Awan hitam tebal menyelimuti langit. Aku menghembuskan nafas kekecewaan. Terus berengut menatap langit dari kursi malasku di dekat jendela kamar.
Memang benar kalau mendung itu tak berarti hujan. Awan pun kini berlalu dan entah dimana dia menjatuhkan titik-titik airnya. Matahari kembali melenggang di angkasa. Mengintip redup di balik awan putih. Perlahan awan putih pun berlalu dan hariku menjadi cerah. Aku tersenyum sendiri. Aku akan melihat telagaku.
Aku mengayuh sepedaku setelah pamit pada nenek. Pohon-pohon cemara indah berjajar di pinggir jalan. Batangnya yang hitam berpadu padan dengan daunnya yang kecil dan menghijau segar. Menari-nari digoyang oleh angin. Dahannya saling bergesekan seperti menciptakan suara violin tua. Ujung-ujung pohon yang meruncing berayun melambai. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi ingin bersenandung. Ah.. Aku terkekeh sendiri.
Aku berhenti tidak jauh dari lokasi sekolah dasarku dulu. Hutan pinus masih membentang entah berapa hektar luasnya. Sekarang hutan pinus itu dipagari kawat berduri. Itu artinya aku harus mencari celah untuk bisa masuk kesana. Karena setahuku disinilah jalur tercepat menuju telagaku. Aku menyembunyikan sepedaku di gorong-gorong yang ada di dekatku. Aman, pikirku. Aku terus berjalan mencari celah.
Akhirnya aku menemukannya. Ada tanah bekas galian di bawah pagar. Pikirku, jika aku merayap pasti aku bisa masuk. Dan aku pun berhasil.
Aku terus berjalan mengikuti jalan setapak yang hampir menghilang ditutupi rerumputan. Untung aku masih ingat betul jalan menuju telagaku.
Ada lapangan rumput yang tidak begitu luas di tengah hutan pinus. Dulu aku dan teman-teman kecilku suka bermain disana. Lalu jika kami telah lelah bermain, kami akan berlomba berlari menuju telaga dan mandi disana.
Aku menuju ke lapangan rumput itu. Sekarang lapangan itu dipenuhi oleh bunga-bunga rumput. Warnanya putih seperti salju yang jatuh lalu membeku diujung daunnya.Sinar matahari yang meberobos masuk melalui celah ranting pinus memantulkan warnanya menjadi lebih menawan seperti berlian. Aku memetiknya setangkai.
Tanpa kusadari aku tertawa sendiri.
“Berdo'alah sebelum kau meniupnya, Maka mahkota putih bunga rumput itu akan membawa do'amu terbang jauh ke angkasa” Kata suara yang tiba-tiba muncul di belakangku.
Aku melompat berbalik seketika. Seorang laki-laki berdiri bersandar dibawah pohon pinus tidak jauh dari tempatku berdiri. Entah darimana datangnya.
Tapi aku tersenyum lalu meniupnya.
“Lain kali jangan seperti itu lagi, menerobos masuk tanpa ijin. Jika kau ulangi lagi aku akan melaporkanmu pada pengawas hutan.''
Kemudian lelaki itu berjalan pergi meninggalkanku. Namun tidak lama kemudian dia berlari dan kembali menemuiku. Menarik tanganku, tapi aku membiarkannya begitu saja. Kami berdua berlari, lalu jongkok bersembunyi di rumpun paku-pakuan yang meninggi. Tangannya membenamkan kepalaku hingga rendah. Ah.. Aku kesakitan lalu kusingkirkan tangannya.
Telingaku menangkap deru mobil yang mendekat. Kali ini aku benar-benar ketakutan. Aku bayangkan aku duduk sendiri dalam penjara yang dingin, lalu ada polisi wanita garang melotot kearahku. Wajah itu mendekat dan semakin mendekatiku. Matanya masih melotot bahkan hampir lepas dari tempatnya. Akupun menjerit ketakutan. Tapi tak bisa, suaraku tidak keluar. Dan begitu aku sadar mulutku telah di bekap oleh tangan lelaki disampingku.
''Sssttt diam!''
Aku hanya bisa mengangguk. Dia pun menjauhkan tangannya dari mulutku.
Mobil itu sudah menjauh pergi. Dia berdiri mengibaskan tanah yang menempel di celananya.
''Sekarang pulanglah atau kamu akan tertangkap mobil patroli!''
''Tapi aku mau melihat telagaku.''
''Telaga?''
Aku mengangguk. ''Telaga.''
''Lebih baik kau urungkan niatmu. Pulanglah!''
Aku mencoba tersenyum. ''Sepertinya apa yang kau takutkan tidak akan terjadi jika kau ikut bersamaku.''
''Aku?''
''Iya. Ayo!''
Aku ganti menarik tangannya. ''Mereka tidak akan berpatroli pada waktu yang berdekatan bukan?'' kataku sambil berlari bersamanya.
Aku menoleh kearahnya. Dia hanya tersenyum. Membiarkan tangannya digenggamanku.
Kami berdua berlari menerobos hutan pinus sambil tertawa. Aku masih sangat hafal jalan menuju telagaku. Tidak butuh waktu lama. Aku sudah mulai mendengar suara gemericik air. Sesekali suara burung bercicit. Ah.. Aku sudah tidak sabar. Aku melepaskan tangannya dan mempercepat lariku. Lelaki itu juga mempercepat larinya.
Aku berhenti di ujung jalan satu-satunya menuju telaga. Di situ ada tulisan Dilarang masuk!. Aku pun melirik ke arahnya. Dia menahan tawa sambil membuang muka.
''Apa aku akan di tangkap juga jika aku menerobos masuk?''
Dia membuang tulisan itu dan langsung menarik tanganku. Mengajakku berlari ke telagaku. Aku tertawa girang.
''Tanggung kalau cuma berdiri di depan.'' Katanya.
Aku mengangguk. ''Iya. Karena di sini... Wow!''
Aku sudah berada di depan telagaku. Telagaku semakin cantik.
Hijauan tumbuhan paku-pakuan tumbuh menempel rapi pada dinding tebing di sebrang telaga. Air beningnya kehijauan memantulkan warna lumut di dasar telaga. Bebatuan kelabu seperti tertata rapi di pinggiran telaga. Burung-burung hinggap di dahan lalu pergi. Sebentar kemudian datang lagi membawa teman-temannya.
''Kupu-kupu..'' seruku.
Ada beberapa kupu-kupu cantik yang hinggap di bunga-bunga melati yang tumbuh di pinggiran telaga. Sayapnya indah. perpaduan antara kuning dan hitam. Aku berlari mendekatinya. Kupu-kupu itu masih asyik menikmati bunga yang merekah.
''Chimaera Birdwing atau sering di kenal dengan kupu-kupu sayap peri.'' Lelaki itu menjelaskan padaku. Aku menoleh kearahnya. Dia sedang duduk di atas bebatuan di dekat mata air yang memancar dari dinding tebing. Memandangiku sambil tersenyum.
''Itu yang betina.'' Tambahnya.
Aku mengangguk dan mengamati kupu-kupu itu kembali. ''Cantik.'' Gumamku.
''Kalau yang sayapnya berwarna kuning cerah?'' Aku berlari ke arah kupu-kupu yang satunya lagi.
''Itu yang jantan.'' Jawabnya masih duduk di tempat yang sama.
''Wah.. Di sana juga ada. Banyak sekali...'' Aku semakin gemas saja.
Kulihat ada banyak kupu-kupu di telagaku. Mereka datang dan pergi silih berganti. Terkadang terbang mengitariku.
''Di sini seperti penangkaran kupu-kupu saja.'' Kataku.
''Ini.. Adalah kupu-kupu bidadari.''
Aku menoleh ke arahnya. Masih duduk di atas bebatuan. Lelaki itu tersenyum mengamati jemarinya. Seekor kupu-kupu hinggap di jemarinya. Dari kejauhan sayap kupu-kupu itu menjelma seperti bludru kebiruan.
Aku ingin berlari mendekatinya. Tapi langkahku terhenti. Seorang perempuan kecil berlari kearah bebatuan itu dan duduk di sana. Tangannya memainkan setangkai bunga rumput. Kepalanya tertunduk begitu dalam. Sementara lelaki tadi menjelma menjadi lelaki kecil berbaju seragam sekolah SMP. Dia sedang memainkan kupu-kupu yang sepertinya sudah tidak bernyawa lagi.
'Ini kupu-kupu bidadari. Sayapnya cantik berenda seperti baju para bidadari.'' Jelas lelaki kecil itu pada perempuan kecil yang duduk disampingnya. Tapi si perempuan kecil itu sama sekali tidak menoleh kepadanya. Wajahnya muram. Sepertinya dia sedang sedih.
''Bukannya kamu mencintai kupu-kupu?'' Rayu lelaki kecil itu.
''Tidak dengan yang sudah mati'' Jawab perempuan kecil itu sambil terisak.
''Kelak aku akan menghidupkannya untukmu.''
''Mana mungkin.''
''Tidak mungkin memang. Tapi aku akan mencari teman-temannya dan memelihara mereka untukmu.''
Perempuan kecil itu mulai melirik kearah lelaki kecil. Kedua mata basahnya menatap kupu-kupu yang sudah tak bernyawa. ''Tapi aku mau yang ini. Dia punya sayap yang cantik.'' Rengek perempuan kecil itu.
''Hmm.. Baiklah. Aku akan mengawetkannya untukmu. Besok sebelum kamu pergi aku akan memberikannya padamu.''
''Aku mau yang hidup.''
''Ah.. Sudahlah. Yang hidup pun pasti kamu tidak akan bisa merawatnya.''
Lelaki itu mengangkat dagu si perempuan kecil itu dan menghapus air matanya. ''Sudah jangan menangis lagi! Itu akan membuatku semakin sedih. Kelak nanti jika kau datang kesini. Telagamu ini akan semakin indah dengan kupu-kupu yang beterbangan. Mereka semua akan menyapamu dengan cinta.''
Dan perempuan kecil itu pun tersenyum. ''Kamu janji?''
Lelaki kecil itu mengangguk sambil tersenyum. Lalu perempuan kecil itu menutup matanya dan meniup bunga rumput yang di bawanya tadi.
''Apa yang kamu pinta?'' Tanya si lelaki kecil sambil tersenyum.
''Aku meminta semoga kau tidak melupakan janjimu.''
Lelaki kecil itu mengulum senyum. ''Aku akan selalu menunggu kedatanganmu bersama kupu-kupuku disni.''
Perlahan perempuan kecil itu menghilang di telan kabut. Lelaki kecil itu pun menghilang. Dia tidak berubah menjadi lelaki tadi, tapi menghilang. Lelaki tadi juga menghilang. Aku sendirian di telaga itu. Hanya berputar-putar mengamati kupu-kupu yang semakin bertambah banyak.
Aku terjaga dari tidurku. Mimpi. Heh, hanya mimpi, gumamku. Tapi kenapa begitu nyata bagiku. Dan pipiku juga basah oleh air mata lalu.
Hujan hari itu masih menyisakan gerimis. Aku berdiri dari kursi malasku dan berjalan ke pinggiran jendela. Pandanganku jauh menerobos gerimis ke dalam hutan pinus yang membentang di seberang jalan depan rumah nenek. Apa kabarnya telagaku? Apakah Rayyan menepati janjinya? Aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin, bathinku. Janji itu adalah janji anak-anak. Aku tersenyum sendiri.
Aku memutar arah pandanganku dan berhenti pada sebuah hiasan dinding cantik di sudut kamarku. Sudah hampir seminggu aku disini, tapi sama sekali tak menyadari ada hiasan dinding itu. Aku pun berjalan mendekatinya. ''Kupu-kupu bidadari..'' Gumamku lirih.
''Seorang anak laki-laki membawanya kesini setelah beberapa saat kamu pergi.'' Kata nenek yang tiba-tiba muncul di belakangku.
Tiba-tiba aku sangat ingin pergi ke telagaku.
''Nenek aku harus pergi.'' Kataku sambil menyambar jaket di gantungan baju.
''Apa kamu baik-baik saja? Sarapanlah dulu!'' Pinta nenek.
Aku hanya menggelengkan kepala. Aku berlari mengambil sepeda dan pergi ke telaga.
Caraku masuk ke hutan sama seperti di mimpiku. Mencari galian tanah lalu berguling masuk dari bawah pagar. Ketika aku sampai di lapangan rumput, aku berputar mencari lelaki itu. Tapi kosong. Aku sendirian saja di lapangan rumput itu. Lalu aku terus berlari ke arah telagaku. Saat ku mendengar ada mobil patroli mendekat aku pun bersembunyi di rerumpuan paku-pakuan persis seperti mimpiku. Setelah mobil berlalu, aku melanjutkan perjalananku.
Aku tertawa geli ketika melihat tulisan Dilarang Masuk di jalan menuju telaga. Seperti di mimpiku juga, aku mencabutnya dan membuang tulisan itu.
Gemericik air menggetarkan gendang telingaku. Burung-burung bercicit riang karena hujan telah reda. Akhirnya aku sampai juga di telagaku. Masih seperti mimpi, kupu-kupu beterbangan kesana kemari. Hinggap dari satu tangkai bunga ke bunga yang lain. Semakin lama semakin banyak. Terbang mengitariku, seolah ingin menyapaku. Rayyan… mereka menyapaku dengan cinta. Aku tertawa sendiri.
''Rayyan...'' Gumamku lirih.
Seseorang berdiri tidak jauh dari ujung telaga dekat mata air.
''Kau selalu saja datang terlambat.'' Katanya.
Seorang laki-laki tampan. Berjaket kulit hitam. Bercelana jins abu-abu. Rambut lurus jatuh hingga menutupi keningnya. Senyum itu...Senyum itu mengingatkanku pada seorang lelaki kecil sebelas tahun yang lalu.
''Rayyan.'' Teriakku.
Aku berlari kearahnya. Aku ingin menghambur kepelukkannya, tapi lelaki itu menahan tanganku dengan tangannya. Bibirnya menyungging senyum.
Aku menekan-nekan kedua pipinya dengan ujung jari telunjukku.
''Heh, kau bukan Rayyan. Kau tidak punya lesung pipit sepertinya.”
Dia tertawa kecil. “Aku Logan. Sepupu Rayyan. Kau ingat?”
''Aku kira kau sudah melupakannya.“
Aku diam memandangi kupu-kupu yang menari-nari dengan sayapnya. Kemana Rayyan? Tanyaku dalam hati.
Aku menghela nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Udara segar mengisi setiap rongga di paru-paruku. ''Dia sudah ingkar janji.''
Kulirik Logan menoleh ke arahku.
''Dia sama sekali tidak bermaksud seperti itu.''
Logan menyerahkan sebuah amplop padaku.
''Apa ini?''
''Bacalah! Dan kau akan mengerti.''
Aku membuka amplop itu.
Dear Lydia,
Satu hal yang kurindukan adalah senyummu. Aha.. Aku tahu sekarang kau pasti sedang tersenyum, kemudian berpikir, seperti apa Rayyanku setelah dewasa. Baiklah, aku akan menjelaskan bagaimana diriku sekarang. Jika kau melihat Logan, kau akan tahu bahwa aku sekarang setampan dia. Hehehe.. Kau tertawa? Tidak? Ya, pasti tidak karena itu sama sekali tidak lucu. Yang sebenarnya adalah aku lebih kurus dari pada Logan.
Aku tertawa tolol, batinku sambil terkekeh sendiri.
Lydia, kuharap Tuhan selalu memberikan kesehatan dan keselamatan untukmu.
Kenapa kau tidak datang di setiap liburan sekolah, Lydia? Apa kau tahu aku belum bisa memenuhi janjiku tentang kupu-kupu? Atau.. Apa kau marah padaku, karena aku tidak membawakanmu kupu-kupu bidadari itu tepat waktu?
Sampai disitu aku mengangguk. Aku sempat membencimu saat itu dan aku berusaha melupakan janjimu. Aku melanjutkan membaca suratnya.
Lalu aku mulai menanam bunga pagoda, bunga kertas, bunga sepatu, kacapiring dan bunga ratna untuk menarik kupu-kupu itu datang. Benar. Ketika bunga-bunga itu berkembang, kupu-kupu pun berdatangan. Tapi tidak dengan dirimu. Kau tidak pernah datang meskipun liburan telah tiba. Padahal Aku selalu menunggumu. Kau mungkin sudah melupakanku dan kupu-kupumu.
Tapi kadang aku tak percaya dengan pikiranku sendiri. Lydia, kecintaanku pada kupu-kupu membuatku selalu mengingatmu. Kau dan kupu-kupu seperti satu raga dan satu jiwa. Sama-sama cantik.
Lydia, apa kau menemukan kupu-kupu bidadari diantara kupu-kupu yang beterbangan di dekatmu. Ketika aku melakukan research, aku menemukan kupu-kupu bidadari di Sulawesi. Aku membawanya satu untukmu meskipun aku harus berbohong kepada petugas konservasi. Apa sekarang kau melihatnya?
Mataku berputar mencari kupu-kupu yang dimaksud. Aku tidak menemukannya karena begitu banyak kupu-kupu disini.
Tidak? Bodoh. Kalau begitu aku akan menunjukkanmu nanti. Apa kau mau menungguku?
Lydia.. Apa kau mau menungguku disana bersama kupu-kupu kita? Tunggulah aku disana, Lydia! Tunggu aku!
Rayyan @}--
NB : Secantik apakah dirimu sekarang?
“Rayyan.. Kemana dia pergi?” Tanyaku pada Logan yang duduk tak jauh dari tempatku.
“Mexico. Demi si cantik Blue Morpho.”
“Berapa lama?”
Logan hanya mengangkat bahu.
Rayyan… Aku meremas kertas di tanganku. Tanpa kusadari air mataku mengalir tanpa bisa kubendung.
“Lydia.” Suara Logan terdengar cemas.
Aku mengusap air mataku dan berdiri. Aku melangkah hendak meninggalkannya, tapi tangan Logan mencegahku.
“Kau… Kau tidak mau menunggunya?”
Aku menggelengkan kepala.
“Dia mencintaimu.”
“Dia lebih mencintai kupu-kupunya.”
Logan diam saja tak menjawab.
Rayyan… Berapa tahun yang kau pinta aku untuk menuggumu? Setahun? Dua tahun? Berapa?
Apakah kupu-kupu itu sebagai bukti cintamu? Semua itu omong kosong, bukan? Kau lebih mencintainya dari pada aku, bukan?
Sudahi saja semua ini, Rayyan! Berhentilah sampai disini! Semua akan sia-sia pada akhirnya. Bagaimana jika aku tidak bisa menikmatinya bersamamu nanti. Sekarang, aku menjadi takut menghadapi hidupku. Aku takut, Rayyan.
Pulanglah! Pulanglah sekarang juga, jika kau bisa!
Apa kau bohong tentang bunga rumput itu. Apa kau tahu aku selalu berdo’a agar Tuhan menghilangkangkan kankerku agar aku bisa menikmati janjimu? Karena aku tahu kau tidak akan mengingkari janjimu. Tapi sepertinya Tuhan tidak mendengarkan do’aku.
Rayyan, aku takut sendirian saat hidupku berakhir nanti. Aku takut menghadapi ajalku. Maukah kau menemaniku? Maukah kau menggenggam erat tanganku, memelukku erat saat waktuku tiba?
Tidak? Kau tidak mau? Ya, kau tidak akan mau karena kau lebih mencintai kupu-kupumu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H