas di internal Merpati. Pada 4 Juni 2007, segelintir orang yang kehilangan posisi karena pemangkasan organisasi di tahun 2006, yang kemudian mengatasnamakan Solidaritas Pegawai Merpati, melaporkan perkara ini ke berbagai instansi penegak hukum: Kejaksaan Agung, Markas Besar Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini kemudian diperiksa Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Mei 2007) dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Intelijen (Mei 2008). Semua tidak meneruskan pemeriksaan lebih lanjut atas kasus ini karena tidak ditemukan unsur pidana. Demikian pula pendapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam suratnya kepada Solidaritas Pegawai Merpati, tertanggal 27 Oktober 2009, Deputi KPK bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Handoyo Sudradjat, menulis sebagai berikut: ”Berdasarkan hasil telaah, pengumpulan bahan keterangan dan rapat pembahasan dengan Bidang Penindakan (KPK), materi pengaduan saudara tidak memenuhi kriteria tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Sebelumnya Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menyelidiki kasus ini sejak Mei 2007. Dan lima bulan kemudian, pada 27 September 2007, Direktur III Pidana Korupsi & WCC mengeluarkan surat pemberitahuan yang menyatakan: “Dari hasil penyelidikan Bareskrim, tidak dalam ditemukan fakta perbuatan tindak pidana korupsiperkara tersebut.”

Sementara itu, pada 28 Juli 2010 Alan Messner sempat membayar US$ 4, 793.63 ke rekening Merpati. Jumlah yang dibayarkan sebenarnya US$ 4, 973, namun dipotong lawyer fee Daniel Nickel US$ 179. 37. Setelah itu pembayaran dari Messner berhenti, dan pihak manajemen Merpati yang baru tidak melakukan pengejaran pembayaran tersebut lagi dengan alasan biaya.

Pada 22 September 2010, Direksi Merpati memutus penggunaan jasa pengacara pidana dan mengalihkan penggunaan pengacara perdata, serta dari pengacara asing menjadi pengacara lokal. Dengan penghentian jasa pengacara asing itu, secara tidak langsung Merpati juga menghentikan proses pidana dan perdata yang berlangsung, karena sebenarnya sulit untuk pengacara Indonesia bisa beracara di Amerika Serikat.

Ditengah penanganan masalah sewa pesawat ini, entah mengapa, pada 4 Juli 2011, Kejaksaan Agung kembali memeriksa Hotasi Nababan. Setelah diperiksa dua kali, pada tanggal 16 Agustus 2011, Hotasi dinyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian kepada negara.

Hotasi Nababan dan mantan Direksi Merpati lainnya tentu saja menolak tuduhan tersebut. Apalagi, sejak awal pemeriksaan ia sudah menjelaskan dengan detil bagaimana proses pengadaan pesawat tersebut, juga peran kejaksaan yang membantu mediasi pengembalian uang yang telah dibayarkan Merpati kepada pihak Jon C. Cooper (Hume and Associates). Hotasi juga mengungkapkan bagaimana Jaksa Yoseph Suardi Sabda, yang diperintahkan Kejaksaan Agung, mendampingi proses mediasi antara Merpati dan Jon C.Cooper, menyatakan kasus ini sebagai kasus perdata. Tapi, kejaksaan rupanya tetap tak mengindahkan keterangan Hotasi. Hal yang sama dialami bekas Direktur Keuangan Merpati, Guntur Aradea, yang kemudian juga ditetapkan sebagai tersangka.

Tuduhan awal yang dilontarkan pihak Kejaksaan di media massa adalah pengadaan pesawat tersebut melanggar prosedur, karena tidak melalui persetujuan pemegang saham. Kemudian Hotasi dan mantan Direksi Merpati lainnya membuktikan dalam berita acara di kejaksaan, bahwa proses pengambilan keputusan untuk sewa operasi pesawat tidak termasuk dalam hal-hal yang harus memerlukan ijin komisaris dan pemegang saham sesuai Anggaran Dasar PT Merpati Nusantara Airlines. Rencana sewa operasi pesawat telah menjadi bagian Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Tuduhan kedua yang terlontar adalah security deposit tidak disetorkan ke TALG, tapi ke pihak lain yang tidak berwenang. Hal ini juga sudah dijelaskan bahwa penunjukkan Kantor Hukum Hume & Assocaites sebagai pihak custodian (pemegang amanah) justru untuk mengurangi resiko jika TALG cidera janji. Bahwa pihak Hume & Associates belakangan yang mentransfer uang tersebut ke rekening pribadi Jon Cooper, adalah sebuah perbuatan konyol dan di luar perkiraan Merpati.

Tuduhan ketiga adalah pesawatnya fiktif. Hotasi dan jajaran Merpati lainnya yang dipanggil sebagai saksi telah membuktikan dalam berita acara, bahwa pesawat Boeing 737-500 telah diperiksa jauh hari sebelumnya di bulan Mei 2006, saat belum dikembalikan oleh penyewa lama, sedangkan Boeing 737-400 diperiksa di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng pada Desember 2006 karena masih disewa oleh Batavia Air dan akan dikembalikkan pada Maret 2007.

Tuduhan keempat adalah Merpati menunjuk TALG tanpa tender. Hal ini dijelaskan dengan rinci bahwa sesuai dengan aturan perusahaan bahwa pengadaaan pesawat dan barang teknis tidak mengikuti prosedur pengadaan barang umum di Merpati karena sifatnya yang spesifik, yaitu pemasoknya terbatas atau permintaan jauh lebih banyak dari penawaran. Dalam hal mencari sewa pesawat Boeing 737 Family waktu itu, Merpati tidak mungkin melakukan tender, karena tidak akan ada satu lessor pun yang akan datang bersusah payah mengikuti tender. Banyak permintaan dari berbagai maskapai penerbangan berbiaya rendah di dunia terhadap tipe pesawat itu, sehingga maskapai penerbangan lah yang datang ke lessor, bukan sebaliknya. Karena itu, cara yang paling efektif tapi masih transparan adalah dengan pengumuman di website. Dengan cara ini, Merpati percaya siapa pun yang bergerak dan memahami bidang pesawat akan tahu bahwa ada kebutuhan Merpati atas pesawat tersebut.

Tuduhan kelima adalah penempatan deposit dilakukan sebelum adanya perjanjian yang dapat menjadi pegangan. Hal ini telah dibuktikan sebaliknya. Pada 18 Desember 2006 pihak Merpati yang diwakili GM Aircraft Procurement yang mendapat surat kuasa dari Direksi, menandatangani Lease of Aircraft Summary of Term (LASOT) bersama dengan Alan Messner, CEO dari TALG. LASOT ini sudah merupakan perjanjian karena mengikat setiap pihak untuk memenuhi kewajibannya, yaitu Merpati menempatkan deposit, sedangkan TALG menuntaskan pembelian pesawat dan menyerahkan sesuai jadwal. Di dalam LASOT ini, TALG wajib mengembalikan Deposit jika gagal menyerahkan pesawat. Setelah LASOT barulah dilakukan inspeksi pesawat lengkap. Setelah itu barulah Lease Agreement yang berisi hal-hal teknis operasional hasil inspeksi akan ditandatangani. Tanpa Lease Agreement pun, TALG harus menghormati LASOT. Jika wanprestasi, maka TALG harus mengembalikan Deposit itu. Inilah yang menjadi dasar putusan pengadilan Washington DC.

Tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka, 26 Juli 2011 dan 22 Agustus 2011, Hotasi mengirim surat kepada Jaksa Agung Basrief Arief untuk meminta perlindungan hukum. Hotasi juga menyampaikan dua fakta hukum perihal perkaranya.

Pertama, perihal penugasan Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara untuk memberi bantuan hukum dalam kasus Merpati pada 10 Juni 2008, serta adanya opini hukum oleh Jaksa JAMDATUN, Yoseph Suardi Sabda, yang menunjukkan pemahaman yang sama antara Kejaksaan Agung dan Merpati bahwa perkara tersebut adalah perkara perdata yang membutuhkan kerjasama sesama lembaga negara untuk mengejar pengembalian.

Kedua, penegasan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2007, yang menyatakan dana US$ 1 juta bukan untuk sewa operasi, tapi sebagai security deposit yang diserahkan tanpa kontrak jaminan karena Merpati (saat itu) belum memiliki pengendalian memadai. BPK meminta Direksi Merpati segera mengupayakan pengembalian security deposit tersebut. Kesimpulan BPK ini menyiratkan bahwa kerugian perusahaan akan terjadi jika upaya pengembalian dihentikan.

Dalam berbagai kesempatan, pihak Kementerian Keuangan dan Kementrian BUMN pun menanyakan Direksi Merpati tentang kemajuan pengejaran uang itu. Adanya putusan pengadilan menguatkan bahwa uang ada di tangan kedua orang itu, yaitu Jon Cooper dan Alan Messner. Tinggal bagaimana memperolehnya kembali.

Mantan Menteri Negara BUMN, Sofyan A. Djalil, mengakui dirinya selaku Menteri BUMN (saat itu) mendapat laporan perihal kasus yang menimpa Merpati itu. Sofyan menyatakan sewa menyewa pesawat yang dilakukan manajemen Merpati juga tidak perlu persetujuan RUPS.

“Urusan sewa operasi pesawat adalah bagian dari rutinitas bisnis perusahaan yang merupakan wewenang sepenuhnya berada pada direksi sebagai pengurus perusahaan. Jika hal-hal seperti ini harus memperoleh persetujuan RUPS, maka perusahaan tidak akan jalan, karena terlalu birokratis dan lamban, sehingga keputusan tidak dapat dibuat secara cepat sesuai dengan kebutuhan bisnis,” kata Sofyan.

Sofyan Djalil juga melihat dalam pengadaan sewa pesawat ini, Direksi Merpati juga telah melakukan kewajibannya sebagai pengemban amanah (fiduciary duty) atas transaksi tersebut. ”Menurut pemahaman saya, Direksi PT MNA telah melaksanakan tugas pengemban amanah perusahaan (fiduciary duty). Menurut UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 97 ayat 5), Direksi dalam menjalankan tugasnya berkewajiban memenuhi syarat-syarat: membuat keputusan semata-mata untuk kepentingan perusahaan (duty of loyalty) dan tindakan tersebut dilakukan dengan kehati-hatian (duty of care). Tindakan tersebut diambil dengan itikad baik untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung. Khusus dalam perkara ini, Direksi Merpati juga telah mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah dan berlanjutnya kerugian tersebut dengan mengajukan gugatan pengembalian security deposit itu ke Pengadilan di AS dan memenangkannya pada 8 Juli 2007,” kata Sofyan Djalil lagi.

Sofyan juga menegaskan apa yang dilakukan Direksi Merpati itu adalah sesuai dengan praktek bisnis yang lazim. Direksi dalam membuat keputusan, menurut Sofyan, harus memperhatikan lima hal yang dianggap sesuai dengan standar good corporate governance, yaitu: Pertama, melakukan dengan itikad baik (good faith), dalam kasus ini Merpati memerlukan pesawat untuk menambah armada untuk meningkatkan pelayanan dan pendapatan, maka direksi berupaya untuk menyewa pesawat. Kedua, Komisaris dan Direksi Merpati saat berkunjung ke Menteri Perhubungan Agum Gumelar, 2003.

Rapat dengar pendapat dengan Komisi 11 DPR tentang penyelamatan Garuda dan Merpati, Emirsyah Satar-Dirut Garuda (kanan), Mahmudin Yasin - Deputi BUMN (tengah), 2005.melakukan dengan hati-hati (care). Ketiga, dilakukan secara saksama (diligence) yaitu mengikuti procurement sewa pesawat sesuai standard industry yang ada dan secara transparan. Keempat, dilakukan secara independen, artinya direksi membuat perjanjian tersebut tanpa paksaan dari pihak lain. Kelima, dilakukan tanpa konflik kepentingan (no conflict of interest). Hasil keputusan pengadilan District of Columbia Amerika Serikat yang memenangkan Merpati, kata Sofyan, menunjukkan bahwa perjanjian tersebut telah dilakukan sesuai dengan persyaratan yang seharusnya.

Karena itu, dengan demikian, kata Sofyan, Direksi Merpati dalam kasus ini tidak dapat dipersalahkan karena tidak dapat mengantisipasi resiko bisnis. “Bisnis selalu mengandung resiko, sehingga adagium dalam bisnis, ‘No risk, no business’. Jika keputusan Direksi Merpati telah dilakukan dengan mengikuti lima syarat tadi, maka direksi tidak bisa diminta pertanggungjawaban, walaupun, misalnya, perusahaan bangkrut sekalipun. Karena dalam bisnis selalu ada resiko yang dihadapi, dan tidak sepenuhnya bisa di antisipasi. Tugas direksi selaku pengurus perusahaan adalah memastikan keputusan bisnis dibuat dengan standar pengelolaan perusahaan yang baik, good corporate governance,” tegas Sofyan.

Pakar hukum Profesor Erman Rajagukguk juga menyatakan program pesawat terbang oleh Direksi Merpati yang sudah masuk RKAP tidak memerlukan lagi persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS. “Kegiatan PT Merpati Nusantara Airline untuk menyewa pesawat terbang yang sudah masuk RKAP, Direksi PT MNA tidak memerlukan persetujuan Komisaris dan atau RUPS lagi, karena RKAP telah disahkan oleh RUPS dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan sesuai dengan Anggaran Dasar PT MNA dan Pasal 64 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,” kata Erman.

Erman Rajagukguk juga menjelaskan keabsahan General Manager Aircraft Procurement, yang mewakili Direksi Merpati saat menandatangani LASOT yang menjadi dasar hukum perjanjian antara Merpati dan TALG. Menurut Erman, Direksi Merpati dapat memberikan kuasa kepada manajer untuk melakukan perbuatan tertentu, misalnya membuat perjanjian, sesuai Pasal 103 Undang-undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang berbunyi, “Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada satu orang karyawan perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Adapun penjelasan Pasal 103, menyebut, “Yang dimaksud ‘kuasa’ adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa.”

Lebih lanjut Erman menyatakan suatu tindakan direksi perusahaan bisa disebut merupakan tindak pidana jika: 1) Penyelenggaraan akutansi ekstra pembukuan; 2)Penyelenggaraan tranksaksi-transaksi ekstra pembukuan atau yang tidak cukup jelas; 3) Pencatatan pengeluaran yang tidak nyata; 4) Pemasukan kewajiban-kewajiban dengan identifikasi tujuan yang tidak benar; 5) Penggunaan dokumen-dokumen palsu; 6) Perusakan sengaja atas dokumen-dokumen pembukuan terlebih dulu dari yang direncanakan oleh undang-undang.Prof. Erman Radjagukguk juga menegaskan gagalnya penyerahan pesawat terbang yang disewa Merpati belum menimbulkan kerugian negara, karena pihak yang gagal tersebut harus membayar ganti rugi karena wanprestasi. Menurut dia, keputusan Pengadilan Amerika Serikat tidak menimbulkan kerugian keuangan negara apabila pihak tergugat membayar ganti rugi yang diputuskan pengadilan tersebut. Karena itu, “Direksi PT Merpati Nusantara Airlines harus melakukan penagihan tersebut untuk menghindarkan kerugian keuangan negara,” tegas Erman.

Sedangkan pakar hukum pidana Prof. DR. I.B.R. Supancana, SH., MH., menyatakan yang dilakukan Direksi Merpati dalam pengadaan pesawat tersebut sudah berdasarkan prinsip good corporate governance (GCG). Menurut Supancana, prinsip-prinsip terpenting dalam pelaksanaan GCG adalah prinsip transparansi, akuntabilitas, dan fairness (adil). Prinsip-prinsip tersebut telah dilaksanakan oleh Direksi Merpati dalam rangka leasing pesawat yang dilakukan dengan TALG. Prinsip transparansi, misalnya, kata Supancana, sudah diterapkan dalam proses pengadaan pesawat tersebut melalui pengumuman di internet. Selain itu, proses perundingan yang dilakukan juga telah dibicarakan dan disetujui oleh rapat direksi.

Adapun prinsip akuntabilitas, menurut Supancana, juga sudah dijalankan melalui prosedur internal yang dalam jangka waktu yang lama (sejak tahun 1992) telah dijadikan pedoman dalam pengadaan pesawat dan juga bertumpu pada kebiasaan yang berlaku dalam bisnis ini. Termasuk terkait dengan penyerahan refundable cash deposit sebagai pelaksanaan LASOT. Menurut Supancana, dari prinsip fairness, penyerahan security cash deposit merupakan imbalan yang seimbang atas kewajiban TALG menandatangani term sheet untuk perjanjian jual beli pesawat dengan East Dover.

Kepada Majalah Tempo, Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Tengku Burhanuddin, menyatakan yang dilakukan oleh Merpati pada 2006 itu sesuatu yang wajar. Menyimpan dana terlebih dulu sebagai security deposit atau jaminan, menurut Tengku Burhanuddin, memang biasa disyaratkan perusahaan penyewaan pesawat. Menurut Tengku Burhanuddin, banyak maskapai nasional melakukan hal itu. “Yang terpenting sebenarnya ada upaya proteksi terhadap kerugian apabila terjadi masalah dalam proses transaksi,” katanya.

Soal masalah yang dihadapi Merpati, INACA menilai yang dialami perusahaan penerbangan nasional tersebut merupakan resiko bisnis. Menurut Tengku Burhanuddin, dari runtutan kejadian, juga dengan keluarnya putusan pengadilan di Amerika Serikat, kasus Merpati ini sebenarnya masuk ranah perdata, karena masalah utang piutang (Tempo, 25 September 2011).

Pendapat para ahli hukum dan praktisi penerbangan itu dengan terang menunjukkan bahwa perkara sewa pesawat yang dilakukan Merpati ini adalah perkara perdata. Bahkan, pengadilan Amerika Serikat—sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini—telah memenangkan gugatan perdata yang dilakukan Merpati. Lantas, mengapa penyidik kejaksaan tetap ngotot menjadikan perkara ini menjadi tindak pidana korupsi? Ada apa sebenarnya dibalik upaya kriminalisasi terhadap Hotasi Nababan dan Direksi Merpati lainnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu pantas diajukan, ditengah gencarnya pencitraan yang dilakukan institusi kejaksaan. Sebagaimana diketahui, sejak lama citra Korps Adhyaksa di mata masyarakat dipertanyakan. Perilaku oknum jaksa yang menyelewengkan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum, antara lain dengan melakukan rekayasa perkara, telah membuat masyarakat apatis dan sinis terhadap institusi kejaksaan.

JALAN MENUJU PENGADILAN

UNTUK menyehatkan PT Merpati Nusantara Airline yang diambang kebangkrutan, manajemen Merpati yang dipimpin Hotasi Nababan melakukan pengadaan pesawat dengan cara sewa. Terjadi ingkar janji yang dalam pengadaan pesawat tersebut diadili di Pengadilan Amerika sebagai kasus perdata, tapi, anehnya, di Indonesia, Kejaksaan menyatakan Hotasi dan dua petinggi Merpati lainnya sebagai tersangka korupsi. Berikut kronologi perkara yang menjerat Direksi Merpati tersebut:

Juni-November 2006

Merpati memasang iklan pencarian pesawat di www.speednews.com 8 Desember 2006. Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) mengajukan proposal sewa dua pesawat B 737 yang dimiliki Lehman Brother

18 Desember 2006

Penandatangan kesepakatan penyewaan dua pesawat Boeing 737-500 dan 734-400 antara Merpati dan TALG. Disepakati klausal: Merpati harus menempatkan Refundable Security Deposit (RSD) untuk setiap pesawat US$ 500.000 yang bisa ditarik jika ada masalah. Jadi total security deposit yang diserahkan Merpati US$ 1 juta. Hume setuju dan menerima penunjukkan TALG untuk penempatan RSD.

19 Desember 2006

Merpati meminta bantuan lawyer Lawrence Siburian (LS) yang sedang berada di Washington untuk membantu mengecek keberadaan TALG dan Hume. LS melakukan cek fisik dan memverifikasi keberadaan kantor dan manajemen TALG dan Hume.

20 Desember 2006

Merpati menempatkan US$ 1 juta ke Hume and Associates, firma hukum independen yang telah disepakati sebagai custodian.

5 Januari 2007

Rencana penyerahan pesawat pertama, Boeing 737-500 gagal. TALG tidak menepati janji.

1 Februari 2007

Merpati menerbitkan Special Power of Attorney untuk LTPSA sebagai pengacara mewakili PT Merpati Nusantara Airline.

17 Februari 2007

Merpati bersama LTPSA menemui Jon Cooper di Washington untuk penyelesaian transaksi dan penarikan security deposit.

20 Maret 2007

Rencana penyerahan pesawat kedua, Boeing 737-400 gagal. TALG tidak menepati janji.

2 April 2007

Atas nama Merpati, LPTSA resmi menunjuk BKK untuk melakukan gugatan pada TALG.

17 April 2007

Merpati secara resmi melakukan gugatan. Merpati mengajukan tuntutan pengembalian uang security deposit ke Federal Court Washington DC.

19 April 2007

Gugatan diterima oleh TALG.

4 Juni 2007

Solidaritas Pegawai Merpati melaporkan kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat Boeing oleh Merpati ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Markas Besar Kepolisian RI.

8 Juli 2007

Putusan hakim Pengadilan Distrik Columbia, Washington, DC memenangkan Merpati. Pengadilan memerintahkan TALG mengembalikan US$ 1 juta sekaligus bunga dan biaya pengacara.

3 Maret 2008

Hotasi Nababan mundur dari Direktur Utama Merpati. Pengganti yang baru, Cucuk Suryoprojo meneruskan upaya pengejaran dana deposit itu, yang juga dilanjutkan oleh Bambang Bhakti, Dirut Merpati selanjutnya.

18 Juli 2008

Mediasi antara Merpati dengan Jon C. Cooper. Merpati memberi tawaran pencicilan US$ 45.000 setiap bulan selama 18 bulan sehingga total biaya yang harus dikembalikan Jon pada Desember 2009 US$ 810.000. Jon menolak tawaran tersebut.

24 Juli 2007

LTPSA menunjuk Daniel J. Nickle untuk mengeksekusi aset TALG & Alan Messner. Namun aset TALG negatif.

27 September 2007

Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menyatakan belum ditemukan tindak pidana korupsi dalam perkara Merpati.

27 Oktober 2009

KPK menyatakan perkara Merpati tidak masuk dalam perkara korupsi karena tidak memenuhi kriteria tindak pidana korupsi seperti diatur dalam UU No.31/1999 dan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

4 Juli 2011

Untuk pertama kali Kejaksaan Agung memeriksa mantan Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan. Status “penyelidikan” perkara secara cepat ditingkatkan menjadi “penyidikan”.

16 Agustus 2011

Hotasi dan bekas Direktur Keuangan Merpati, Guntur Aradea, ditetapkan sebagai tersangka.

12 September 2011

Kejaksaan mengeluarkan surat perintah pencekalan untuk Hotasi.

April 2012

Setelah menjalani beberapa kali pemeriksaan, Direktur Penyidik (Dirdik) pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Arnold Angkouw, menyatakan berkas perkara kasus dugaan korupsi penyewaan dua pesawat Boeing 737 senilai satu juta dolar AS telah memasuki tahap penuntutan setelah berkasnya dinyatakan lengkap. Berkas perkara Hotasi Nababan dan Tony Sudjiarto segera dilimpahkan ke pengadilan. Sedangkan berkas Guntur Aradea masih belum dinyatakan lengkap.

Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, proses pengambilan keputusan untuk Sewa Operasi pesawat tidak termasuk dalam hal-hal keputusan yang harus memerlukan ijin Komisaris dan Pemegang Saham. Rencana sewa operasi pesawat telah menjadi bagian RKAP yang disetujui oleh RUPS. Keputusan penyewaan dan penempatan deposit dilakukan oleh Rapat Direksi lengkap sebagai pengambil keputusan tertinggi Perusahaan.

Pengantar Kawat Kedutaan Besar RI ke instansi terkait tanggal 23 Juli 2008 tentang hasil mediasi untuk mengejar pengembalian Security Deposit di Pengadilan Distrik Columbia, Amerika Serikat.

Upaya Hotasi Nababan meminta perhatian Meneg BUMN agar kasus ini tidak menjadi preseden bagi BUMN sehingga Direksi BUMN takut dipidanakan.

KAMI KORBAN KEJAHATAN ORANG LAIN

Oleh Hotasi Nababan

AKHIRNYA, melalui pemberitahuan informasi di website selama delapan bulan, Merpati mendapat proposal dari TALG yang menawarkan skema leveraged aircraft lease, atau skema sewa melalui utang. Cara bekerja skema itu sebagai berikut.

TALG akan membeli pesawat dari East Dover, unit penjualan dari Bank Lehmann Brothers, dengan menempatkan uang muka di East Dover sebagai equity. Kemudian TALG mendapat komitmen pendanaan dari LSQ Fund di Miami yang bersedia melunasi pembelian pesawat itu dengan agunan pesawat itu sendiri. Selanjutnya TALG menggunakan arus pembayaran sewa dari Merpati kepada kreditur LSQ Fund hingga lunas.

Skema ini lazim digunakan airlines yang tidak punya posisi tawar baik kepada lessor besar, seperti Merpati. Jika Merpati dan TALG memenuhi kewajiban masing-masing dalam pembayaran, maka skema ini akan berjalan baik hingga masa berakhir. TALG hanya akan membeli pesawat itu jika ada kepastian sewa dalam bentuk penempatan deposit.

Pada 18 Desember 2006, sesuai persyaratan di LASOT antara Merpati dan TALG, TALG mengirim salinan pengikatan pembelian pesawat dengan East Dover dalam bentuk Summary of Terms. Selain itu TALG menunjukkan salinan penawaran pendanaan LSQ Fund.

Walaupun demikian, Merpati masih berupaya agar deposit itu tidak dipegang langsung oleh TALG yang dapat menggunakannya untuk equity atas pesawat itu. Usulan Merpati untuk menggunakan Letter of Credit atau bank garansi ditolak TALG. Karena batas waktu pembayaran equity TALG ke East Dover tanggal 20 Desember sudah dekat, maka Merpati meminta agar deposit ditempatkan di pihak ketiga atau di kantor hukum (law firm). Di Amerika Serikat, kantor hukum dapat berfungsi sebagai custodian atas suatu aset.

TALG pun bersikeras untuk mengajukan Kantor Hukum Hume Associates yang merupakan mitranya. Akhirnya, Merpati menerima penggunaan Hume Associates, tetapi setelah meminta bantuan Lawrence Siburian, yang sedang menjalani program doktor di Washington untuk melakukan pemeriksaan langsung atas keberadaan TALG dan Hume Associates.

Kasus deposit sewa Merpati ini menunjukkan bahwa pihak yang seharusnya menjaga nama baik di industri aviasi malah dapat melakuan perbuatan konyol seperti

TALG. Hasil investigasi laywer BKK atas aliran dana bank menunjukkan beberapa hari setelah menerima transfer dari Merpati, Jon Cooper dari Kantor Hukum Hume Associates yang ditunjuk TALG, mentransfer security deposit Merpati ke rekening pribadi, dan membaginya ke Alan Messner pemilik TALG.

Sebagai orang berada dan berpendidikan, mereka tidak malu menggelapkan dana deposit yang seharusnya tidak boleh digunakan untuk apapun. Mereka menganggap bahwa Merpati tidak dapat berbuat apa-apa di Amerika Serikat. Belakangan, mereka tidak menduga bahwa Merpati serius membawa kasus ini ke jalur hukum dan bahkan memenangkan gugatan di Washington DC. Bahkan Merpati melalui lawyer berhasil menghentikan pengalihan aset Alan Messner setelah TALG dipailitkan.

Sebagai latar belakang, Alan Messner adalah mantan bankir yang turut mengembangkan BCI Aircraft Leasing di Chicago dengan skema leveraged aircraft lease itu. Dalam waktu singkat BCI menjadi perusahaan leasing besar dengan memanfaatkan kredit macet dari aset pesawat setelah peristiwa WTC. Alan tinggal di perumahan kelas menengah atas di Chicago.

Jon Cooper adalah profesor hukum lingkungan di George Mason University dan spesialis di US Coast Guard. Dia memiliki 30 tahun pengalaman menjadi penasehat di berbagai lembaga pemerintah. Dia mengenal jaringan pendanaan individu yang berminat di bisnis pesawat ini. Jon juga tinggal di kalangan kelas menengah atas di Washington DC.

Selama proses gugatan dan pengejaran deposit itu, lawyer Merpati terus mengumpulkan informasi tentang kedua orang tersebut. Keduanya bukan orang sembarangan. Mereka punya aset tapi telah mengalihkan atau menyembunyikan asetnya. Lebih jauh lagi, mereka menyewa lawyer masing-masing untuk bertahan atas serangan lawyer Merpati. Strategi mereka adalah mengulur waktu hingga kasus ini kedaluarsa (masa kedaluarsa pidana berat adalah empat tahun, sedangkan masa kedaluarsa perdata tujuh tahun).

Merpati telah kehilangan peluang untuk menuntut pidana berat atas penggelapan karena telah berakhir di Desember 2010. Sedangkan peluang Merpati untuk mengejar pidana ringan dan perdata masih ada, 1,5 tahun lagi, yaitu tanggal 20 Desember 2013.

Sayangnya, sejak September 2010, Direksi Merpati menghentikan pengejaran uang itu dengan alasan biaya. Padahal masih ada alternatif lain dengan menggunakan “debt collector” yang dapat dibayarkan dengan biaya jasa yang kecil dengan insentif persentase penagihan. Berapa pun yang masih dapat tertagih masih bernilai bagi Merpati.

Selain itu, Kedutaan Besar RI di Washington selalu bersedia untuk membantu proses pidana kepada kedua orang itu. KBRI sudah membuka saluran komunikasi dengan pihak Department of Justice di Washington. Pengajuan gugatan pidana tidak membutuhkan biaya sebesar kasus perdata. Jika semua upaya pengejaran itu tidak dilakukan sama sekali, maka kerugian negara yang didefinisikan dari kerugian Merpati sebagai BUMN mungkin akan terjadi.

BAB II

TESTIMONI AHLI

... bersambung ...

SALAM KEADILAN!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun