Hujan di luar belum mampu menepiskan luka batinku. Aku duduk di sudut ruangan kamarku. Memijat-mijat leherku yang mulai kaku. Sejenak aku pejamkan mataku dan menghirup udara segar yang menerobos masuk dari celah jendela kamarku.
Saat membuka mata aku bersitatap dengan kedua mata bulat yang bening. Senyuman merekah dari sudut bibirnya yang mungil. Melukiskan lesung di kedua pipinya. Saat dia mengedipkan matanya, airmataku mulai mengalir. Seolah dia merasa apa yang kurasakan, dia pun ikut menangis. Semakin keras dan keras. Hatiku semakin teriris. Lalu aku mencoba untuk menata hatiku. Aku memeluknya erat dan menciumnya. Aku biarkan dia mendengarkan detak jantungku yang mulai tenang sampai dia tertidur pulas dipelukanku.
Begitu lama aku menatap wajah polosnya. Membiarkan pikiranku melayang jauh pada saat itu.
Semalam kita bertiga kembali duduk berdiskusi. Sambil menundukkan kepala suamiku berkata, ''Ijinkan kita untuk belajar hidup mandiri, Ayah, Ibu!''
''Kau akan bawa anak dan cucuku?'' Ucap ayah.
Suamiku mengangguk. ''Iya.''
''Ajaklah istrimu dan tinggalkan anakmu di sini.''
''Tidak ayah.'' Sanggaku. ''Aku dan Byan akan ikut bersamanya.''
Aku mendengar ibu menarik nafas berat lalu bersuara. ''Apa kamu kira dengan gajinya perbulan bisa menghidupi kamu dan anakmu? Biarkan dia bekerja, menabung untuk sekolah anakmu kelak dan makannya sehari-hari. Kamu dan Byan kan bisa makan serta tinggal di sini. Lagian juga rumah ini luas dan tentunya akan sepi kalau kau dan Byan ikut pergi.''
Aku terdiam. Kami semua terdiam sampai suamiku membuka suara.
''Baiklah. Saya titip Dek Sukma dan Byan sama ayah dan ibu.''
Aku kaget dengan keputusan suamiku. Tanpa banyak bicara aku gendong Byan dan pergi meninggalkan mereka. Sayup-sayup kudengar ayah masih memberikan petuah pada suamiku. Tapi aku menutup telinga dalam-dalam.
Malam itu berkali-kali suamiku meminta ma'af. Tapi aku tak mau tahu. Aku tak habis pikir kenapa dia menyerah seperti itu.
Aku menghela nafas panjang. Bibir anakku yang mungil kini kembali membiaskan senyuman. Merekah meski tanpa suara khasnya. Dia bermimpi.
Mimpi apakah kamu, Nak? Mimpi indahkah? Apakah kau menyertakan bundamu dalam mimpimu? Kalau iya, kenapa bundamu semakin merasa perih saat melihatmu tersenyum. Bunda takut jikalau kelak kau akan lupa bagaimana caranya tersenyum seperti itu.
Kemudian keningmu pun berkerut dan mimik mukamu berubah sedih. Kau mimpi apa lagi? Apakah ada yang menyakitimu disana? Apa kau melihat kecarutmarutan hidup ini dalam mimpimu? Bukalah matamu! Bunda ada disini. Ssstttt... Jangan risau dan jangan takut!
Melihatnya sedih seperti itu aku justru malah tersenyum dan memeluknya. Mengelus-elus punggungnya. Lalu dia pun tertidur kembali.
Matanya kembali terbuka ketika mendengar suara pintu berderit. Ayahnya berjalan masuk. Saat ayahnya menatapnya sambil tersenyum, dia pun tersenyum. Lalu saat ayahnya menyentuh dagunya, senyumnya semakin lebar dan dia pun terkekeh.
Aku dan suamiku saling bertatapan. ''Kita akan selalu seperti ini. Bahagia seperti ini.'' Kata suamiku, lalu memelukku dan Byan. Sambil mencium keningku dia berkata, ''Maafkan aku! Jangan menangis lagi!''
Aku hanya mengangguk.
''Apa itu artinya kita boleh ikut?'' Tanyaku.
''Jika dengan begitu dapat membuat kalian bahagia, ikutlah bersamaku.'' Suamiku tersenyum.
Seolah mengerti keadaan yang terjadi, Byan menyentuh pipiku sambil tersenyum.
Aku memeluknya erat. ''Anakku.''
''Anak kita.'' bisik suamiku.
Kami bertiga berpelukan.
Kami tahu bahwa perjalanan ke depan tidaklah mudah. Mungkin akan penuh dengan air mata tapi kami juga tahu bahwa kami akan saling menguatkan karena kami saling mencintai.
Denpasar, 20 Februari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H