Mohon tunggu...
Muhammad Hidayat
Muhammad Hidayat Mohon Tunggu... -

Lebih kurang empat tahun terakhir hidup di Beijing, melihat dan merasakan kemajuan di negeri Tiongkok ini. Menjadi pelajaran sangat berharga. Banyak hal, yang di negeri sendiri, negeri tercinta, cuma menjadi perdebatan antar kusir, tak ada ujung, di Tiongkok sini sudah dibikin tanpa banyak cing cong. Mungkin bisa sedikit share buat yang lain. Siapa tau bermanfaat. Smoga.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kesadaran Politik Rakyat Negeri Bancakan

10 November 2009   08:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negeri kita bagaikan menunggu Godot. Perbaikan hanya akan wujud ketika satria piningit muncul. Seorang negarawan, sekaligus politikus unggul, berintegritas tinggi untuk mengikis keterbelakangan, mendahulukan national ambitions upon individual ambitions.

Tokoh ini, saat ini, masih tipis harapan dapat muncul dan menjadi presiden, di tengah masa belajar berdemokrasi kita hari-hari ini.Jika setiap akan pemilu masih akan lahir puluhan partai, pasar sapi tetap akan ramai. Presiden terpaksa mengakomodir partai-partai, bukan untuk kepentingan majunya bangsa, tapi sekedar menjaga stabilitas posisi.

Memang, syarat untuk peradaban bisa maju, pertama dan utama adalah stabilitas. Namun stabilitas hasil dagang sapi adalah semu, hanya di kulit, permukaan. Di bawah air tenang, ikan-ikan bergejolak berebut makanan. Departemen 'basah' menjadi mesin ATM, sehingga posisi menteri jadi rebutan. Partai politik hanya alat mendaki kekuasaan. Setelah itu lupa bahwa kekuasaan dimandatkan untuk mengelola negara, mensejahterakan rakyat, dan memposisikan bangsa di hadapan masyrakat internasional untuk tampil sama tinggi dalam harkat dan martabat.

Hanya akan maju bangsa ini ketika partai politik mendapat dukungan rakyat, dukungan dengan kesadaran. Partai memiliki fundasi kebangsaan dan fundasi kerakyatan. Partai dijalankan dengan disiplin dan integitras. Bukan partai ecek-ecek, hidup seumur jagung, lahir sebelum pemilu, dan mati setelah pemilu ketika tak lulus treshold. Beberapa partai mampu bertahan dalam beberapa pemilu, namun dukungan rakyat terhadap partai-partai tersebut sama sekali emotional engagement saja, non-material. Entah apa program partai yang dapat langsung dirasakan oleh rakyat, sehingga rakyat sadar memilih. Memilih seperti tebak-tebakan. Sudah dikasi hak pilih, dianjurkan memilih, bahkan ada yang mengharamkan golput, maka dicontrenglah sebuah pilihan, tanpa kesadaran yang bersifat material. Partai demokrat, tidak cukup melakukan developmental movement di grassroot, tapi menjaring 40% suara, sungguh aneh. Ini dukungan rapuh, keropos. Tidak heran, SBY, kurang pede dengan 40% suara. Diamankanlah posisi dengan koalisi campur aduk. Semua partai dirangkul. Masuklah semua kepentingan ke kabinet. Mana lah mungkin membangun bangsa dengan begitu banyak kepentingan dalam satu pemerintahan.

Jika semua partai yang dimasukin dalam satu kotak kabinet itu punya kejelasan ideologis, maka gado-gado kabinet hanya akan menghasilkan rasa asam kecut dan pahit saja. Tidak lazim lebih dari satu ideologi berkompromi dalam satu government practice. Program pembangunan membutuhkan arah yang jelas dan pasti. Dua singa dalam satu hutan, keributan lah produk utamanya. Hanya ketika partai, yang mengaku partai politik, tidak memiliki konsep ideologis, paradigma politik yang terarah tajam, apalagi konsep pembangunan, berjalan baik-baik saja lah mereka di bawah satu atap kepemimpinan. Maka bertanya sebagian dari kita, apa alasan mendasar ketika mencontreng partai? Apakah karena partai sudah berbuat untuk rakyat, ataukah karena ada harapan munculnya perbuatan dari partai, ketika mandat sudah di tangan? Rasanya, sebagian besar rakyat memilih karena sekedar memilih saja, sudah disediakan tempat, waktu, dan alat serta kotak yang harus dicontreng. Entah ada atau tidak harapan tersembul dalam hati setiap pemilih.

Racikan gado-gado menjadi harapan bangsa Indonesia hari ini, untuk membangun bangsa, meningkatkan harkat dan martabat. Apa yang akan terjadi? Sistem negara sulit diperkuat. Kepentingan golongan mendesak untuk didahulukan, ketimbang kepentingan nasional. Kebijakan pemerintahan disetir untuk kepentingan sesaat. Dana besar-besaran yang dikeluarkan ‘membeli’ dukungan rakyat, perlu dikembalikan, bahkan cari untung. Maka kebocoran adalah keinginan, bukan kesalahan. Sistem yang rapi, terstruktur, tertutup rapat dari potensi bocor, bukan dambaan. Malahan perlu dihindarkan, karena terancam tidak balik modal. Negara kuat, ditopang sistem canggih, yang menjadi dambaan rakyat, jauh panggang dari api. Urusan Buaya – Cicak dipicu oleh malang melintang berbagai kepentingan di dalam tubuh lembaga negara. Kasus century, setali tiga uang. Sumber modal, pengembalian modal, sekaligus profit taking. Negara mem bail-out 6,76 triliun. Apapun alasan Sri Mulyani, sistemik lah, bahaya lah, tapi ini uang jumlahnya enam koma tujuh puluh enam trilyun, 6.760.000.000.000, 13 digit bo! Ini Bank Indonesia luput sampai ada bank udah bankrut tapi masih juga mengambil dana masyarakat. Tapi dana bail-out, dari mana lagi, uang rakyat lah dipakai. Ternyata mudah sekali memojokkan negara ini untuk keluarin duit. Kuras uang bank, gaungkan ancaman sistemik, keluar duit rakyat, trilunan. Kalau ditanya ke mana saja duit itu, Sri Mulyani, (entahlah Boediono bagaimana), yang demikian lancar dan cerdas menjelaskan efek sistemik, tiba-tiba dapat kehilangan kepiawaian. Kalau administrasi negara tertata rapi, semua celah well-sealed, dari mana sumber untuk modal, atau pengembalian, apalagi profit taking?

Negara kuat dibangun oleh dua fundasi utama, pemimpin (orang dan atau partai politik) dan sistem. Pemimpin harus lebih dulu muncul, sistem menyusul. Pemimpin yang benar, dengan mandat kekuasaan di tangan, yang mampu mendorong terciptanya sistem yang kuat. Bukan sebaliknya. Jangan mengharap sistem akan adequate hari hari ini. Itu bagaikan mimpi di siang bolong.Baru setelah pemimpin memastikan sistem yang kuat terbangun, secara mekanik budaya dan kebiasaan masyarakat akan terbentuk, menjadi manusia yang lebih beradab. Menuju masyarakat berperadaban, meninggalkan keterbelakangan.

Maka penting sekali kesadaran rakyat dalam memilih pemimpin. Titik tolak lepas landas bangsa menuju peradaban abad 21, terletak pada keputusan rakyat mengangkat pemimpin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun